Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Usaha dan harta yang halal pada zaman ini mesti menjadi perhatian utama
bagi setiap muslim, mengingat sangat besar pengaruhnya terhadap kebaikan
dan keberkahan harta yang diperolehnya. Manakala saat ini telah
menyebar secara cepat dan luas usaha haram, sehingga banyak yang juga
tidak peduli terhadap harta yang dimilikinya, dari mana dan bagaimana
mendapatkannya?! Realita saat ini pernah disinyalir oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seseorang tidak lagi
peduli dengan apa yang ia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!
[HR al-Bukhâri 2059].
NIKMAT YANG HARUS DIKENDALIKAN
Harta, merupakan salah satu nikmat Allâh bagi hamba-Nya dalam kehidupan
di dunia ini, menjadi sarana menikmati manfaat dan perhiasan dunia. Juga
bisa menjadi sarana mencapai keridhaan Allâh. Allah berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ
الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. [al-Kahfi/18:46].
Oleh karena itu, syariat tidak melarang kaum Muslimin memiliki harta,
namun kepemilikan itu harus diraih dengan cara-cara yang dibenarkan
syari'atkan begitu juga penggunaannya. Islam memandang harta sebagai
satu diantara lima darurat (adh-Dharuriyat al-Khams) yang sangat dijaga
dan perlu diperhatikan penjagaannya. Syariat memberikan hukuman secara
tegas dan keras pada seseorang yang mengambil harta orang lain dengan
cara bathil, bahkan dalam tahapan tertentu diberlakukan potong tangan
dalam pencurian. Semua ini demi menjaga dan melindungi harta dari
ganguan dan perampasan.
Pada hakikatnya harta itu milik Allâh Azza wa Jalla. Manusia hanya
memilikinya sebagai amanah dan titipan. Allâh Azza wa Jalla akan terus
memantau dan melihat apa yang dilakukan oleh orang yang dititipi harta
tersebut, apakah ia memanfaatkannya pada sesuatu yang halal ataukah
dipergunakan dalam suatu yang haram ?
Allâh tidak membiarkan manusia memiliki harta atau mengeluarkannya tanpa
aturan dan undang-undang. Allâh Azza wa Jalla, sebagai pembuat syariat
membatasi usaha manusia dalam meraih harta dengan halal dan haram, serta
dengan kaidah-kaidah akhlak mulia. Syari'at inilah yang menjadi
landasan dalam penentuan halal dan haram, bukan dengan hasil fikiran
manusia. Tujuannya adalah agar maksud dari pengadaan harta itu bisa
tercapai secara sempurna. Jika diserahkan kepada manusia dan hawa
nafsunya maka manusia akan semena-mena menggunakannya, memuaskan hawa
nafsu dan syahwatnya sebagaimana diperbuat kaum kapitalis.
SYARI’AT MENGATUR HARTA
Syariat yang mulia ini menetapkan batasan dan hukum-hukum yang mengatur
masalah harta untuk menyempurnakan pembentukan pribadi yang beraqidah
dan berakhlak mulia. Di dalamnya terdapat penjagaan hak individu dan hak
masyarakat, sehingga memiliki keistimewaan yang tidak ada dalam aturan
lainnya.
Pertama : Komitmen penuh terhadap hukum-hukum syariat yang mengatur
tuntunan tata cara mendapatkan harta, mengembangkan dan mengeluarkannya
(pemakaian). Seorang Muslim dalam mencari harta harus memperhatikan dan
berpegang dengan sarana atau cara-cara yang diperbolehkan saja.
Kedua : Menunaikan hak-hak wajib pada harta, baik yang berhubungan
dengan pemilik harta maupun dengan orang lain. Hak-hak wajib yang
berhubungan dengan pemilik harta ialah memakainya sesuai dengan batasan
yang diwajibkan syari’at. Yakni tidak berlebihan dan tidak kikir. Itulah
syiar dan ciri Islam, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa
Jalla :
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela
dan menyesal. [al-Isrâ/17:29].
Adapun hak-hak wajib yang berhubungan dengan orang lain, ialah semua
yang diwajibkan syariat pada harta, seperti zakat, infaq kepada keluarga
dan anak-anak, dan hak-hak lain yang diwajibkan syariat.
Ketiga : Pemilik harta yang hakiki ialah Allâh, sedangkan manusia hanya
diberikan hak untuk menggunakan harta dalam membantu merealisasikan
kemaslahatan individu dan umat.
Keempat : Syariat Islam memandang harta pada dzatnya dan tidak bisa
berkembang sendiri. Harta berkembang dengan usaha, amal dan kegiatan
bernilai profit yang diperbolehkan syariat. Tujuannya, untuk pemenuhan
kebutuhan manusia dengan mendapatkan keuntungan yang halal, dan
menghindarkan bahaya harta yang membuatnya menjadi haram; misalnya riba.
Allâh mengharamkan dan memerangi pelaku riba tanpa kompromi.
Kelima : Harta merupakan alat atau sarana untuk dikembangkan dan bukan
hanya untuk disimpan. Ini dikarenakan Allâh l menciptakan harta untuk
diputar dan berpindah-pindah tangan. Misalnya, mengembangkannya dalam
pendirian pabrik dan perusahan, sarana memutar roda ekonomi dan
mengembangkan sumber daya manusia untuk merealisasikan pembangunan
masyarakat. Penimbunan harta dapat menimbulkan penganguran, kurangnya
manfaat harta dan hanya berputar pada sebagian manusia saja.
Suatu hal ironis nampak dalam kehidupan Muslimin sekarang. Sebagian kaum
Muslimin menyimpan harta dan kekayaan pada bank-bank dunia yang
bermarkas di Amerika dan Eropa. Sehingga akibat dari penimbunan ini
memunculkan pengangguran di negara-negara Islam, lantaran sedikitnya
proyek-proyek produktif dan hilangnya sumber perekonomian yang
dibutuhkan sebagai modal. Sedangkan negara-negara yang menyimpan
kekayaan tersebut menggunakannya untuk mempercepat perputaran roda
ekonomi, sehingga perekonomiannya bisa bangkit dan berkembang pesat,
penghasilan individu meningkat dan jumlah pengangguran dapat ditekan.
Mereka memanfaatkan simpanan kaum Muslimim itu untuk peningkatan
produksi, seperti pesawat, mobil, senjata perang dan lain-lainnya.
Oleh karena itu, Islam melarang keras penimbunan harta dan mengajak kaum
Muslimin untuk mengembangkan dan mengelolanya. Semisal dengan syarikat
mudhârabah. Yaitu satu sarana menghilangkan penimbunan harta dengan
memberikan permodalan kepada orang yang memiliki kemampuan
mengembangkannya.
UMAT TIDAK LEPAS DARI PELANGGARAN
Islam secara tegas memberikan tuntunan berkaitan dengan masalah harta
sehingga terhindar dari harta haram dan menutup semua celah yang menjadi
jalan masuk harta haram. Misalnya, melarang riba, transaksi barang
haram, ataupun pembatalan transaksi yang diharam. Meski demikian tidak
sedikit manusia terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak diperbolehkan
ini. Pun tidak terkecuali, juga ada kaum Muslimin yang terperdaya.
Memang, perbuatan haram seolah tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.
Mereka diuji dengannya setiap saat dan waktu, meski dengan tingkatkan
berbeda antara seseorang dengan lainnya, antara satu zaman dengan zaman
lainnya. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Muslimin agar menjauhi
harta haram untuk mengujinya.
Meratanya harta haram pada zaman ini dan pada setiap lini tidak bisa
diingkari, karena riba sudah menjadi perkara umum di seluruh dunia, baik
di negara Islam maupun di negara kafir. Harta yang halal bercampur
dengan yang haram. Akhirnya kita mengalami kesulitan saat harus
mengambil keputusan atau sikap, karena tercampurnya antara yang halal
dan yang haram. Ini menuntut seorang Muslim berhati-hati agar tidak
terjebak dalam harta haram. Juga menuntutnya agar memiliki ilmu dan
pengetahuan tentang hukum halal dan haram. Pengetahuan ini untuk
membantunya terhindar dari semua usaha dan mu’amalah yang menghasilkan
harta haram, ataupun berisikan harta haram. Dengan demikian mengenal
harta yang haram menjadi satu kewajiban agar terhindar dari dosa dan
implikasi buruknya.
HARTA HARAM DAN PEMBAGIANNYA
Para Ulama menjelaskan harta haram dalam beberapa definisi. Diantaranya,
harta haram adalah semua yang ada padanya sifat haram. Ada juga yang
menyatakan, semua yang diharamkan secara syariat pemanfaatannya dari
semua sisi. Juga ada yang menyatakan, semua yang tidak halal
pemanfaatannya untuk pemiliknya karena adanya nash shahih dan jelas
tentang pengharamannya, atau adanya larangan secara tegas, atau adanya
balasan siksa bagi penggunanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa harta haram adalah semua yang diharamkan
syariat akan kepemilikan dan pemanfaatannya atas seorang Muslim karena
adanya sifat haram.
Para Ulama membagi harta haram menjadi dua.
Pertama : Harta haram karena dzatnya. Yaitu haram pada asal dan
sifatnya. Ini menyangkut semua yang diharamkan syariat karena faktor
tertentu pada dzat atau materinya, tidak terpisah dalam segala keadaan,
seperti minuman keras, babi, bangkai, darah dan lain-lainnya.
Pengharaman ini dijelaskan dalam beberapa ayat, diantaranya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allâh, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.
[al-Mâ`idah/5:3].
Pengharaman ini tidak hanya untuk pembatasan pada barang tersebut saja,
tetapi semua yang menyebabkan kemudharatan bagi manusia dianalogikan
kepadanya, seperti narkotik, rokok, dan sejenisnya yang sudah dipastikan
membahayakan manusia.
Kedua : Hrta haram karena faktor luar. Atau sering disebut dengan haram
dengan sebab tertentu (al-muharram bi sababihi). Atau harta haram karena
cara mendapatkannya (al-haraam li kasbihi).
Harta yang demikian ini semuanya diharamkan syariat karena ada faktor
luar yang mempengaruhi sifatnya dan bukan karena dzatnya. Faktor yang
menjadikannya haram tidak ada pada dzat dan hakikatnya, tetapi datang
dari faktor luar yang terpisah dari dzatnya. Pengharaman harta ini tidak
berpengaruh pada dzat dan hakikat harta itu sendiri, seperti harta
riba. Harta riba diharamkan bukan karena dzat atau materi harta itu,
tetapi diharamkan karena sifatnya. Dzat harta ini tidak tercela, bahkan
seharusnya terpuji karena menjadi penyebab tercapainya maslahat dunia
dan agama. Allâh Azza wa Jalla memuji harta dengan sebutan kebaikan
(al-khair) yang menjadi pokok kehidupan, seperti dalam firman-Nya:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ
قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah
sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
[an-Nisâ’/4:5].
Dari uraian singkat ini jelaslah perbedaan antara harta haram karena
dzatnya dan harta haram karena usaha dan cara mendapatkannya. Dan
komitmen pada hukum halal dan haram merupakan asas pondasi. Jika
pondasinya kuat dan lurus, maka akan kuat. Sebaliknya, bila asas
pondasinya lemah dang tidak lurus, maka akan mudah runtuh dan hancur.
Semoga bermanfaat.
Wallâhu a'lam bish-Shawâb.
Maraji:
1. Ahkâm al-Mâl al-Harâm wa Dhawâbit al-Intifa’ wat-Tasharruf bihi
fil-Fiqhil-Islâmi, Dr. Abbas Ahmad Muhammad al-Bâz, Darun-Nafâ-is,
Yordania.
2. At-Taubah min al-Makâsib al-Muharrâmah, Khalid bin Abdillah al-Mushlih.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment