Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
تُـعْـرَضُ الْـفِـتَـنُ عَلَـى الْـقُـلُـوْبِ كَالْـحَصِيْـرِ عُـوْدًا
عُوْدًا ، فَـأَيُّ قَـلْبٍ أُشْرِبَـهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْـتَـةٌ
سَوْدَاءُ ، وَأَيُّ قَـلْبٍ أَنْـكَـرَهَا نُـكِتَ فِـيْـهِ نُـكْتَـةٌ
بَيْضَاءُ ، حَتَّىٰ تَصِيْـرَ عَلَـىٰ قَـلْبَيْـنِ : عَلَـىٰ أَبْـيَـضَ
مِثْـلِ الصَّفَا ، فَـلَا تَـضُرُّهُ فِـتْـنَـةٌ مَـا دَامَتِ
السَّمٰـوَاتُ وَالْأَرْضُ ، وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُـرْبَادًّا ،
كَالْكُوْزِ مُـجَخِّـيًا : لَا يَعْرِفُ مَعْرُوْفًـا وَلَا يُـنْـكِرُ
مُنْكَـرًا ، إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ.
Fitnah-fitnah menempel dalam lubuk hati manusia sedikit demi sedikit
bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul
bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak
fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati
menjadi dua : yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin,
tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada.
Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi
sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup
(terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak
mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh
hawa nafsunya.”
TAKHRIJ HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. Imam Muslim dalam Shahiih-nya (no. 144),
2. Imam Ahmad dalam Musnad-nya (V/405),
3. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4218).
SYARAH HADITS:
Menurut bahasa, kata fitnah –bentuk tunggal dari kata fitan- berarti
musibah, cobaan dan ujian. Makna kata ini berasal dari perkataan:
فَتَنْتُ الْفِضَّةَ وَالذَّهَبَ, artinya aku uji perak dan emas dengan
api agar dapat dibedakan antara yang buruk dan yang baik[1].
Menurut istilah (terminologi), kata fitnah disebutkan berulang dalam
al-Qur'ân pada 72 ayat, dan seluruh maknanya berkisar pada ketiga makna
di atas.
Setiap hari hati manusia didera oleh fitnah. Fitnah terbagi dua macam,
yaitu fitnah syahwat dan fitnah syubhat (dan ini adalah fitnah yang
paling besar). Keduanya bisa ada dalam diri seseorang, atau hanya salah
satunya saja. Fitnah syahwat adalah fitnah keduniaan, seperti harta,
kedudukan, pujian, sanjungan, wanita, dan yang lainnya. Fitnah syubhat
adalah fitnah pada pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang
menyimpang.
Ibnul Qayyim rahimahullah (wafat th. 751 H) menjelaskan tentang fitnah
syubhat dan syahwat, “Fitnah syubhat ada karena lemahnya pengetahuan dan
sedikitnya ilmu, apalagi jika dibarengi dengan jeleknya niat serta
terturutinya hawa nafsu, maka itu adalah fitnah dan musibah yang besar.
Maka katakanlah semaumu tentang orang sesat dan niatnya jelek, yang
menjadi hakimnya adalah hawa nafsunya bukan petunjuk, dibarengi dengan
lemahnya pengetahuan, tidak banyak tahu tentang ajaran yang dibawa
Rasulullah, maka dia termasuk salah satu dari yang disebutkan Allâh Azza
wa Jalla dalam firman-Nya :
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ
“… Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya …” [an-Najm/53:23]
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan
menyesatkan seseorang dari jalan Allâh Azza wa Jalla , Allâh Azza wa
Jalla berfirman :
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ
النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ
شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
(Allâh berfirman), ‘Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan
khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara
manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena
akan menyesatkan engkau dari jalan Allâh. Sungguh, orang-orang yang
sesat dari jalan Allâh akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.’” [Shâd/38:26]
Dan ujung dari fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Dialah
fitnahnya orang munafiqin, fitnahnya ahlul bid’ah sesuai dengan
tingkatan kebid’ahan mereka. Mereka berbuat bid’ah dikarenakan fitnah
syubhat yang menyebabkan al-haq menjadi tersamar bagi mereka dengan
kebathilan, petunjuk tersamarkan dengan kesesatan.
Dan seseorang tidak akan selamat dari fitnah ini kecuali dengan
mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , berhukum dengannya
dalam masalah agama yang kecil maupun yang besar, yang zhahir maupun
bathin, dalam masalah keyakinan dan perbuatan, hak-haknya dan
syariatnya. Maka dia menerima hakikat iman, syariat Islam, dan apa-apa
yang Allâh tetapkan berupa sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, serta
nama-nama-Nya, dan apa-apa yang Allâh nafikan dari-Nya. Sebagaimana dia
menerima dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kewajiban shalat,
waktu-waktunya, dan jumlah raka’atnya, kadar nishab zakat dan
orang-orang yang berhak menerimanya, kewajiban berwudhu dan mandi junub,
serta puasa Ramadhan. Jadi dia tidak boleh menjadikan Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam satu urusan agama dan
tidak dalam urusan agama yang lain, tetapi dia (harus) menjadikan
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul dalam segala
sesuatu yang dibutuhkan oleh ummat dalam ilmu dan amal, dia tidak
mengambil (syari’at) kecuali darinya. Jadi petunjuk itu tidak keluar
dari perkataan dan perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
dan semua yang tidak sesuai dengannya (dengan syari’at yang beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa) adalah kesesatan.
Jenis fitnah yang kedua yaitu fitnah syahwat. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan fitnah tersebut dalam firman-Nya :
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ
أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَاسْتَمْتَعْتُمْ
بِخَلَاقِكُمْ كَمَا اسْتَمْتَعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ
وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(Keadaan kamu kaum munafik dan musyrikin) seperti orang-orang sebelum
kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan
anak-anaknya. Maka mereka telah menikmati bagiannya, dan kamu telah
menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati
bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana
mereka mempercakapkannya. Mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di
akhirat. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” [at-Taubah/9:69]
Maksudnya, bersenang-senanglah dengan bagian kalian di dunia dan
syahwatnya. al-Khalâq yaitu bagian yang telah ditentukan. Kemudian Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا (dan kamu
mempercakapkan (hal-hal yang bathil) sebagaimana mereka
mempercakapkannya…” Percakapan yang bathil ini adalah syubhat.
Allâh Azza wa Jalla mengisyaratkan dalam ayat tersebut apa-apa yang bisa
menimbulkan kerusakan hati dan agama, yaitu bersenang-senang dengan
dunia (berupa harta dan anak-anak) dan percakapan-percakapan yang
bathil. Karena kerusakan agama itu bisa terjadi dengan sebab keyakinan
bathil dan membicarakannya, atau dengan perbuatan yang tidak sesuai
dengan ilmu yang benar. Yang pertama adalah bid’ah dan sejenisnya, dan
yang kedua adalah kefasikan amalan. Kerusakan pertama merupakan
kerusakan dari segi syubhat, dan yang kedua dari segi syahwat.
Karena inilah Ulama salaf berkata, “Berhati-hatilah dari dua jenis
manusia : Pengekor hawa nafsu yang terfitnah oleh hawa nafsunya dan
pecinta dunia yang telah dibutakan oleh dunia.”
Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fitnah orang alim yang fajir
(menyimpang), dan orang yang suka beribadah tetapi bodoh, karena fitnah
mereka berdua adalah fitnah bagi orang-orang yang terfitnah.”
Asal atau akar dari semua fitnah itu adalah perbuatan mendahulukan akal
daripada syari’at, dan hawa nafsu daripada akal. Yang pertama merupakan
akar fitnah syubhat, dan yang kedua adalah akar fitnah syahwat.
Fitnah syubhat itu harus ditangkal dengan keyakinan, dan fitnah syahwat
ditangkal dengan kesabaran. Karena itulah Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan kepemimpinan agama bergantung kepada dua perkara ini (sabar
dan yakin). Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini
ayat-ayat Kami.” [as-Sajdah/32:24]
Ayat tersebut menunjukkan bahwa dengan sabar dan yakin, kepemimpinan
dalam agama akan dapat diraih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyatukan
keduanya juga dalam firman-Nya:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“…Serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” [al-‘Ashr/103:3]
Maka saling menasehati dalam kebenaran akan dapat melawan syubhat, dan
saling menasehati dalam kesabaran akan menghentikan syahwat. Allâh
menyatukan keduanya dalam firman-Nya :
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya‘qub yang mempunyai
kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” [Shâd/38:45]
Al-Aidii adalah kekuatan dalam beribadah kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dan taat kepada-Nya, al-Abshâr adalah ilmu dalam agama Allâh.
Perkataan para Ulama salaf pun berkisar pada pengertian tersebut.
Maka dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, fitnah syahwat dapat
dilawan, dan dengan kesempurnaan ilmu dan keyakinan, fitnah syubhat
dapat dilawan. Wallahul musta’an.”[2]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dengan ayat dan hadits. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ
وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang
bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah
tempat kembali yang baik.” [Ali ‘Imrân/3:14]
Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa sesungguhnya yang
dimaksud dalam ayat ini adalah kebaikan itu bukan dengan syahwat, akan
tetapi kebaikan itu yaitu apa-apa yang disediakan Allâh Subhanahu wa
Ta’ala bagi siapa saja dari para hamba-Nya yang bertakwa dan selamat
dari tujuan syahwat ini dan bersembunyi dari syahwat dengan apa-apa yang
sudah dihalalkan oleh Allâh, serta sabar atas apa yang diharamkan oleh
Allâh. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَٰلِكُمْ ۚ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا
عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ
بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
Katakanlah: Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang
demikian itu. Untuk orang-orang yang bertaqwa (kepada Allâh), pada sisi
Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka
kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan
serta keridhaan Allâh. Dan Allâh Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [Ali
‘Imrân/3:15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Siapa saja di antara mereka yang
bersabar terhadap fitnah, niscaya akan selamat dari fitnah yang lebih
besar. Sebaliknya, siapa saja yang terbenam dalam fitnah, niscaya akan
jatuh ke dalam fitnah yang lebih buruk lagi. Jika orang yang tengah
hanyut dalam fitnah segera bertaubat dengan benar niscaya dia akan
selamat. Namun, jika ia tetap tenggelam di dalamnya berati orang itu
berada di atas jalan orang yang binasa. Karena itulah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ.
“Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[3,4]
Penyakit syahwat juga dijelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ
Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan
suara) dalam berbicara sehingga orang yang di dalam hatinya ada penyakit
menginginkan sesuatu…” [al-Ahzâb/33: 32]
Hati yang sakit akan terganggu oleh syahwat sekecil apa pun dan tidak
akan mampu menangkal syubhat yang mendatanginya. Sementara hati yang
sehat dan kuat, meski sering didatangi syahwat atau syubhat, namun ia
berhasil menghalaunya dengan pertolongan Allâh Azza wa Jalla dan dengan
kekuatan iman dan kesehatannya.
Sedangkan penyakit syubhat adalah sebagaimana dinyatakan di dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh...” [Al-Baqarah/2: 10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لِـكُـلِّ أُمَّـةٍ فِتْنَـةً وَفِتْنَـةُ أُمَّـتِـي الْـمَـالُ.
Setiap ummat itu ada fitnahnya, dan fitnahnya ummatku adalah harta.[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ الِنّسَاءِ
Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[6]
Fitnah ini akan masuk ke dalam hati manusia yang merupakan sebab hati menjadi sakit. Dan fitnah ini banyak sekali macamnya.
Di antara Jenis Fitnah Syahwat:
• Melihat kepada perkara-perkara yang haram dilihat, sering memandang
perempuan yang bukan mahram, membaca majalah porno, melihat
gambar-gambar yang terbuka auratnya, menonton film cabul, menonton TV,
sinetron, dan lain-lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
... فَزِنَـى الْـعَيْـنَيـْنِ الـنَّظَـرُ ...
... dan zinanya kedua mata adalah dengan memandang... [7]
Menjaga pandangan dan kemaluan termasuk dalam tazkiyatun nufus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh, Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
[an-Nûr/24:30]
• Ikhtilâth (campur-baur laki-laki dan perempuan), khalwat (berdua-duaan
laki-laki dan perempuan), pacaran, mabuk asmara (kasmaran), dan
sebagainya. Pacaran hukumnya haram dalam Islam.
• Bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, atau berjabat tangan
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan sebagainya.
Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
hukumnya haram.
• Zina, kumpul kebo, nikah mut’ah, dan sebagainya. Nikah mut’ah sama dengan zina. Zina itu haram dan dosa besar.
• Homosex dan sodomi yang merupakan perbuatan kaum Luth. Hukumnya haram dan dosa besar.
• Onani dan masturbasi. Hukumnya haram.
Adapun di antara jenis fitnah syubhat adalah sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah penyakitnya oleh Allâh ... [al-Baqarah/2:10]
Qatâdah, Mujâhid, dan lain-lain rahimahumullaah menafsirkan, “Di hatinya
ada penyakit, yaitu penyakit syakk (keragu-raguan).”[8]
Fitnah syubhat adalah fitnah kesesatan, maksiat, bid’ah, kezhaliman,
kebodohan, keyakinan, pemikiran, pemahaman yang sesat, aliran-aliran
yang sesat, dan yang lainnya.
Fitnah syahwat membuat rusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala . Dan fitnah syubhat membuat rusaknya ilmu dan
keyakinan.
Tatkala manusia dihadapkan pada fitnah berupa syahwat dan syubhat, maka hati manusia akan terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Hati yang ketika datang fitnah langsung menyerapnya seperti
spons yang menyerap air, lalu muncul titik hitam di tubuhnya. Ia terus
menyerap setiap fitnah yang ditawarkan kepadanya sehingga tubuhnya
menghitam dan miring. Bila sudah hitam dan miring ia akan berhadapan
dengan dua malapetaka yang sangat bahaya:
1. Tidak dapat membedakan mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (buruk).
Terkadang penyakit ini semakin parah sehingga ia menganggap yang ma’ruf
adalah munkar dan yang munkar adalah ma’ruf. Yang sunnah dianggap bid’ah
dan yang bid’ah dianggap sunnah. Yang benar dianggap salah dan yang
salah dianggap benar.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata :
هَـلَـكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُـهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْـكِرْ قَلْبُـهُ الْـمُنْـكَـرَ.
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari kemungkaran. [9]
2. Menjadikan hawa nafsu sebagai sumber hukum yang lebih tinggi daripada
apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
selalu tunduk kepada hawa nafsu dan mengikuti kemauannya.
Kedua: Hati putih yang telah disinari oleh cahaya iman yang terang
benderang. Jika hati semacam ini ditawari fitnah, ia akan mengingkari
dan menolaknya sehingga sinarnya menjadi lebih kuat dan lebih
terang.[10]
Nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Janganlah engkau jadikan hatimu seperti busa dalam menampung segala yang
datang dan syubhat-syubhat, ia menyerapnya sehingga yang keluar dari
busa tadi adalah syubhat-syubhat yang diserapnya tadi. Namun jadikanlah
hatimu itu seperti kaca yang kokoh dan rapat (air tidak dapat merembes
ke dalamnya) sehingga syubhat-syubhat tersebut hanya lewat di depannya
dan tidak menempel di kaca. Dia melihat syubhat-syubhat tersebut dengan
kejernihannya dan menolaknya dengan sebab kekokohannya. Karena kalau
tidak demikian, apabila hatimu menyerap setiap syubhat yang datang
kepadanya, maka hati tersebut akan menjadi tempat tinggal bagi segala
syubhat.[11]
Wajib diperhatikan oleh setiap muslim dan muslimah bahwa hati manusia
senantiasa berbolak balik. Hati ini tidak mudah dikendalikan. Hati
sangatlah mudah untuk berubah. Bisa jadi, di pagi hari seseorang masih
dalam keadaan beriman, namun sore harinya berubah kafir, atau sore hari
ia beriman tapi di pagi harinya ia berubah kafir. Di pagi hari ia masih
mengikuti Sunnah, namun di sore harinya ia meninggalkan Sunnah. Di pagi
hari ia memulai dengan amal-amal ketaatan namun di sore hari ia
bermaksiat. Pagi hari ia memanfaatkan waktu dengan amal-amal yang
bermanfaat, namun di sore harinya ia mengerjakan hal-hal yang sia-sia.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ ،
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا ، أَوْ يُمْسِي
مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا ، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ
الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih sebelum kedatangan
fitnah-fitnah itu yang seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari
seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di
sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir karena ia
menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit[12]
Inilah hati, yang selalu berbolak-balik karena ia berada di antara jari
dari jari-jemari Allâh Yang Maha Penyayang. Karenanya, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada ummatnya untuk memperbanyak
permohonan kepada Allâh agar diberikan ketetapan hati.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Anas Radhiyallahu anhu melanjutkan, “Wahai Rasûlullâh ! Kami telah
beriman kepadamu dan kepada apa (ajaran) yang engkau bawa. Masihkah ada
yang membuatmu khawatir atas kami?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab :
نَـعَمْ ، إِنَّ الْـقُـلُوْبَ بَـيْـنَ أُصْبُـعَـيْـنِ مِنْ أَصَابِعِ اللّٰـهِ يُـقَلِـّبُـهَـا كَـيْـفَ يَـشَاءُ.
Benar (ada yang aku khawatirkan kepada kalian), sesungguhnya hati-hati
itu berada di antara dua jari dari jari-jemari Allâh, dimana Dia
membolak-balikkan hati itu sekehendak-Nya.[13]
Hadits-hadits yang semakna juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, ‘Aisyah, Shahabat-Shahabat lainnya Radhiyallahu anhum.[14]
Al-Qur-an adalah penawar dari penyakit syahwat dan syubhat. Sebab,
al-Qur'ân berisi bukti-bukti dan dalil-dalil mutlak yang bisa membedakan
antara haq (benar) dan bathil sehingga penyakit-penyakit syubhat yang
merusak ilmu, keyakinan, dan pemahaman bisa hilang. Karena seseorang
bisa melihat segala sesuatu sesuai dalil dari al-Qur'ân dan as-Sunnah
dengan pemahaman yang benar.
Al-Qur'ân juga dapat mengobati penyakit syahwat karena di dalamnya
terdapat hikmah dan petuah yang baik melalui targhîb (anjuran), tarhîb
(peringatan), anjuran untuk bersikap zuhud terhadap dunia dan
mengutamakan akhirat, contoh-contoh dan kisah-kisah yang mengandung
banyak pelajaran dan petuah. Sehingga, apabila hati yang sehat
mengetahui hal itu, ia akan menyukai hal-hal yang bermanfaat baginya di
dunia dan akhirat, dan membenci segala yang merugikan dirinya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari al-Qur'ân sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan bagi orang yang zhalim
(al-Qur'ân) itu hanya akan menambah kerugian.” [Al-Isrâ'/17:82]
Setiap orang hendaklah mempelajari tanda-tanda (ciri-ciri) hati yang
sakit dan hati yang sehat agar dapat mengetahui kondisi hatinya secara
tepat. Bila hatinya sakit, ia harus berusaha untuk mengobatinya dengan
al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih serta
senantiasa menjaga kesehatannya, mudah-mudahan kita meninggal dunia
dengan hati yang selamat (sehat). Karena hati yang baik, sehat, dan
selamatlah yang akan diterima oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada hari
Kiamat.[15]
FAWAA-ID:
1. Hati adalah tempat ujian.
2. Hati manusia setiap hari dimasuki oleh fitnah, baik fitnah syahwat maupun fitnah syubhat.
3. Fitnah syahwat berkaitan dengan fitnah keduniaan, seperti harta,
kedudukan, pujian, sedangkan fitnah syubhat berkaitan dengan fitnah pada
pemahaman, keyakinan, aliran, juga pemikiran yang menyimpang.
4. Sumber fitnah syubhat yaitu perbuatan mendahulukan akal daripada
syari’at sedangkan asal fitnah syahwat mendahulukan hawa nafsu daripada
akal.
5. Fitnah syubhat adalah fitnahnya orang-orang munafik dan ahlul bid’ah
karena fitnah syubhat ini membuat mereka tidak memberdakan antara yang
haq dan yang bathil, dan antara petunjuk dan kesesatan. Semuanya menjadi
rancu
6. Fitnah syubhat bisa ditangkal dengan keyakinan dan fitnah syubhat ditolak dengan kesabaran.
7. Hidup dan bersihnya hati merupakan pokok segala kebaikan, adapun mati dan gelapnya hati adalah pokok segala keburukan.
8. Seseorang tidak akan selamat dari fitnah syubhat dan syahwat kecuali
dengan mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Fitnah syahwat bisa merusak niat dan tujuan dalam ibadah kepada Allâh
Azza wa Jalla . Dan fitnah syubhat merusak ilmu dan keyakinan.
10. Wajib bagi kita berhati-hati dalam berbicara dan beramal, jangan
mengikuti langkah-langkah setan yang telah mengotori hati manusia dengan
fitnah syubhat dan syahwat.
11. Orang yang terkena fitnah syubhat atau syahwat tidak bisa membedakan
lagi antara yang ma’ruf dan munkar, kecuali mengikuti hawa nafsunya.
12. Obat yang paling mujarab untuk membersihkan hati adalah dengan
menuntut ilmu syar’i berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah menurut pemahaman
salafus shalih, mentauhidkan Allâh dan menjauhkan syirik, ikhlas,
beriman dengan keimanan yang benar, serta menjauhkan perbuatan nifak dan
bid’ah.
13. Selalu berdo’a dengan do’a yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَـا مُـقَـلِـّبَ الْـقُـلُـوْبِ ، ثَـبّـِتْ قَـلْبِـيْ عَلَـىٰ دِيْـنِـكَ
Ya Allâh, Yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat untuk penulis dan para pembaca. Dan
mudah-mudahan Allâh melindungi kita dari fitnah syahwat dan syubhat dan
menunjuki kita di atas sunnah, menetapkan hati kita di atas Islam dan
Sunnah, serta diberikan istiqamah sampai akhir hayat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisânul ‘Arab (XIII/317).
[2]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, Imam Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, ditakhrîj oleh Syaikh al-Albâni dan ditahqiq oleh Syaikh
Ali Abdul Hamid al-Halabi, (II/887-891), dengan sedikit diringkas.
[3]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma .
[4]. Ighâtsatul Lahfân fi Mashâyidisy Syaithân, (II/886). Lihat
al-Fitnah wa Mauqiful Muslim minha, Dr. Muhammad Abdul Wahhab al-‘Aqil,
cet. Daar Adhwa-us Salaf, hlm. 25.
[5]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2336), Ahmad (IV/160), Ibnu Hibban
(no. 2470-al-Mawârid), dan al-Hâkim (IV/318), lafazh ini milik
at-Tirmidzi, beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Shahabat
Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 592).
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 5096) dan Muslim (no. 2740 (97)), dari Shahabat Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhuma.
[7]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6612), Muslim (no. 2657 (20)), Ahmad (II/276) dan Abu Dawud (no. 2152).
[8]. Tafsîr Ibni Katsîr, tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah, (I/180).
[9]. Atsar shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IX/no.
8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 38577). Imam
al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ-id (VII/257), “Rawi-rawinya
adalah rawi-rawi kitab ash-Shahîh.”
[10]. Lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahfân (hlm. 39-40) dan al-Bahrur Râ-iq fiz Zuhdi war Raqâ-iq (hlm. 54-55).
[11]. Lihat Miftâh Dâris Sa’âdah (I/443) oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
[12]. Shahih: HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad
(II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu .
[13]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2140), dan selainnya.
[14]. Sunan at-Tirmidzi (no. 3522) dengan sanad yang shahih.
[15]. Lihat buku penulis “Tazkiyatun Nufus”, hlm. 41-42, cet. Pustaka at-Taqwa.
0 komentar:
Post a Comment