Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA
PENDAHULUAN
Alhamdulillah, selawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Hidup di masyarakat yang heterogen seperti di negeri ini tentunya
memiliki dinamika yang berbeda dengan hidup di masyarakat yang homogen.
Perbedaan budaya, ideologi, dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap
hukum agamanya tampak dengan nyata. Kondisi semacam ini tentunya
menuntut kita bersikap bijak. Dengan demikian kita dapat mewujudkan
kepentingan kita tanpa harus bergesekan atau berbenturan dengan aturan,
peraturan, norma masyarakat apalagi hukum syariat. Terlebih dalam banyak
kesempatan Anda tidak memiliki wewenang dan bahkan keberanian untuk
sekedar menunjukkan sikap apalagi melakukan satu perubahan.
Coba Anda bayangkan, ketika Anda belanja di supermarket, Anda
menyaksikan khamar, daging babi, dan berbagai barang haram lainnya
diperjualbelikan. Atau mungkin pula ketika sebagai penjual, Anda
mengetahui dengan yakin bahwa mata pencaharian calon pembeli anda
menyimpang alias haram secara syariat. Kondisi semacam ini tentuk
mengusik ketenangan batin Anda, sehingga Anda meragukan status halal
keuntungan yang Anda peroleh dari bertransaksi dengan mereka.
ALASAN SUATU HARTA DIHARAMKAN?
Secara hukum syariat, suatu harta dapat dinyatakan haram karena dua alasan:
1. Haram karena alasan yang melekat pada harta itu (zatnya), semisal khamar, daging babi, dan yang semisal.
2. Haram karena adanya kesalahan dalam metode mendapatkannya, semisal
harta yang diperoleh dengan cara merampas, menipu, akad riba, dan yang
serupa.
Harta haram karena alasan yang melekat padanya, semisal bangkai, babi, khamar dan yang semisal. Allah Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. [al-Ma’idah/5 :3]
Status haram harta jenis ini berlaku bagi semua orang. Tidak ada bedanya
antara yang mendapatkannya dengan cara mencuri, menipu, atau dengan
cara membeli, warisan atau hibah atau akad serupa lainnya.
Sahabat Anas ibn Malik Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa sahabat Abu
Talhah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal
beberapa anak yatim yang menerima warisan berupa khamar. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi pertanyaan Abu Talhah ini
dengan bersabda: “Tumpahkanlah.” Mendengar jawaban itu, sahabat Abu
Talhah berkata, “Tidaklah lebih baik bila khamar itu aku proses agar
menjadi cuka?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Tidak.” [1]
Karena keharaman harta ini bersifat permanen dan berlaku atas semua orang maka haram untuk diperjualbelikan.
Sahabat ‘Abdullah ibn ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengisahkan, “Suatu
hari datang seorang lelaki membawa hadiah berupa sekantong minuman
khamar untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menanggapi
hadiah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahukah engkau
bahwa Allah telah mengharamkan minuman khamar?’ Lelaki itu menjawab,
‘Tidak’, dan selanjutnya ia berbisik kepada seseorang. Melihat tamunya
berbisik-bisik, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
‘Apa yang engkau bisikan kepadanya?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya
memintanya untuk menjualkan khamar tersebut.’ Menanggapi pengakuan
tamunya ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ الَّذِي حَرَّمَ شُرْ بَهَا حَرَّمَ بَيْعَهَا
"Sejatinya Allah yang mengaharamkan minum khamar juga mengharamkan penjualannya.’” [2]
Keharaman memperjualbelikan harta jenis ini berlaku baik
diperjualbelikan secara langsung atau hasil olahannya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَ لَمَّا حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ شُحُو مَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan kaum Yahudi, sejatinya tatkala Allah Azza wa
Jalla mengharamkan lemak hewan ternak atas mereka, maka mereka
melelehkannya hingga menjadi minyak, lalu mereka menjualnya dan
menikmati hasil penjualannya.” [3]
Pembaca yang budiman, keharaman harta jenis ini tidak berubah walaupun
di kemudian hari Anda mendapatkan adanya sebagian manfaat atau nilai
ekonomis padanya. Karena itu, tidak sepantasnya Anda terkejut apalagi
goyah keimanan Anda gara-gara mendengar atau membaca keterangan tentang
daging babi yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis tinggi.
Percayalah bahwa walaupun daging babi memiliki nilai ekonomis tinggi,
namun tetap saja mudarat dampak buruknya berlipat ganda dari manfaatnya.
Demikianlah faktanya, setiap yang diharamkan pastilah mudaratnya lebih
besar dibanding manfaatnya, karena itu dalam al-Quran al-Karim
benda-benda haram disebut dengan al-khabais (benda-benda kotor).
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7: 157]
Berdasarkan ayat ini, sebagian ulama dengan tegas menyatakan. “Segala
yang Allah Ta’ala halalkan pastilah baik, bermanfaat bagi kesehatan
badan dan keutuhan agama umat manusia. Sebaliknya, segala yang Allah
Ta’ala haramkan pastilah buruk, dan merusak kesehatan badan dan keutuhan
agama umat manusia.[4]
Adapun harta yang diharamkan karena tata cara memperolehnya terlarang,
maka keharamannya hanya berlaku atas sebagian orang saja, yaitu atas
orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Hasil curian haram atas
pencuriannya, namun halal bagi pemiliknya. Harta hasil korupsi, maka
haram atas koruptornya, sedangkan bagi rakyat maka harta itu halal
hukumnya. Dengan demikian, keharaman harta jenis ini hanya berlaku dari
satu arah. Sebagimana yang dapat kita pahami dari hukum riba yang
ditegaskan pada ayat berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu: kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah /2: 278-279]
Cermatilah bagaimana pada ayat dia atas dengan jelas Allah Ta’ala
memerintahkan agar para Rentenir membatalkan bunga/riba yang telah
mereka sepakati dan hanya memungut pokok utangnya saja. Dengan cara ini
mereka dapat terbebas dari perbuatan menzalimi atau merugikan orang lain
dan juga tidak dizalimi atau dirugikan.
Kesimpulannya, orang yang mendapatkan harta ini dengan cara halal maka
halal pula harta tersebut baginya. Sebagai contoh sederhana, seorang
pencuri haram untuk menikmati hasil curiannya. Namun, tidak diragukan
bahwa harta hasil curian itu halal bagi pemiliknya yang sah. Bahkan
andai pemiliknya yang sah memaafkan pencuri tersebut maka harta curian
itu yang sebelumnya haram atasnya, sekejap berubah menjadi halal.
Dikisahkan bahwa suatu hari Sahabat Safwan ibn Umayyah Radhiyallahu anhu
tidur di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbantalkan
bajunya. Di saat terlelap dalam tidurnya, bajunya dicuri oleh seseorang.
Namun, pencuri bajunya itu berhasil ditangkap dan segera dihadapkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka segera Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pencuri itu dipotong
tangannya. Mengetahui pencuri bajunya akan segera dipotong tangannya,
Sahabat Safwan Radhiyallahu anhu merasa iba, sehingga ia berkata kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Wahai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, apakah tangannya akan engkau potong karena ia mencuri
bajuku? Ketahuilah bahwa aku telah menghalalkan bajuku untuknya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi ucapan Sahabat
Safwan Radhiyallahu anhu dengan bersabda:
فَهَلاَّ كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ
“Mengapa tidak engkau maafkan sebelum engkau melaporkannya kepadaku?”[5]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, “Dengan penjelasan ini maka
jelaslah bahwa orang yang bekerja dengan cara halal, atau menyewakan
kendaraan, properti, atau lainnya lalu ia mendapatkan upah, maka upah
itu halal dan tidak haram. Baginya, sama saja mengetahui bahwa
penyewanya mendapatkan uangnya dengan cara halal atau ia tidak
mengetahuinya. Namun, bila ia mengetahui bahwa pembelinya mendapatkannya
dengan cara merampas, atau mencuri, atau melalui cara yang tidak halal
baginya, maka pada kondisi semacam ini ia terlarang untuk menerimanya
sebagai upah atau harga barang dagangannya.” [6]
Penjelasan al-Imam Ibnu Taimiyyah ini selaras dengan praktik Amirul
Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu anhu. Suwaid ibn Gafalah
mengisahkan bahwa pada suatu hari Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu
mengadukan kepada Amirul Mukminin perihal beberapa pegawainya yang
memungut upeti dalam bentuk minuman khamar dan hewan babi. Mendapat
laporan ini, segera Amirul Mukminin ‘Umar Ibnu al-Khattab Radhiyallahu
anhu mengeluarkan perintah:
لاَ تَأْ خُذُوْا مِنْهُمْ، وَلَكِنْ وَلَوهم بَيْعَهَا، وَخُذُوْا أَنْتُمْ مِنَ الثَّمَنِ
“Janganlah kalian menerima upeti dalam bentuk khamar dan babi, namun
biarkan mereka (orang Yahudi dan Nasrani yang tinggal di negeri Islam)
memperjual belikannya kepada sesama mereka. Dan bila telah terjual, maka
kalian boleh menerima uang hasil penjualannya.”[7]
Al-Imam Abu ‘Ubaid rahimahullah mengomentari riwayat ini dengan berkata,
“Riwayat ini menjelaskan bahwa kala itu petugas khilafah menerima upeti
dan pajak tanah dari orang-orang kafir yang tinggal di negeri Islam
dalam bentuk khamar dan babi. Dan selanjutnya petugas yang notabene
beragamakan Islam itu menjual khamar dan babi tersebut. Praktik semacam
inilah yang diingkari oleh Sahabat Bilal Radhiyallahu anhu dan
selanjutnya dilarang oleh Khalifah ‘Umar Radhiyallahu anhu. Sebagai
solusinya, beliau mengizinkan para petugasnya untuk memungut upeti dan
pajak tanah dari hasil penjualan khamar dan babi tersebut, selama yang
menjualnya ialah orang-orang kafir tersebut. Alasan beliau membuat
keputusan semacam ini karena secara hukum khamar dan babi dianggap
sebagai harta kekayaan orang-orang kafir, namun tidak boleh dijadikan
sebagai bagian dari harta kekayaan umat Islam.”
Penjelasan ini tentang perubahan status hukum suatu harta seperti ini
oleh sebagian ulama ahli fikih dituangkan dalam satu kaidah yang
berbunyi:
تَبَدُّلُ سَبَبِ الْمِلْكِ قَائِمٌ مَقَامَ تَبَدُّلِ الذَّاتِ
“Pergantian jalur kepemilikan suatu benda, dianggap sebagai pergantian fisik benda tersebut.” [8]
Inilah kedua alasan diharamkannya suatu harta atas umat Islam, yang
masing-masing alasan ini memiliki perincian yang beraneka ragam
sebagaimana dijelaskan di atas.
CARA BERTAUBAT DARI KEDUA JENIS HARTA HARAM
Adapun cara bertaubat dari dosa memiliki atau mendapatkan kedua jenis harta haram tersebut di atas maka dengan cara:
1. Menyesal, karena telah memakan atau menggunakan barang yang haram untuk dimakan atau digunakan.
2. Bertekad untuk tidak mengulanginya.
3. Memohon ampun kepada Allah atas dosa memakan atau menggunakan harta yang haram untuk digunakan.
4. Bila harta haram tersebut diharamkan karena alasan cara
mendapatkannya yang terlarang, maka wajib untuk mengembalikan harta
tersebut kepada pemiliknya atau meminta untuk dimaafkan. Baik pemiliknya
adalah perorangan atau instansi pemerintah atau perusahaan atau
lainnya. Allah Azza wa Jalla menjelaskan tentang tata cara bertaubat
dari harta riba:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [al-Baqarah/2:
279]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَأْ خُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَعِبًاجَادًّا وَإِذَا أَخَذَأَحَدُكُمْ عَصَاأَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
“Janganlah engkau mengambil barang milik temanmu, baik hanya sekedar
bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan bila engkau mengambil barang
milik saudaramu, maka segera kembalikanlah kepadanya.”[9]
Pada hadits lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لأِحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْشَيْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ
وَلاَ دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ
صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa pernah melakukan tindak kezaliman kepada seseorang, baik
dalam urusan harga dirinya, atau hal lainnya, maka segeralah ia meminta
untuk dimaafkan, sebelum tiba hari yang tiada lagi dinar atau dirham.
Bila hari itu telah tiba maka akan diambilkan dari pahala amal salehnya
dan diberikan kepada orang yang ia zalimi sebesar tindak kezalimannya.
Dan bila ia tidak memiliki pahala kebaikan, maka akan diambilkan dari
dosa-dosa orang yang ia zalimi dan akan dipikulkan kepadanya.[10]
Namun, bila Anda tidak dapat mengembalikannya kepada pemiliknya karena
suatu alasan yang dibenarkan secara syariat, maka sedekahkanlah harta
tersebut atas nama pemiliknya. Dengan cara ini, berarti Anda menyiapkan
diri dengan menabungkan pahala sebesar hartanya yang Anda ambil. Dengan
demikian, bila kelak ia menuntut haknya di hari Kiamat, maka Anda telah
menyiapkan pahala sedekah sebesar hartanya yang Anda ambil dengan
cara-cara yang tidak benar, sebagaimana ditegaskan pada hadits di atas.
Demikian paparan singkat dan sederhana tentang tata cara bertaubat dari
memiliki atau menggunakan harta haram. Semoga paparan singkat dan
sederhana ini bermanfaat bagi Anda.
Wallahu Ta’ala a’lam bi al-sawab.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Tahun ke-13/Muharram 1435.
Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat :
Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim (61153). Telp & Fax
0313940347, Redaksi 081231976449]
_______
Footnote
[1]. HR Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya
[2]. HR Muslim
[3]. Muttafaq ‘alaihi
[4]. Tafsir Ibnu Katsir 3/488
[5]. Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi, dan lainnya
[6]. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/330
[7]. Riwayat Abu ‘Ubaid dalam kitabnya al-Amwal riwayat no. 115, ‘Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Musannaf 6/23, dan lainnya
[8]. al-Qqwa’id wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah al-Mutadamminah li al-Taisir 1/71
[9]. Ahmad 4/221 dan lainnya
[10]. al-Bukhari hadits no. 2317
0 komentar:
Post a Comment