Oleh
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
PENCEGAH HAID
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:
1. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan
membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya
tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
"... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,...” [Al-Baqarah/2: 195]
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
"… Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu." [An Nisa'/4: 29]
2. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai
kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami
yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang
diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat
pencegah haid saat itu kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan,maka harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
PERANGSANG HAID
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
1. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari
suatu kewajiban. Misalnya, seorangwanita menggunakan alat perangsang
haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa,
atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.
2. Dengan seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan
hubungan suami isteri. Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat
yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika
si isteri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat
gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk
PENCEGAH KEHAMILAN
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
1. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini
tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang
mengakibatkan berkurangnya jumlah ketunaan Dan hal ini bertentangan
dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyakjumlah
umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya
meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
2. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya,
seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya,
sehingga ia ingin mengaturjarak kehamilannya menjadi dua tahunsekali.
Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan
alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat
pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu
alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi
wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama -
dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.
PENGGUGUR KANDUNGAN
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:
1. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan
janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi
adalah haram, karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar
yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al
Qur'an, Sunnah dan ijma' kaum Muslimin. Namun, jika janin belum
mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.
Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang
mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya sebelum benrmur 40
hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan
menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang
ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan
kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh
menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan
telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A 'lam.
2. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan
janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita
hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan.
Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si
ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan
operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
A. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak
boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit
bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian,
karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka
dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan
kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya bahwa
mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.
B. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka
tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini
tindakan sia-sia.
C. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka
boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika
dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu
a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat
dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam
kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan
merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika
ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
D. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam
kondisi ini,jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk
hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk
hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan
pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut.
Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu
untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan
tindakan penyiksaan.
Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk
mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang
menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf,
"Pendapat ini yang lebih utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan
penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan
kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah
meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari
kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia
yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan
sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin
dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.
PENUTUP
Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang
dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan
ini bagai samudera tak bertepi.
Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian
permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan
segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah
penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran
yang dibawa RasuI-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya
tentang kandungan Al Qur'an dan Sunnah, yang keduanya merupakan sumber
hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang
bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak
siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan,
sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad
dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui
kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala,
selalu memohon ma'unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta
ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.
Al-Qur'an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan
meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami
keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada
pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam
keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak diketemukan jawabannya sama
sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah tampak
baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang.Hal itu sesuai
dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam
memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak
hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti
ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan mungkin fatwa yang
terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya
akan dipercaya dan diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang
seringali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya
orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan
dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya
yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya
dari kesalahan.
Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Salawat dan salam semoga
tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga
dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah
segala kebaikan.
Penulis
Muhammad Shalih Al-Utsaimin
Jum’at, 14 Sya’ban 1392H
[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' .
Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah
Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul
Haq Jakarta]
0 komentar:
Post a Comment