Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Doa termasuk ibadah terbesar yang menghubungkan seorang hamba dengan
Penciptanya. Orang yang berdo'a kepada Allâh Azza wa Jalla memiliki
sifat-sifat ketundukan, merendehkan diri, dan berlindung kepada Dzat
yang menguasai dan mengatur segala urusan.
Karena do'a memiliki kedudukan tinggi, maka Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan para hamba-Nya untuk berdo'a secara langsung kepada-Nya
dan Allâh Azza wa Jalla juga berjanji akan mengabulkan-Nya. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan agar para hamba-Nya berdo'a
kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara penyebutan
nama-nama-Nya al-Husnâ (yang maha indah). Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allâh al-asmâ-ul husna [Nama-nama yang Maha Indah], maka
berdo'alah kepada--Nya dengan menyebut al-asmâ-ul husna itu .
[Al-A’raf/7: 180]
Demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengidzinkan para hamba-Nya
untuk berdoa kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara
‘dengan menyebutkan iman atau amal shalihnya’, atau dengan perantara
‘doa orang shalih yang masih hidup’, sebagaimana diterangkan dalam
hadits-hadits yang shahih.
Tetapi sebagian orang sekarang meninggalkan wasilah atau perantara yang
disyari’atkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, kemudian
menggunakan wasilah (perantara) yang tidak dituntunkan, bahkan
sebagiannya masuk dalam kategori perbuatan syirik. Seperti berdo'a
meminta kepada orang-orang yang sudah mati, baik ia seorang Nabi, wali,
orang shalih, atau lainnya. Mereka memiliki berbagai macam syubhat
(kerancuan/kesamaran) di dalam mendukung perbuatan mereka ini.
Maka sebagai bentuk saling menasehati sesama kaum Muslimin, dan amar
ma’ruf serta nahi mungkar, kami akan sebutkan sebagian dari syubhat
tersebut dan sekaligus bantahannya. Mengingat syubhat-syubhat itu begitu
banyak sementara halaman terbatas, maka kami hanya menyampaikan
beberapa syuhbat saja. Adapun bantahan semua syubhat itu sudah ditulis
oleh para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dahulu maupun sekarang. Semoga
tulisan menjadi penerang dalam meniti jalan kebenaran.
Inilah diantara syubhat tersebut :
1. Berdo'a kepada orang-orang shalih dan istighâtsah kepada mereka,
bukan sebentuk ibadah kepada mereka, tetapi ini tawassul dengan mereka
(menjadikan mereka sebagai wasilah).
Jawaban :
Perkataan mereka ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas
dan gamblang yang menamakan doa permintaan sebagai ibadah. Di antara-Nya
adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ
السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿٤٠﴾بَلْ
إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ
وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allâh kepadamu,
atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu berdoa (menyeru (tuhan)
selain Allâh; jika kamu orang-orang yang benar!" (Tidak), tetapi ha-Nya
Dialah yang kamu seru, maka Dia akan menghilangkan bahaya yang
karena-Nya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki. Dan kamu
tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allâh).
[al-An’âm/6:40-41]
Kata doa dalam ayat ini adalah doa permintaan. Ini nampak jelas dari
rangkaian kalimat dalam ayat ini, sebagaimana ditunjukkan kalimat “maka
Dia akan menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya”,
karena menghilangkan bahaya adalah bentuk pengabulan doa.
Juga firman Allâh Azza wa Jalla.
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ
قِطْمِيرٍ﴿١٣﴾إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا
مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ
"Dan orang-orang yang kamu berdoa (menyeru/sembah) selain Allâh tiada
mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu berdoa atau
menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka
mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. [Fâthir/35:
13-14]
Ayat ini membicarakan tentang tidak mendengar-Nya tuhan-tuhan musyrikin
terhadap doa orang-orang yang berdoa kepada mereka, maka jelas bahwa doa
di sini adalah doa permintaan.
Oleh karena itu bahwa doa merupakan ibadah. Hal ini juga dijelaskan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan di dalam
hadits di bawah ini:
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata: Aku telah mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa adalah ibadah”, kemudian
beliau membaca (firman Allâh) ((Dan Robbmu berfirman: "Berdo'alah
kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguh-Nya orang-orang
yang menyombongkan diri dari beribadahah kepadaKu akan masuk neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina".)) (al-Mukmin/40:60) [HR. Tirmidzi,
no: 3247; Ahmad 4/267; Bukhari di dalam Adabul Mufrad, no: 1757.
Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni]
Karena doa merupakan ibadah, maka barangsiapa berdoa kepada selain Allâh
berarti dia telah melakukan kesyirikan. Allâh Azza wa Jalla
memberitakan dengan tegas dan jelas bahwa berdoa kepada selain-Nya
merupakan kesyirikan, dan menghukumi pelakunya sebagai orang musyrik dan
kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا
اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ
وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
"Jika kamu menyeru mereka (siapa saja selainAlloh-pen), mereka tiada
mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat
memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari
kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu
sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35:14]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ
فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
Dan barangsiapa berdoa kepada ilah yang lain di samping Allâh, padahal
tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya
perhitungannya di sisi Robbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu
tiada beruntung. [al-Mukminun/23:117]
Adapun menamakan perbuatan berdoa kepada orang-orang yang telah mati
dengan nama tawassul, maka ini merupakan sebentuk tipu daya syaithan
dalam menyesatkan manusia.
Karena tawassul dalam berdoa kepada Allâh, ada yang masyru'
(disyari'atkan oleh Allâh dan Rasul-Nya). Seperti berdoa kepada Allâh
dengan menyebut nama-nama-Nya Yang Maha Indah.
Ada juga tawassul yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan kemusyrikan.
Seperti berdoa kepada Nabi atau para wali atau lain-Nya dengan harapan
mereka akan me-Nyampaikan doa itu kepada Allâh.
Dan ada juga yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan bid’ah. Seperti
berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan perantara jâh
(kedudukan/kemuliaan) seorang Nabi atau wali atau lainnya.
Maka menamakan perbuatan syirik dengan tawassul, atau tabarruk, atau
mencari syafa’at, adalah penamaan yang batil dan sia-sia. Karena
perubahan nama tidak mengubah hakekatnya. Bagi orang berakal yang
menginginkan keselamatan dalam kehidupannya maka hendaknya mencukupkan
dengan perkara yang disyari’atkan, dan meninggalkan perkara yang
dilarang.
2. Nash-nash yang melarang berdoa kepada selain Allâh maksudnya melarang
berdoa kepada patung-patung, karena itulah yang dilakukan oleh
orang-orang musyrik. Adapun orang-orang yang berdoa kepada orang-orang
shalih, bukan orang-orang musyrik.
Jawabannya :
Sesungguhnya orang-orang musyrik jahiliyah dahulu tidak hanya berdoa
kepada patung, tetapi juga berdoa kepada makhluk yang berakal, seperti
malaikat, jin, nabi, dan orang yang shalih.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ
الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴿٥٦﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ
يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ
رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورًا
"Katakanlah, "Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain
Allâh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan
bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya." Orang-orang yang mereka
berdoa kepada-Nya itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka
siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan
rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah
suatu yang (harus) ditakuti. [al-Isra’/17:56-57]
Ayat ini -tidak diragukan- memberitakan bahwa tuhan-tuhan yang disembah
dan dijadikan tempat berdoa oleh orang-orang musyrik adalah makhluk yang
berakal. Ini terlihat jelas dari sifat-sifat tuhan yang disembah itu.
Perhatikanlah sifat-sifatnya berikut ini :
• Mencari jalan menuju Rabb mereka, yaitu beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .
• Mengharapkan rahmat-Nya
• Dan takut terhadap adzab-Nya.
Oleh karena itu “tuhan-tuhan" yang disembah oleh orang-orang musyrik itu
bisa jadi lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla daripada orang-orang
musyrik yang menyembah mereka.
Para Ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa mereka yang disembah oleh manusia itu :
1. Diriwayatkan dari perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa
mereka adalah para jin yang disembah oleh manusia, lalu para jin itu
masuk Islam sedangkan manusia tidak menyadarinya dan tetap menyembah
mereka. [HR. Bukhari, no. 4714; Muslim, no. 3030]
2. Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud Rahiyallahu anhu, dan Abdurrahman
bin Zaid rahimahullah, bahwa mereka adalah para malaikat yang disembah
oleh manusia. [HR. Thabari, 14/630]
3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, dan Mujâhid
rahimahullah , bahwa mereka adalah ‘Uzair, Nabi Isa Alaihissallam,
Ibunda Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan para malaikat. [HR. Thabari, 14/630]
Semua penafsiran dari Salaf di atas tidak bertentangan, karena ayat
tersebut mencakup semuanya dan karena yang dinilai adalah keumuman
lafazh, bukan kekhususan sebab. Alasan lainnya adalah orang yang
menafsirkan dengan malaikat atau jin, tidak bermaksud mengkhususkannya,
tetapi itu hanya semata-mata sebagai contoh. Dengan keterangan
ini,nampak jelas bahwa orang-orang musyrik tidak hanya menyembah kepada
patung, tetapi juga menyembah kepada makhluk yang berakal.
Selain itu, penyembahan terhadap patung yang dilakukan oleh banyak orang
sesungguhnya bukan karena dzat patung itu, tetapi patung itu dianggap
sebagai simbol dari tuhan ghaib yang mereka yakini dan atau mereka
jadikan patung-patung itu sebagai perantara kepada Allâh Azza wa Jalla.
Ar-Razi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa maksud ayat ini adalah
bantahan terhadap orang-orang musyrik. Kami telah jelaskan bahwa kaum
musyrik zaman dahulu mengatakan, ‘Kita tidak pantas menyibukkan diri
dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , maka kita menyembah kepada
hamba-hamba Allâh yang dekat dengan-Nya, yaitu para malaikat’. Kemudian
mereka membuat patung malaikat tersebut dan menyembahnya dengan
dilandasi pemikiran tersebut. Maka Allâh Azza wa Jalla membantah
kebatilan perkataan mereka dengan ayat ini, yaitu Allâh berfirman :
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ
‘Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allâh’,
Yang dimaksudkan bukanlah patung-patung, karena Allâh berfirman tentang
sifat mereka : ‘Orang-orang yang mereka berdoa kepada-Nya itu, mereka
sendiri mencari jalan menuju Rabb’. Dan ‘mencari jalan menuju Allâh Azza
wa Jalla ’ sama sekali tidak dilakukan oleh patung”. [Tafsîr ar-Râzi,
20/232]
Ar-Razi rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya orang yang berakal
tidak akan menyembah patung hanya karena patung itu terbuat dari kayu
atau batu. Tetapi mereka menyembahnya karena keyakinan bahwa
patung-patung itu merupakan patung-patung bintang-bintang, atau roh-roh
langit, atau patung para Nabi dan orang-orang shalih yang telah
meninggal. Dan maksud mereka di dalam penyembahan kepada patung-patung
itu adalah mempersembahkan ibadah-ibadah itu kepada perkara-perkara itu
(tuhan-tuhan ghoib-pen) yang mereka jadikan patung-patung itu sebagai
gambar-gambar (simbol-simbol) untuk-Nya”. [Tafsir Ar-Razi, 26/241]
Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa berdoa kepada selain Allâh,
baik kepada malaikat, jin, Nabi, wali, pohon, binatang, batu, atau
lainnya, merupakan perbuatan syirik, menyekutukan Allâh k . Karena doa
adalah ibadah, dan ibadah adalah hak Allâh semata.
3. Khawarij telah menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang
musyrik terhadap kaum Muslimin. Demikian juga kamu (yang menuduh kaum
Muslimin yang berdoa kepada orang-orang shalih sebagai orang-orang
musyrik) menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik
terhadap kaum Muslimin.
Jawaban :
Untuk menjawab syubhat ini perlu diperhatikan beberapa perkara:
Pertama:
Hukum-hukum al-Qur’ân berlaku umum sampai hari kiamat walaupun berkaitan
dengan sebab yang khusus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي
وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ
وَمَنْ بَلَغَ
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah,
"Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur'ân ini
diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepadanya). [al-An’âm/6: 19]
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Dan al-Qur'ân ini diwahyukan
kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada
orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepadanya)." supaya dengannya aku
mengancam kamu wahai penduduk Mekah, ‘dan kepada orang-orang yang sampai
al-Qur'ân (kepadanya)’, yaitu orang-orang yang telah sampai kepadanya
al-Qur'ân, baik non Arab maupun umat-umat lain sampai hari kiamat”.
[Tafsir al-Baghawi, 3/133]
Oleh karena itu dalam kaedah ushul fiqih disebutkan :
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Penilaian adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan khususnya sebab.
Yaitu bahwa nash-nash umum yang datang dengan sebab-sebab yang khusus, hukumnya tetap berlaku umum sampai hari kiamat.
Kedua:
Berdasarkan point di atas, maka barangsiapa melakukan perbuatan kaum
musyrik zaman dahulu, seperti berdoa kepada Nabi, wali, atau orang
shalih, selain berdoa kepada Allâh, maka tidak ada halangan menerapkan
ayat-ayat yang turun berkenaan orang-orang musyrik zaman dahulu terhadap
orang-orang di zaman sekarang yang melakukan perbuatan serupa.
Karena perbuatan mereka sama, yaitu syirik, maka hukumnya juga sama,
namun menetapkan vonis kafir terhadap orang Mukmin tertentu yang
terjatuh dalam dosa syirik, harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan
tidak ada penghalang, sebagaimana penjelasan para Ulama Ahlus Sunnah.
Ketiga:
Kalau ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik zaman dahulu
tidak boleh diterapkan terhadap orang-orang zaman sekarang, padahal
perbuatan mereka sama, maka ini akan membawa konsekwensi yang sangat
tidak benar. Yaitu bahwa seluruh hukum syari’at Islam tidak berlaku lagi
di zaman ini, karena semua hukum turun dengan sebab khusus pada
permasalahan yang telah lewat. Tentu hal ini tidak akan dikatakan oleh
orang yang beriman.
Keempat:
Adapun menyamakan para da’i tauhid dengan Khawarij, maka ini adalah qiyas ma’al fariq (menyamakan sesuatu yang tidak sama).
Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menjelaskan sifat Khawarij dengan
mengatakan, "Mereka menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang
kafir, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin." [Riwayat Imam
Bukhari dengan tanpa sanad, dan disebutkan sanadnya oleh imam Thabari
dengan sanad yang shahih]
Marilah kita memperhatikan salah satu manhaj Khawarij, lalu kita
bandingkan dengan perbuatan para da’i tauhid, sehingga akan menjadi
jelas perbedaan antara dua kelompok tersebut.
Sesungguhnya di antara kayakinan Khawarij –kecuali firqah Najdât dari
mereka- adalah mengkafirkan pelaku dosa besar dan pelaku dosa besar ini
akan kekal di neraka. Dengan dasar keyakinan ini, mereka di zaman dahulu
menjatuhkan vonis kafir terhadap khalifah Utsmân Radhiyallahu anhu dan
Ali Radhiyallahu anhu serta orang-orang yang membelanya, karena dianggap
telah menetapkan hukum dengan selain apa yang Allâh turunkan. Oleh
karena itu akhirnya mereka memberontak kepada khalifah Utsman
Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu . Mereka berdalil dengan
firman Allâh:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي
دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ
لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan
mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir
itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak
dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [at-Taubah/9: 12]
Orang-orang Khawarij memvonis khalifah Utsman Radhiyallahu anhu dan Ali
Radhiyallahu anhu sebagai pemimpin orang-orang kafir dari kalangan
musyrikin yang merusak sumpah janji mereka dan mencerca agama Allâh.
Dengan sikap ini, maka mereka berhak disifati dengan ‘menggunakan
ayat-ayat yang turun tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya
terhadap orang-orang Mukmin’.
Adapun para da’i tauhid, apakah mereka menggunakan ayat-ayat yang turun
tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya terhadap orang-orang
Mukmin, orang-orang yang bertauhid, orang-orang yang memurnikan ibadah
mereka kepada Alah Pencipta langit dan bumi, orang-orang yang
meninggalkan kemusyrikan dan bid’ah?
Atau mereka menerapkannya terhadap orang-orang yang menyatakan Islam,
namun terjerumus dalam kemusyrikan, seperti berdoa dan meminta tolong
kepada para penghuni kubur. Sehingga ada persamaan antara mereka dahulu
dengan mereka sekarang, yaitu perbuatan syirik.
Orang yang mengetahui fakta dan obyektif dalam bersikap, dia akan tahu
bahwa yang dilakukan oleh para da’i tauhid adalah yang kedua.
Dengan demikian apakah termasuk sikap adil dan obyektif menyamakan
perbuatan mereka dengan perbuatan Khawarij yang dilakukan tanpa
kebenaran dan dalil syari’at yang bisa diterima ? Maka jelas bahwa para
da’i tauhid terbebas dari tuduhan yang tidak benar itu.
Inilah di antara syubhat yang tersebar dan menghalangi umat dari
kebenaran dengan sedikit bantahannya. semoga membuka hati kita untuk
mengikuti kebenaran. Hanya Allâh Yang Memberi Taufiq.
(Tulisan ini banyak mengambil dari tesis Ustadz Abdullah Zaen Lc, MA
yang berjudul Mazhahir al-Inhiraf fi Tauhid al-Ibadah lada Ba'dh Muslimi
Indonesia wa Mauqif al-Islam minha)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment