Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Setiap insan tentu mendambakan kehidupan yang berbahagia, damai dan jauh
dari berbagai kesusahan. Untuk tujuan ini, orang rela mengorbankan
harta, waktu dan tenaga yang mereka miliki demi meraih apa yang mereka
ungkapkan sebagai ‘kebahagian dan ketenangan hidup yang sejati’.
Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup ini, di
antara mereka ada yang menempuh jalan yang keliru dan justru
menjerumuskan mereka kedalam jurang kesengsaraan dan malapetaka, dengan
mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu menghiasi keburukan
amal perbuatan manusia. Allah berfirman:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia
menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak
diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
[Fathir/35:8]
Allah Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta
semua makhluk di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala
bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan
semua itu akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
mereka. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ
مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah,”Ya Allah Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan di
alam semesta), Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebaikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.[Ali ‘Imran/3:26].
Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih
kebahagiaan hidup adalah orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh
dengan petunjuk-Nya. Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ
Maka jika datang kepadamu (wahai manusia) petunjuk daripada-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan
tidak akan sengsara (dalam hidupnya). [Thaha/20:123].
Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik/bahagia (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. [An-Nahl/16:97].
KETENANGAN HIDUP DIRAIH DENGAN MATERI DUNIAWI?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan
ketenangan hidup diraih dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan
menggapai kedudukan duniawi setinggi-tingginya, sebagai akibat dari
kuatnya dominasi hawa nafsu dan sifat materialistis dalam diri mereka.
Allah Azza wa Jallaberfirman:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia;
sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai. [ar-Rum/30:7].
Artinya, mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang
tampak di mata mereka, sementara mereka melalaikan balasan kebaikan yang
kekal abadi di akhirat [1]
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba
mengumpulkan kekayaan duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu. Sifat
tamak ini, paling tidak akan menyeret mereka kepada dua kerusakan dan
keburukan besar:
1. Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan.
2. Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa peduli halal atau haram.
Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi
seorang hamba dan pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar
lainnya, jika hamba dia tidak menyadari bahaya ini dan bertobat kepada
Allah.
Renungkanlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
وَالله ِ لاَ الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ, وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ
أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ, فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُو وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا
أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak agama)
kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika
(perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian
sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum
kalian, maka kalian pun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana
mereka berlomba-lomba mengejarnya, sehingga (akibatnya) dunia (harta)
itu membinasakan kalian sebagaimana dunia membinasakan mereka [2]
Arti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam “… sehingga (akibatnya)
dunia (harta) itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke
dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk
mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya serta kesibukan
dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wa
Ta’aladan balasan di akhirat [3].
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً, وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta.
Maksudnya, menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah
(yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran
manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. [at-Taghabun/64:15][4].
Dalam dua hadits di atas terdapat nasehat berharga bagi orang yang
dibukakan baginya pintu-pintu harta, hendaknya dia mewaspadai bahaya dan
fitnah harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu
berambisi dalam mengejarnya [5].
Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan
dalam hidupnya kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana
ini selalu ada pada dirinya?. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang yang memiliki sifat ini
akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia mengejar
harta benda duniawi dan banyaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal
ini dikarenakan secara tabiat, nafsu manusia tidak akan pernah merasa
puas dan cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya,
bagaimanapun berlimpahnya [6], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam
sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang
penuh berisi) harta/emas, maka dia pasti akan menginginkan lembah
(harta) yang ketiga”[7].
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan
mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan
tersebut dan tanpa memperdulikan cara-cara yang halal atau haram.
Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi
tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi
dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.
Imam Ibnul Qayyim berkata:”Orang yang mencintai dunia/harta (secara
berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan):
Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang
berkepanjangan dan penyesalan yang tiada berakhir [8].
Dalam hal ini, seorang Ulama Salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai
dunia/harta (secara berlebihan), maka hendaknya dia mempersiapkan
dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[9].
DAMPAK BURUK DAN BENCANA DARI HARTA YANG HARAM DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan
hidup sejati hanya Allah akan anugerahkan kepada orang-orang yang
berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini, menjauhi harta haram dan
segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam
Islam.
Allah enggan memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi
orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat,
sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ ﴿١٢٤﴾ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي
أَعْمَىٰ وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا ﴿١٢٥﴾ قَالَ كَذَٰلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا
فَنَسِيتَهَا ۖ وَكَذَٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَىٰ
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (sengsara) (di dunia), dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah
berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka
kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan.
[Thaha/20:124-126].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menyelisihi
perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku,
(dengan) berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selain
petunjuknya, maka baginya penghidupan yang sempit/sengsara, yaitu di
dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan tidak
ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena
penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang,
berpakaian, makan dan bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya
selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan keraguan, karena dirinya
jauh dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].
Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan
kebahagiaan dan ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya
harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya, bahkan ini justru akan
membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan
‘penghidupan yang sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul haram
(penghasilan/harta yang haram)[11], yang menandakan bahwa harta haram
merupakan salah satu faktor utama yang menjadikan manusia selalu ditimpa
bencana dan kesulitan dalam hidupnya.
Imam Ibnul Jauzi menukil ucapan Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma, bahwa beliau berkata:”Penghidupan yang sempit
(artinya) disempitkan baginya pintu-pintu kebaikan (penghasilan yang
halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada kebaikan dan dia
mempunyai pengahasilan yang haram sebagai usahanya”.
Semakna dengan itu, Imam adh-Dhahhak dan ‘Ikrimah berkata, “Penghidupan
yang sempit ini yaitu al-kasbul khabits (usaha/penghasilan yang
buruk/haram)[12].
Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang
didapatkan dengan cara haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam
dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam :
1. Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allah
dan mengikuti langkah-langkah setat/Iblis. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُبِينٌ ﴿١٦٨﴾ إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ
تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan karena
sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya
syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.
[al-Baqarah/2:168-169].
Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang
dihalalkan oleh Allah dan mengahalalkan apa yang diharamkan-Nya,
termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram.[13]
2. Ancaman adzab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta haram.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan masuk
surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih
layak baginya”[14]
3. Mengkonsumsi harta haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda menceritakan
tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya
acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa
dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allah :
Wahai Rabb, wahai Rabb..., lalu beliau bersabda:
(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang
tidak halal, pakaiannya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang
tidak halal, maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh
Allah)?[15].
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak faktor yang
seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi
karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta
yang haram, sehingga dikabulkannya doa tersebut terhalangi.[16].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah) bahwa
sesungguhnya Aku Maha Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi
(segala perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam petunjuk [al-Baqarah/2:186].
Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Razi [17],
mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau: "Janganlah sekali-kali kamu
merasa (permohonanmu) terlalu lama tidak dikabulkan ketika kamu berdoa
(kepada Allah), karena sungguh kamu (sendiri) yang telah menutup
pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu".[18].
Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan
oleh Allah? Bukankah setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia
maupun agama? Lalu siapakah yang dapat memenuhi kebutuhan dan memudahkan
urusannya selain Allah? Siapakah yang dapat mengabulkan permohonannya
jika Allah berpaling darinya?
Maha benar Allah Azza wa Jalla yang berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah
Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji.
[Fathir/35:15]
Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan
shalat seorang yang mengkonsumsi harta yang haram tidak diterma oleh
Allah. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Allah tidak menerima
shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai
dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[19].
4. Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya,”Sesungguhnya Allah Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali
yang baik (halal)”[20].
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,”Barangsiapa yang
menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allah), maka dia
seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing,
padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih
dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta)
yang halal”[21].
5. Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang
dari melakukan amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal
merupakan sebab yang memotivasi manusia untuk beramal shaleh.
Allah mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan
yang halal dengan semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan
kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.[al-Mukminun/23:51].
Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan
sebab yang mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya
amal shaleh tersebut [22].
6. Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang
dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla (orang-orang Yahudi). Allah Azza wa
Jalla berfirman:
وَتَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi)
bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya
amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu. [al-Maidah/5:62]
Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka,
padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka [23].
7. Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allah Azza wa Jalla kepada masyarakat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,”Apabila perbuatan
zina dan riba telah tampak (tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka
telah mengundang azab (dari) Allah untuk menimpa mereka [24].
Inilah makna firman Allah Azza wa Jalla :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena
perbuatan tangan (maksia)[25] manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar). [ar-Rum/30:41].
Demikian juga firman-Nya:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).[asy-Syura/42:30].
Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, Imam adz-Dzahabi memasukkan
perbuatan mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk
dosa-dosa yang sangat besar dalam kitab al-Kabair (hlm.118).
HARTA HALAL SEBAB KECUKUPAN, KELAPANGAN HATI DAN KETENANGAN HIDUP
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.
اَللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَكَ
Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezeki-Mu yang halal (dan
jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan karunia-Mu
(sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu [26].
Hadits yang agung ini memuat petunjuk bahwa rezeki yang halal adalah
sebab kecukupan dan limpahan karunia dari Allah kepada manusia, dan jika
Allah telah mencukupi seorang hamba dengan karunia-Nya maka siapakah
yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba tersebut? Allah berfirman
yang artinya: Bukankah Allah maka mencukupi hamba-Nya (dalam semua
keperluannya)? [az-Zumar/39:36].
Dengan demikian, kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia
hanya dapat diraih dengan mengikuti petunjuk Allah dan mengikuti
ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal ini mencukupkan diri dengan
harta yang halal dan menjauhi yang haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ
بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan
balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. [an-Nahl/16:97].
Para Ulama Salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)”
dalam ayat di atas denga “kebahagiaan hidup” atau “rezeki yang halal”
dan kebaikan-kebaikan lainnya [27].
Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezeki
bagi orang yang selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak
terkecuali dalam hal mencari penghasilan yang baik dan halal.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا﴿٢﴾وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan
memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
[ath-Thalaq/65:2-3].
Dalam ayat berikutnya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya. [ath-Thalaq/65:4].
Artinya, Allah Azza wa Jalla akan meringankan dan memudahkan (semua)
urusannya, serta mengadakan jalan keluar dan solusi yang segera baginya
(untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya) [28].
SIFAT QANA’AH (SELALU MERASA CUKUP) ADALAH KEKAYAAN YANG PALING BERHARGA
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menyeret
seorang manusia untuk tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu
merasa hidup dalam kekurangan dan ketidakbahagiaan, bagaimanapun
berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai bencana
besar yang selalu menyertai hidupnya.
Renungkanlah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia berkata,”Kami mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya, maka Allah akan
mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah
merasa cukup (selalu ada) dihadapannya, padahal dia tidak akan
mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan
baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan
kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda)
duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di
hadapannya)”[29].
Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati
seorang hamba, dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat
qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezeki halal yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala berikan) yang akan melahirkan sikap ridha dan selalu merasa
cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Kekayaan itu bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia (harta), akan
tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa
(hati)”[30].
Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan
iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang terhadap
segala ketentuan dan takdir Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Akan merasakan manisnya (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya
serta (Nabi) Muhammad sebagai rasul-nya”. [HR. Muslim no.34].
Arti "ridha kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Rabb” adalah ridha
kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan
yang tidak diberikan-Nya[31].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan
meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat
nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan
rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat
qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan
kepadanya” [HR. Muslim no.1054].
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang
maha sempurna, agar Dia menganugerahkan kepada kita semua rezki yang
halal dan menjauhkan kita dari harta yang haram, serta memudahkan kita
memiliki sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya,
sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/560 dan Taisir karimir Rahman halm. 636.
[2]. HSR al-Bukhari no.2988 dan Muslim no.2961.
[3]. Lihat catatan kaki Shahihul Bukhari 3/1152.
[4]. Lihat Faidhul Qadir 2/507.
[5]. Nasehat Imam Ibnu Baththal yang dinukil dalam Fathul Bari 11/245.
[6]. Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 84 – Mawridul AmanI).
[7]. HR. Al-Bukhari no 6075 dan Muslim no.116.
[8]. Ighatsatul Lahfan (hlm. 83-84, Mawaridul Aman).
[9]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (hlm. 83, Mawaridul Aman).
[10]. Tafsir Ibnu Katsir 3/227.
[11]. Lihat penjelasan Imam Ibnul Jauzi dalam Zadul Masir 5/331.
[12]. Zadul Masir 5/332.
[13]. Lihat Zadul Msir 1/172 dan Taisir Karimir Rahman hlm.80.
[14]. HR. Ahmad 3/321, ad-Darimi no.2776 dan al-Hakim 4/468, dishahihkan
oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan al-Albani dalam
Ash-Shahihah 6/108.
[15]. HR. Muslim no.1015.
[16]. Lihat Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.105-107.
[17]. Biografi beliau dalam Siyaru A’lamin Nubala 13/15.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (no. 1154)
dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.108.
[19]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118 dan Imam Ibnu Rajab dalam Jami’ul ‘Ulumi wal Hikam hlm.101.
[20]. HR. Muslim no.1015.
[21]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam al-Kabir hlm.118.
[22]. Lihat Taisirul Karimir Rahman hlm.81.
[23]. HR. Ahmad 2/50 dan Abu Dawud no.4031, berderajat hasan shahih menurut al-Albani.
[24]. HR. Al-Hakim 2/43 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1/178,
dinyatakan shahih oleh al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani dalam
Shahihul Jami’ish Shagir no.679.
[25]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/576.
[26]. HR. Ahmad 1/153, at-Tirmidzi 5/560 dan al-Hakim 4/468. Hadits ini
dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini
berderajat hasan menurut al-Albani. Lihat ash-Sahihah no.266.
[27]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/772.
[28]. Tafsir Ibnu Katsir 4/489.
[29]. HR. Ibnu Majah no.4105, Ahmad 5/183, ad-Darimi no.229, Ibnu Hibban
no.680 dan lain-lain dengan sanad yang shahih. Hadits ini berderajat
shahih menurut Ibnu Hibban, al-Bushiri dan al-Albani.
[29].HR. Al-Bukhari no.6081 dan Muslim no.120.
[31]. Lihat Fiqhul Asmail Husna hlm.81.
0 komentar:
Post a Comment