Oleh
Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib
Cinta dan tamak harta merupakan sifat, tabiat dan watak manusia, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan [al-Fajr/89:20]
Usaha yang baik dan halal merupakan hal yang terpuji dalam agama Islam,
karena Allâh Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar berkerja dan
berusaha keras, sebagaimana firman-Nya :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. [al-Mulk/67:15]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Amr bin
al-’Âs,‘Wahai Amr, Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki
yang shalih’(diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya dan Ibnu Hibban
dalam Shahihnya)
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا أكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أنْ يَأكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِه ، وَإنَّ نَبيَّ الله دَاوُدَ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَأكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
‘Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada
memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud
Alaihissallam makan dari hasil jerih payahnya sendiri’. [HR. al-Bukhâri]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لأَنْ يَأخُذَ أحَدُكُمْ أحبُلَهُ ثُمَّ يَأتِيَ الجَبَلَ ، فَيَأْتِيَ
بحُزمَةٍ مِنْ حَطَب عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا ، فَيكُفّ اللهُ بِهَا
وَجْهَهُ ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أنْ يَسْألَ النَّاسَ ، أعْطَوْهُ أَوْ
مَنَعُوهُ
Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa
utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat
kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allâh mencukupkan
kebutuhan hidupnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama
manusia, baik mereka memberi ataupun tidak’[HR. al-Bukhâri]
Allâh Azza wa Jalla menjadikan rasa suka dan cinta terhadap harta
sebagai cobaan dan ujian. Karena, Allâh Azza wa Jalla , Dzat yang
Mahaagung yang telah menetapkan ketuhanan dan keesaan-Nya dalam
ayat-ayat al-Qur'ân kemudian juga mengingatkan bahwa Dialah satu-satunya
yang mengatur hukum halal dan haram, satu-satunya Pencipta dan Pemberi
rezeki, yang berhak mengatur kehidupan dunia ini. Jadi hak untuk
menetapan hukum halal dan haram hanyalah milik-Nya semata.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ
Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
[al-Baqarah/2:168]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allâh telah
rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allâh yang kamu beriman
kepada-Nya.[al-Mâidah/5:88]
Halalan thayyiban dalam ayat di atas sesuatu yang dihalakan bagi kalian
dan bukan diperoleh dengan cara yang diharamkan, seperti merampas,
merampok, mencuri, riba, risywah atau sogokan, korupsi, penipuan dan
berbagai macam mu'âmalah haram lain.
Thayyiban maksudnya tidak al-khabîts, yakni tidak kotor atau najis,
seperti bangkai, daging babi atau anjing, minuman keras dan yang
sejenisnya.
Orang-orang yang memiliki harta halal dan mata pencaharian yang halal
adalah orang-orang yang paling selamat agamanya, paling tenang hati dan
pikirannya, paling lapang dadanya, paling sukses kehidupannya.
Kehormatan dan harga diri mereka bersih dan terjaga, rezeki mereka penuh
berkah dan citra mereka dimasyarakat selalu indah.
Mencari harta halal dengan cara yang halal adalah sifat mulia yang telah
dicerminkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Mereka, para assalafus shâlih juga selalu saling
mengingatkan untuk berhati-hati dalam masalah makanan, minuman dan mata
pencaharian.
Dari Abi Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أكَلَ طَيِّبًا ، وعَمِلَ فِي سُنَّةٍ ، وَأَمِنَ الناسُ بَوَائِقَهُ ، دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa mengkonsumsi sesuatu yang baik, melaksanakan sunnah dan
masyarakat sekitarnya tidak terganggu dengan keburukannya, maka dia
masuk surga’. [HR. Tirmidzi]
Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ، فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا:
حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِى
طُعْمة
Ada empat hal, bila keempatnya ada pada dirimu, maka segala urusan dunia
yang luput darimu tidak akan membahayakanmu : menjaga amanah, berkata
benar, akhlak baik dan menjaga urusan makanan’.
SIKAP ORANG-ORANG SHALIH
Banyak sekali potret orang-orang shalih terdahulu sebagai bukti
kehati-hatian dan kewaspadaan mereka dalam masalah ini. Diantaranya :
1. Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu . Suatu ketika hamba sahayanya
membawa sesuatu makanan dan Abu Bakar as-Shiddiq Radhiyallahu anhu
memakannya. Lalu hamba sahaya itu berkata, "Wahai tuanku, tahukah Anda
dari mana makanan ini?" Abu Bakar Radhiyallahu anhu menjawab, 'Dari mana
engkau dapat makanan ini?' Budak itu menjawab, "Dahulu saya pernah
berlagak seperti orang pintar (dukun), padahal saya tidak pandai ilmu
perdukunan. Saya hanya menipunya. Lalu (di kemudian hari) dia
menjumpaiku dan memberikan upah kepadaku. Makanan yang tadi Anda makan
adalah bagian pemberian tersebut.” Mendengar hal itu Abu Bakar
Radhiyallahu anhu langsung memasukkan jari-jarinya ke mulutnya sampai ia
memuntahkan semua makanan yang baru beliau makan.
2. Suatu ketika Umar Radhiyallahu anhu diberi minum susu dan beliau
Radhiyallahu anhu begitu senang. Kemudian beliau Radhiyallahu anhu
bertanya kepada orang yang memberinya minum, "Dari manakah engkau
mendapatkan susu ini?" Orang itu menjawab, 'Aku berjalan melewati seekor
unta sedekah, sementara mereka sedang berada dekat dengan sumber air.
Lalu aku mengambil air susunya.' Mendengar cerita orang itu, seketika
itu pula Umar Radhiyallahu anhu memasukkan jari ke mulutnya agar ia
memuntahkan susu yang baru diminumnya.
3. Kisah seorang wanita shalihah yang menasehati suami tercintanya
dengan ucapannya, "Wahai suamiku! Bertakwalah engkau kepada Allâh saat
mencari rezeki untuk kami! Karena sesungguhnya kami mampu menahan lapar
dan dahaga, akan tetepi kami tak akan mampu menahan panas api neraka."
Begitulah sikap wara' orang-orang shalih, dalam rangka menjaga agama
mereka, merealisasikan ketakwaan mereka serta menjauhkan diri-diri
mereka dari perkara-perkara syubhat (yang tidak jelas).
Lalu bagaimanakah nasib mereka yang dengan sengaja mencari yang haram
untuk mengisi perutnya sendiri dan memenuhi kebutuhan keluarganya?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang
tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan
halal ataukah yang haram’. [HR. al-Bukhâri]
Rakus dan tamak terhadap dunia, mengekor kepada syahwat dan tamak akan
rezeki serta melupakan hari perhitungan menjadikan manusia terbuai untuk
memburu angan-angan gemerlap dan kelezatan dunia tanpa memperhatikan
sumber penghasilan dan usahanya.
Dari Khudzaifah bin al-Yaman Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkata, "Kemarilah kalian semua!’
Kemudian para shahabat beliau menghampirinya dan duduk menghadapnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Ini ada utusan Allâh
malaikat Jibril. Ia membisikkan ke dalam benakku bahwa satu jiwa tidak
akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya sekalipun rezekinya
terlambat datang kepadanya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada
Allâh dan lakukanlah usaha dengan cara yang baik! Janganlah kedatangan
rezeki yang terlambat menyeretmu untuk bermaksiat kepada Allâh Azza wa
Jalla , karena apa yang ada di sisi Allâh hanya bisa diraih dengan
ketaatan kepada-Nya." [HR. Bazzâr dalam Musnadnya dengan sanad yang
shahih]
Kalimat أجملوا في الطلب (lakukanlah usaha dengan cara yang baik!) dalam
hadits di atas maksudnya adalah usaha mencari rezeki agar memperoleh
pendapatan dunia.
PENGARUH MAKANAN HARAM
Adakalanya seorang Muslim bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih
akan tetapi ia memandang remeh dan kurang peduli dengan masalah
mengkonsumsi harta yang haram, padahal akibatnya sangat fatal. Orang
seperti ini akan rugi di dunia dan di akhirat. Amal ibadahnya tertolak,
doanya tidak akan diijabahi (tidak dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla)
dan harta serta usahanya tidak akan diberkahi.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla baik dan Dia tidak
akan menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allâh telah
memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang telah
diperintahkan kepada para Rasul. sebagaimana Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai sekalian para Rasul, makanlah yang baik-baik dan beramal
shalihlah, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan
[al-Mukminûn/23:51]
Allâh juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik dari rezeki yang Kami berikan kepada kalian”[al-Baqarah/2:172].
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan perihal
seorang lelaki yang sedang melakukan safar (perjalanan jauh), yang
berambut kusut, kusam dan berdebu, yang menadahkan tangan ke langit lalu
berdoa: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!... Sementara makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dikenyangkan dengan makanan
yang haram, maka bagaimana bisa doa dikabulkan? [HR. Muslim]
Oleh sebab itu, sedekah dari harta yang haram akan tertolak dan tidak
diterima. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةً بِغَيْرِ طَهُورٍ ، وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ
Allâh tidak akan menerima shalat seseorang tanpa berwudlu (bersuci), dan
tidak akan menerima sedekah dengan harta ghulul (curian/korupsi) [HR.
Muslim]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ، وَمَنْ
جَمَعَ مَالًا حَرَامًا ثُمَّ تَصَدَّقَ مِنْهُ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيهِ
أَجْرٌ وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
‘Jika engkau telah menunaikan zakat hartamu maka engkau telah
melaksanakan kewajiban dan barang siapa yang mengumpulkan harta dari
jalan yang haram, kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali
dia tidak akan memperoleh pahala, bahkan dosa akan menimpanya’. [HR.
Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân dalam Shahihnya]
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang
tumbuh dari makanan haram. [HR. Ibn Hibban dalam Shahîhnya]
Dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحتٍ إلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَولَى بِهِ
Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram kecuali neraka lebih utama atasnya. [HR. Tirmidzi]
Kata السحت dalam hadits di atas maksudnya adalah semua yang haram dalam
segala bentuk dan macamnya, seperti hasil riba, hasil sogokan, mengambil
harta anak yatim dan hasil dari berbagai bisnis yang diharamkan
syari'at.
Hendaklah setiap individu Muslim selalu ingat, bahwa Allâh Subhanahu wa
Ta’ala akan menanyakan di hari Kiamat tentang harta masing-masing orang,
dari mana ia memperolehnya dan kemana ia infakkan? Sebuah pertanyaan
untuk sebuah penegasan dan penghitungan, yang kemudian diiringi balasan
dah hukuman yang adil.
Maka barangsiapa melatih dirinya agar memiliki sifat takwa, wara’
(menahan dari yang haram), ‘iffah (menjaga kehormatan), qanâ’ah (merasa
cukup dengan yang ada dan halal) serta menjadi orang senantiasa
melakukan introspeksi diri, maka sifat itu akan menjadi tabiat dan
karakternya.
Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
Katakanlah! "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya
sedikitpun” [an-Nisâ’/4:7]
Dari Khaulah al-Anshâriyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya ada sebagian orang yang mengambil harta milik Allâh bukan
dengan cara yang haq, sehingga mereka akan mendapatkan neraka pada hari
Kiamat’ [HR. al-Bukhâri]
GHULUL, DOSA BESAR YANG DIREMEHKAN
Diantara dosa besar yang dianggap sepele oleh sebagian besar masyarakat
adalah al-ghulûl. al-Ghulûl maksudnya mengambil sesuatu yang bukan
miliknya dari harta bersama, atau memanfaatkan barang-barang inventaris
kantor untuk kepentingan pribadi atau keluarganya bukan untuk
kepentingan umum. Prilaku seperti ini termasuk perbuatan zhalim yang
berat bisa menyeret masyarakat pada kerusakan, terutama pelakunya.
Pelaku tindak kezhaliman ini terancam hukuman yang keras di dunia dan
juga di akhirat, sebagaimana termaktub dalam al-Qur'ân. Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu” [ali
Imrân/3:161]
Dari Abu Humaid as-Sa’idi Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempekerjakan seseorang dari
kabilah al-Azdi yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat.
Setelah bekerja ia datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata, "Ini untuk Anda dan yang ini untukku, aku diberi
hadiahkan. Mendengar ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri di atas mimbar seraya bersabda :‘Ada apa dengan seorang pengurus
zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan mengatakan, 'Ini untukmu
dan ini hadiah untukku!' Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau
rumah ibunya, dan melihat, apakah ia diberi hadiah ataukah tidak? Demi
Allâh Azza wa Jalla , tidaklah seseorang datang dengan mengambil sesuatu
dari yang tidak benar melainkan ia akan datang dengannya pada hari
Kiamat, lalu dia akan memikulnya di lehernya. (Jika yang ia ambil
adalah) unta, maka akan keluar suara unta. Jika sapi, maka akan keluar
suara sapi; Jika kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami bisa melihat
putih kedua ketiak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan,
‘Wahai Allâh! Aku telah menyampaikannya?’[HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Dari Buraidah Radhiyallahu anhu , dia mengatakan bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam barsabda, "Barangsiapa yang telah kami
ambil untuk melakukan suatu tugas dan kami telah menetapkan rezeki (gaji
atau upah), maka harta yang dia ambil selain gaji dari kami adalah
ghulûl (pengkhianatan, korupsi atau penipuan)’. [HR. Abu Daud]
Permasalahannya, bukan pada banyak atau sedikitnya barang yang diambil,
akan tetapi ini merupakan asas atau sendi, juga merupakan aturan agama
yang mereka anut, serta akhlak yang menghiasi diri mereka serta amanah
yang wajib mereka tunaikan. Jika virus ghulûl (korupsi) dibiarkan, maka
dia akan membesar. Orang yang sudah terbiasa mengambil suatu yang kecil,
suatu ketika dia akan berani mengambil sesuatu yang lebih besar.
Jika ghulûl (mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya) sudah menjadi
hal jamak atau lumrah pada sebuah masyarakat, dimana si pelaku tanpa
rasa sungkan dan malu mengambil harta yang bukan haknya, itu artinya
akhlak yang hina ini telah tersebar di kalangan mereka. Padahal setiap
akhlak tercela itu menyeret pelakunya pada prilaku yang lebih buruk
sehingga terjebak dalam sebuah rangkaian perbuatan maksiat yang
terus-menerus merusak hati dan menghancurkan moral serta membangkitkan
egois. Semua ini akan menyeret seseorang untuk berbuat zhalim, menyulut
rasa dengki dan mengakibatkan perpecahan.
Kerusakan pada managemen kantor dan keuangan bisa juga memberikan dampak
negatif pada masyarakat, keterpurukan akhlak, kemiskinan serta
kerusakan agama mereka, juga membuka peluang untuk berbuat korup dan
merebaknya budaya sogok. Sehingga sering terdengar, banyak orang yang
tidak bisa mendapatkan hak kecuali dengan sogok.
Kalau amanah sudah ditinggalkan maka banyak hak yang terabaikan,
keadilan akan melemah, kezhaliman merajalela, rasa aman hilang dan
masyarakat dilanda ketakutan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda dalam harits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah hari Kiamat’.
Dan Ibn Mas'ûd Radhiyallahu anhu berkata, "Yang pertama kali hilang dari agamamu adalah amanah."
PENUTUP
Maka tiada jalan untuk selamat dari siksa Allâh Azza wa Jalla , kecuali
dengan murâqabatullâh (merasa selalu dalam pengawasan Allâh Azza wa
Jalla) disaat sepi atau ramai, selalu takut kepada Allâh sebelum takut
kepada manusia. Dan tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dan
memajukannya serta melepaskannya dari belenggu kebodohan dan
keterbelakangan kecuali dengan menegakkan keadilan, menghilangkan
kezhaliman, mempekerjakan orang yang amanat.
(Diangkat dari khutbah jum'ah di Masjidil Haram di Mekah yang
disampaikan oleh Syaikh Shalih bin Muhammad Alu Thalib pada tanggal
16/3/1435 dengan judul Khuthûratu Aklil Mâlil Harâm )
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 12/Tahun XVII/1435H/2014M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment