Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
صَلَّيْنَا الْـمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْنَا : لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ
الْعِشَاءَ. قَالَ : فَجَلَسْنَا، فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ: ((
مَازِلْتُمْ هَاهُنَا؟ )) قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللَّـهِ ، صَلَّيْنَا
مَعَكَ الْـمَغْرِبَ. ثُمَّ قُلْنَا : نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ
الْعِشَاءَ. قَالَ: ((أَحْسَنْتُمْ ، أَوْ أَصَبْتُمْ)) ، قَالَ: فَرَفَعَ
رَأْسَهُ إِلَى السَّماءِ. وَكَانَ كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ
إِلَى السَّمَاءِ. فَقَالَ: ((اَلنُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ. فَإِذَا
ذَهَبَتِ النُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ. وَأَنَا أَمَنَةٌ
لِأَصْحَابِـيْ. فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ.
وَأَصْحَابِـيْ أَمَنَـةٌ لِأُمَّتِيْ. فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِـيْ أَتَى
أُمَّتِـيْ مَا يُوْعَدُوْنَ)).
Kami shalat Maghrib bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu kami berkata, ‘Seandainya kita duduk-duduk sampai shalat ‘Isya
bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .' Lalu kami duduk sampai
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami dan
bertanya, ‘Kalian masih disini ?’ Kami menjawab, ‘Wahai Rasûlullâh, kami
telah shalat bersamamu, kemudian kami berkata, kita akan tetap duduk
sampai shalat ‘Isya bersamamu.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ‘Kalian bagus atau kalian benar.’ Berkata (shahabat yang
meriwayatkan hadits ini yaitu Abu Musa al-Asy’ari), ‘’Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepala ke langit dan hal itu
sering beliau lakukan. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Bintang-bintang itu sebagai penjaga langit, apabila
bintang-bintang itu hilang maka datanglah apa yang dijanjikan atas
langit itu. Dan aku adalah penjaga bagi para shahabatku, apabila aku
telah pergi (meninggal dunia) maka akan datang kepada shahabatku apa
yang dijanjikan kepada mereka. Dan para shahabatku adalah penjaga bagi
umatku, apabila shahabatku telah pergi (meninggal dunia) maka akan
datang apa yang dijanjikan kepada mereka.'
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2531; Ahmad
(IV/398-399); 'Abdu bin Humaid dalam musnadnya (no. 538); Abu Bakar
al-Khallaal dalam kitab as-Sunnah (no. 772); al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (no. 3861); Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (no. 32964) secara
ringkas dari shahabat Abu Musa al-Asy’ari.
SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini ash-hâbu
artinya para Shahabat. Shahabat adalah orang yang bertemu Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal dalam
keadaan Muslim.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Pendapat paling
benar yang aku pegang ialah bahwa Shahabat adalah orang yang pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggal dalam
keadaan Muslim. Masuk dalam pengertian ini setiap orang (beriman) yang
bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik waktu
perjumpaan itu lama maupun sebentar, baik yang meriwayatkan (hadits)
dari beliau maupun yang tidak, yang ikut berperang bersama beliau maupun
tidak, yang pernah melihat beliau walau hanya sekali meskipun tidak
ikut duduk bersama beliau, dan yang tidak pernah melihat beliau karena
suatu penghalang seperti orang yang buta.”[1]
Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa para shahabat adalah orang
yang bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
beriman dan mati dalam keadaan Islam meskipun dia pernah murtad dan
kembali masuk Islam, seperti asy’ats bin Qais, menurut pendapat yang
kuat.[2]
Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Siapa saja dari kalangan kaum
Muslimin yang pernah menyertai dan melihat Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka ia terhitung sebagai shahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.”[3]
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) berkata, “Shahabat
ialah semua orang yang telah duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan mendengar perkataan beliau
meski hanya satu kalimat atau lebih, atau menyaksikan beliau secara
langsung, dan tidak termasuk kaum munafik yang telah dikenal
kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik…”[4]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”
[al-Baqarah/2:143]
al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali bin Tsabit yang terkenal dengan
al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah (wafat th. 463 H) membuat pasal
khusus di dalam kitabnya “Pujian Allâh dan Rasul-Nya tentang Keadilan
Para Shahabat dan Tidak Perlu Ditanyakan Lagi Tentang Mereka.
Sesungguhnya yang Wajib Adalah Menanyakan (Memeriksa) Perawi Hadits
Sesudah Mereka” kemudian beliau menjelaskan, “...Wajib memperhatikan
keadaan para perawi selain shahabat yang meriwayatkan hadits dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keadilan para shahabat
telah shahih dan telah diketahui melalui pujian Allâh terhadap mereka
dan Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kesucian mereka serta Allâh
telah memilih mereka berdasarkan nash (dalil) dari al-Qur'ân.” Kemudian
beliau rahimahullah membawakan firman Allâh Azza wa Jalla :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allâh…“ [Ali ‘Imrân/3:110]
Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan “kamu adalah umat yang terbaik”
adalah para shahabat Radhiyallahu anhum . Dan kaum Muslimin sepeninggal
mereka akan dikatakan sebaik-baik umat pula apabila mereka mengikuti
para shahabat Radhiyallahu anhum .
Selanjutnya beliau mengatakan, “Ayat ini meskipun umum, tetapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu para Shahabat.”[5]
Dari ayat ini, para ulama Ahli Hadits mengambil kesimpulan bahwa :
اَلصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ
Para Shahabat semuanya adalah adil.[6]
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah (wafat th. 852 H)
berkata, “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil
dan tidak ada yang menyalahi (kesepakatan ini), kecuali sedikit dari
ahlul bid’ah.”[7]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sisi pengambilan dalil dari
hadits (yang ada di awal pembahasan) ini ialah bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikan kedudukan para shahabat bagi orang setelah
mereka seperti kedudukan beliau bagi para shahabatnya, dan juga seperti
keberadaan bintang bagi langit. Dan telah diketahui bahwa permisalan ini
memberikan arti wajibnya umat ini mengambil petunjuk mereka,
sebagaimana para shahabat yang telah mengambil petunjuk Nabi mereka
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang
mengambil petunjuk (jalan/arah) dari bintang. Juga, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa keberadaan mereka di tengah-tengah
umat menjadi pelindung umat serta membentengi mereka dari berbagai
kejelekan dan sebab-sebab kejelekan[8].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa para shahabat
adalah hujjah bagi kita dalam memahami Islam. Para Shahabat bagaikan
bintang di langit. Dalam al-Qur'ân, bintang memiliki tiga fungsi:
1. Sebagai hiasan langit,
2. Pelempar setan,
3. Petunjuk arah.
Maka para shahabat adalah sebagai:
1. Hiasan bagi umat ini,
2. Pelempar bintang api (berupa hujjah yang nyata) terhadap orang-orang
yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan ahlul bid’ah,
3. Petunjuk untuk meluruskan pemahaman.
Maka shahabat adalah sebagai pengintai bagi orang-orang jahil yang
mentakwil sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla , ajaran orang yang bathil,
menolak orang-orang yang menyeleweng dan yang melampui batas. Shahabat
adalah sebagai mercusuar, apabila kaum Muslimin ingin selamat, maka para
shahabat harus dijadikan sebagai rujukan dalam memahami agama Islam ini
(atau dengan kata lain kita wajib beragama menurut cara beragama para
shahabat Radhiyallahu anhum).
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kedudukan para
shahabat dibandingkan dengan generasi setelah mereka dari umat Islam
sebagaimana kedudukan beliau kepada para Shahabatnya dan sebagaimana
kedudukan bintang terhadap langit.
Jelaslah perumpamaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjelaskan
kewajiban mengikuti pemahaman shahabat dalam agama Islam sama dengan
kewajiban umat Islam kembali kepada Nabi mereka, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang menjelaskan al-Qur'ân, sedangkan
para shahabatnya g adalah penyampai dan penjelas bagi umat. Demikianlah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ma’shum
yang tidak berbicara dengan hawa nafsu dan beliau hanya mengucapkan
petunjuk dan hidayah, sedangkan para shahabatnya adil, yang tidak
berkata-kata kecuali dengan kejujuran dan tidak mengamalkan sesuatu
kecuali kebenaran.
Dan demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan
bintang-bintang sebagai alat pelempar setan ketika mencuri kabar
sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
ا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ ﴿٦﴾ وَحِفْظًا
مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ﴿٧﴾ لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ
الْأَعْلَىٰ وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ ﴿٨﴾ دُحُورًا ۖ وَلَهُمْ
عَذَابٌ وَاصِبٌ ﴿٩﴾ إِلَّا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ
ثَاقِبٌ
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan
hiasan bintang-bintang. Dan Kami telah menjaganya dari setiap setan yang
durhaka, mereka (setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan)
para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir
mereka dan mereka akan mendapat adzab yang kekal, kecuali (setan) yang
mencuri (pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala.”
[ash-Shâffât/37:6-10]
Dan firman-Nya :
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ
Dan sungguh, Kami menghiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang,
dan Kami menjadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar
setan...” [al-Mulk/67:5]
Demikian juga para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan
takwil orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang
menyimpang yang mengambil sebagian al-Qur'ân dan membuang sebagiannya,
mengikuti hawa nafsu mereka lalu bercerai-berai ke kanan dan ke kiri
lalu mereka menjadi berkelompok-kelompok.
Demikian juga bintang-bintang menjadi tanda bagi penduduk bumi agar
mereka gunakan sebagai alat petunjuk di kegelapan darat dan laut,
sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang mereka mendapat petunjuk.” [an-Nahl/16:16]
Dan firman-Nya :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu
menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut...”
[al-An’âm/6:97]
Demikian pula para Shahabat, mereka dicontoh untuk menyelamatkan diri
dari kegelapan syubhat dan syahwat, maka orang yang berpaling dari
pemahaman mereka berada dalam kesesatan yang membawanya kepada kegelapan
yang sangat kelam, seandainya dia mengeluarkan tangannya maka tidak
terlihat lagi.
Dengan pemahaman para shahabat, kita membentengi al-Kitab dan as-Sunnah
dari kebid’ahan setan jin dan manusia yang menginginkan fitnah dan
takwilnya untuk merusak apa yang dimaksud Allâh dan Rasul-Nya. Sehingga
pemahaman para shahabat merupakan pelindung dari kejelekan dan
sebab-sebabnya. Seandainya pemahaman mereka bukan hujjah, tentunya
pemahaman orang setelah mereka menjadi penjaga dan pelindung mereka, dan
ini mustahil [9].
Tentang wajibnya mengikuti pemahaman para shahabat banyak ayat-ayat dan
hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
[an-Nisâ'/4:115]
Dan firman-Nya :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada
Allâh, dan Allâh menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” [at-Taubah/9:100]
HUKUM ORANG YANG MENCACI MAKI PARA SHAHABAT
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِـيْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلَا نَصِيْفَهُ
Janganlah kamu mencaci-maki Shahabatku, demi Dzat yang diriku berada di
tangan-Nya, jika seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar
gunung Uhud berupa emas, maka belum mencapai nilai infaq mereka meskipun
(mereka infaq hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua telapak tangan) dan
tidak juga separuhnya.[10]
Hal ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَـةُ اللهِ، وَالْـمَلَائِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
Barangsiapa mencaci-maki para Shahabatku, maka ia akan terkena laknat Allâh, Malaikat, dan manusia seluruhnya.[11]
Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah (wafat th. 264 H) mengatakan :
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَنْتَقِصُ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ زِنْدِيْقٌ،
وَذَلِكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَنَا
حَقٌّ، وَالْقُرْآنُ حَقٌّ، وَإِنَّـمَـا أَدَّى إِلَيْنَا هَذَا
الْقُرْآنَ وَالسُّنَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، وَإِنَّـمَـا يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَجْرِحُوْا شُهُوْدَنَا؛
لِيُبْطِلُوا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ، وَالْـجَرْحُ بِهِمْ أَوْلَـى،
وَهُمْ زَنَادِقَةُ
Apabila engkau melihat seseorang mencaci-maki salah seorang shahabat
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa ia
zindiq. Karena menurut (‘aqidah) kita bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah haq dan al-Qur'ân itu haq, dan hanya para
shahabatlah yang menyampaikan al-Qur'ân ini kepada kita. Mereka hendak
mencela saksi-saksi kita (para shahabat) agar dapat membatalkan
al-Qur'ân dan as-Sunnah, padahal celaan itu lebih pantas bagi mereka,
dan mereka adalah orang-orang zindiq (munafik).[12]
FAWA-ID [13] :
1. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang mulia yang paling dalam ilmu dan hujjahnya.
2. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sumber
rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami al-Qur'ân
dan as-Sunnah.
3. Mengikuti manhaj Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah jaminan mendapat keselamatan dunia dan akhirat. (lihat QS.
an-Nisâ'/4:115)
4. Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang
yang berpegang teguh kepada agama Islam yang berarti mereka telah
mendapat petunjuk, dengan demikian mengikuti mereka adalah wajib.
5. Para shahabat merupakan hujjah bagi ummat Islam dalam memahami agama
Islam, karena itu wajib mengikuti pemahaman para shahabat Radhiyallahu
anhum .
6. Wajib bagi umat Islam mengikuti cara beragamanya para Shahabat Radhiyallahu anhum.
7. Wajibnya bagi umat Islam mengambil petunjuk para shahabat,
sebagaimana mereka yang mengambil petunjuk Nabi mereka shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan sebagaimana penduduk bumi yang mengambil petunjuk
dari bintang.
8. Para Shahabat adalah hiasan umat Islam yang menghancurkan takwil
orang-orang bodoh, ajaran bathil dan penyimpangan orang yang menyimpang.
9. Mengikuti pemahaman salaufus shalih adalah pembeda antara manhaj
(cara beragama) yang haq dengan yang batil, antara golongan yang selamat
dan golongan-golongan yang sesat.
10. Mereka yang menyelisihi manhaj para shahabat pasti akan tersesat dalam beragama, manhaj dan aqidah mereka.
11. Para shahabat sebagai pelempar bintang api (berupa hujjah yang
nyata) terhadap orang-orang yang menyimpang, mengikuti hawa nafsu, dan
ahlul bid’ah.
12. Para shahabat merupakan petunjuk untuk meluruskan pemahaman.
13. Mencintai para Shahabat adalah iman dan membencinya adalah kemunafikan.
14. Dilarang keras mencaci-maki para shahabat.
15. Orang yang mencaci-maki para shahabat akan mendapat laknat Allâh, malaikat, dan seluruh manusia.
16. Hukum mencaci-maki para Shahabat adalah dosa besar dan berhak mendapat hukum dari Ulil Amri.
17. Orang yang mencaci-maki para shahabat adalah zindiq (munafik).
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Ishâbah fî Tamyîzish Shahâbah (I/7).
[2]. Lihat an-Nukat ‘ala Nuzhatin Nazhar fii Taudhîhi Nukhbatil Fikr (hlm. 149-150).
[3]. Fathul Bâri (VII/3).
[4]. Al-Ihkâm fii Ushûlil Ahkâm (V/89).
[5]. al-Kifâyah fii Ma’rifati Ushûli ‘Ilmir Riwâyah (I/180) tahqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Mushthafa Alu Bahbah ad-Dimyati.
[6]. Lihat Irsyâdul Fuhûl ilaa Tahqîqil Haqqi min ‘Ilmil Ushûl (I/228)
karya Imam asy-Syaukani tahqiq Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il.
[7]. Al-Ishâbah fii Tamyiizish Shahâbah (I/9).
[8]. I’lâmul Muwaqqi’iin (V/575-576).
[9]. Lihat Limâdza Ikhtartu al-Manhajas Salafi (hlm. 94-95)
[10]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud
(no. 4658), at-Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam
Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah
(no. 988), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudry z .. Lihat Fat-hul Bâri
(VII/34-36).
[11]. Hasan: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (XII/111 no.
12709), dari Shahabat Ibnu ‘Abbas c . Lihat Shahih al-Jâmi’ush Shaghiir
wa Ziyâdatuhu (no. 6285) dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
2340).
[12]. Al-Kifâyah fii Ma’rifati ‘Ilmir Riwâyah (II/188, no. 104).
[13]. Silakan merujuk buku penulis “Mulia dengan Manhaj Salaf”, penerbit Pustaka At-Taqwa-Bogor.
0 komentar:
Post a Comment