Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun keluarga dalam naungan
cinta. Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat yang harus disiapkan
untuk membentuk masyarakat yang baik. Karena itulah Islam memberikan
perhatian dalam mewujudkan faktor pendukung terciptanya hal ini. Bentuk
perhatian ini dapat terlihat dari hukum syariat yang ditetapkan dalam
membangun keluarga, nasehat, anjuran serta bimbingan dalam mewujudkan
kehidupan yang baik.
Percampuran kaum muslimin dengan kafir dewasa ini adalah sesuatu yang
tidak bisa dielakkan, karena kepentingan di antara mereka sangat berkait
akibat adanya pergaulan bebas. Tentunya hal ini dapat mengakibatkan
munculnya hubungan yang terus menerus dan saling mempengaruhi di antara
mereka.
Berkait dengan intraksi antar umat beragama, Islam memiliki aturan yang
sempurna. Aturan ini dapat menjaga keselamatan aqidah dan kepribadian
umatnya, secara umum ataupun individu. Peraturan ini harus diterapkan
oleh kaum muslimin demi menyelamatkan diri dan lingkungan dari kerusakan
dan kesengsaraan.
Penerapan aturan ini menjadi semakin penting seiring dengan sedikitnya
kaum muslimin yang mengerti syari’at serta gencarnya propaganda
pluralisme yang mengusung pemikiran bahwa semua agama itu sama. Jika
tidak diterapkan, lambat laun aqidah al-Walâ’(setia kepada kaum
muslimin) wal Barâ (membenci orang-orangkafir) yang merupakan salah satu
pokok aqidah Islam, akan terkikis habis.
Di antara fenomena yang menunjukkan aqidah al-Walâ’ dan al Barâ ini
mulai luntur dari hati sebagian kaum muslimin dan perlu mendapatkan
perhatian yaitu berlangsungnya pernikahan antara seorang wanita muslimah
dengan non muslim (baca kafir) di masyarakat kita. Peristiwa tragis ini
terjadi, mungkin karena ketidak tahuan si pelaku terhadap ajaran Islam
tentang masalah ini atau ada yang sengaja mengaburkan ajaran Islam demi
memuluskan penyebaran pemikiran pluralismenya. Oleh karena itu, aturan
Islam tentang masalah ini perlu dijelaskan.
SIAPAKAH ORANG KAFIR ITU?
Orang kafir dalam syariat Islam adalah sebutan untuk umat non muslim
yang terdiri dari kaum musyrikin dan ahli kitab, sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata. [al-Bayyinah/ 98:1]
Oleh karena itu, saat membicarakan hukum pernikahan dengan orang kafir
berarti mencakup hukum pernikahan dengan kaum musyrikin dan pernikahan
dengan ahli kitab.
MENIKAHI WANITA MUSYRIK
Seorang muslim dilarang menikahi wanita musyrik baik merdeka maupun budak. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Dan sungguh wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. [al-Baqarah/2:221][1]
Hal ini juga ditegaskan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir [al-Mumtanah/ 60:10]
Sehingga setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini Umar bin
al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu menceraikan dua istri beliau Radhiyallahu
'anhu yang dinikahinya ketika masih musyrik.[2]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Tidak ada perselisihan di antara
para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli
kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang
mereka anggap baik, haram (bagi kaum muslimin).[3]
MENIKAHKAN WANITA MUSLIMAH DENGAN ORANG KAFIR
Kaum muslimin dilarang menikahkan wanita muslimah dengan semua orang
kafir baik orang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala (paganis) atau
lainnya. Karena mereka tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah
walaupun muslimah tersebut seorang fasiq. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ
خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih
baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [al-Baqarah/2:221]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menyatakan :
Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mu'min-red) hingga mereka beriman. [4]
Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka
tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal bagi mereka. [al-Mumtahanah/60:10]
Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan : “Ayat
ini berisi pengharaman kaum mukminat bagi orang-orang kafir.” [5]
Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang untuk
mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila
status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu
lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.
Sedangkan secara logika tentang pelarangan ini, syaikh Muhammad bin
Shâlih al-Utsaimîn menyatakan : “Adapun dalil nazhari (dalil akal),
karena tidak mungkin seorang muslimah itu akan menjadi baik di bawah
kekuasaan suami yang kafir padahal suami adalah sayyid (pemimpin),
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِن دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju
gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya menjumpai suami
(sayyid) wanita itu di depan pintu. [Yusuf/12:25]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَلَيْكُمْ
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah tawanan kalian.[6]
MENIKAHI WANITA AHLI KITAB
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang seorang muslim menikahi wanita
musyrik secara umum dalam surat al-Baqarah ayat 221 di atas, namun Allah
Azza wa Jalla mengecualikan larangan menikahi wanita ahli kitab dalam
firman-Nya:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan dari kalangan kaum mukminat dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum
kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan
gundik-gundik. [al-Mâidah/5:5]
Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah menyatakan: “Pendapat yang
paling rajih tentang tafsir ayat (221 dari al-Baqarah –pen-) adalah
pendapat Qatâdah rahimahullah yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:
وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman)
adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara zhahir ayat ini
bersifat umum. namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang
dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk
didalam ayat di atas, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalalkan bagi
kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari
ahli kitab dengan firman-Nya:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu,) sebagaimana Allah Azza wa Jalla
menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan. [7]
Dengan dasar ayat ini para ulama membolehkan seorang muslim menikahi
wanita ahli kitab yang merdeka. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah
menyatakan : “Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang
kehalalan wanita merdeka ahli kitab. Di antara yang diriwayatkan
(menikahi mereka) adalah Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'anhu, Utsmân
Radhiyallahu 'anhu [8], Thalhah Radhiyallahu 'anhu, Hudzaifah
Radhiyallahu 'anhu [9], Salmân Radhiyallahu 'anhu, Jâbir Radhiyallahu
'anhu [10] dan yang lainnya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada riwayat shahih dari
seorangpun ulama generasi pertama yang mengharamkan wanita ahli kitab
yang merdeka. [11]
MENGAPA WANITAMUSLIMAH DILARANG MENIKAH DENGAN ORANG KAFIR SEDANGKAN
LELAKI MUSLIM DIPERBOLEHKAN MENIKAHI WANITA KAFIR AHLI KITAB?
Pertanyaan ini dijawab dari dua sisi :
1. Islam itu tinggi dan tidak boleh direndahkan. Kepemimpinan dalam
rumah tangga ada pada suami karena statusnya sebagai seorang lelaki
walaupun setara dalam akad. Sebab kesetaraan tidak dapat menghilangkan
perbedaan yang ada, sebagaimana dalam perbudakan. Apabila seorang lelaki
memiliki budak wanita maka ia boleh menggaulinya dengan sebab
perbudakan tersebut. Sedangkan wanita apabila memiliki budak lelaki maka
tidak boleh berhubungan intim dengannya. Ditambah juga karena
kepemimpinan lelaki atas wanita dan anak-anaknya padahal ia kafir
tentunya agama sang wanita dan anak-anaknya tidak selamat dari
pengaruhnya.
2. Islam itu sempurna sementara yang lain tidak. Maka dibangun di atas
hal ini perkara sosial yang memiliki hubungan erat dalam tatanan rumah
tangga. Seorang muslim apabila menikahi wanita ahli kitab maka ia
beriman kepada kitab suci dan rasul wanita tersebut. Sehingga sang suami
akan tinggal bersama istrinya ini dengan didasari penghormatan kepada
agama sang istri secara garis besar. Lalu terjadilah di sana kesempatan
untuk saling memahami dan bisa jadi mengantar wanita tersebut masuk
Islam dengan konsekwensi kandungan kitab sucinya. Adapun bila seorang
kafir ahli kitab menikahi wanita muslimah, ia tetap tidak beriman kepada
agama wanita tersebut. Sehingga ia tidak menghormati prinsip dan agama
istrinya. Dan tidak ada kesempartan untuk saling memahami pada perkara
yang ia sendiri tidak mengimaninya. Karena itulah pernikahan ini
dilarang.[12]
SIAPAKAH WANITA AHLI KITAB YANG DIMAKSUD?
Mayoritas ulama menafsirkan kata al-Muhshanât dalam ayat ini dengan
wanita yang menjaga kehormatannya dan dengan dasar ini sebagian ulama
membolehkan pernikahan wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya baik
merdeka ataupun budak.
Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab di sini adalah orang Yahudi dan Nashrani (Kristen).
Namun yang perlu diingat di sini seorang muslim yang ingin menikahi
wanita ahli kitab karena keadaan tertentu haruslah memiliki aqidah yang
kokoh, mengerti hukum-hukum syari’at dan komitmen mengamalkan dan
mematuhi hokum dan syiar Islam. Perlu diingat bahwa menikahi wanita ahli
kitab mengandung banyak resiko terhadap aqidah sang lelaki ataupun
nantinya berpengaruh pada agama anak keturunannya. Kenyataannya sudah
jelas dan banyak terjadi, berapa banyak keluarga yang hancur agamanya
dengan sebab ibunya seorang ahli kitab. Oleh karena itu sebaiknya ingat
kembali kepada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan agamanya, maka ambillah yang memiliki agama (baik),
kamu akan beruntung. [HR al-Bukhari].
Nikahilah wanita muslimah yang taat beragama! Itu lebih baik bagi anda.
Wabilahi taufiq.
Referensi:
1. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ karya syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
2. Al-Mughni karya Ibnu Qudâmah
3. Jâmi’ ahkâm an-Nisâ` karya syaikh Musthafa al-’Adawi
4. Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 12/146
[2]. Lihat kisahnya diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhâri –lihat Fath al-Bâri 5/322
[3]. Lihat al-Mughnî 9/548
[4]. Syarhu al-Mumti’ 12/145
[5]. Adhwâ’ al-Bayân 8/163
[6]. Syarhu al-Mumti’ 12/145. Hadits yang beliau sampaikan ini ada dalam sunan at-Tirmidzi dengan lafazh :
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ketahuilah berbuat baiklah pada wanita karena mereka adalah tawanan
disisi kalian. [HR at-Tirmidzi no. 1163 dan beliau berkata : Hadits
hasan shohih. Juga diriwayatkan ibnu Majah no. 1851]
[7]. Lihat jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/118
[8]. Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad dha’îf sebagaimana disampaikan
syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/123
[9]. Diriwayatkan Sa’id bin Manshûr dan dinilai shahih oleh syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
[10]. Diriwayatkan imam asy-Syâfi’i dalam al-Umm dan dinyatakan syaikh
Musthafa al-‘Adawi : Para perawinya tsiqah. (lihat Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ`
3/122
[11]. Al-Mughni 9/545
[12]. Diambil dari Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/120 dengan sedikit perubahan.
0 komentar:
Post a Comment