Oleh
Ustadz Abu Minhal
Di negeri ini, terutama di pulau Jawa, sudah jamak orang-orang melakukan
ziarah ke makam para tokoh atau yang dianggap Ulama (misal, Wali
songo). Dengan koordinasi seseorang yang ditokohkan, mereka pun
berangkat menuju makam-makam itu. Jarak yang jauh dan persiapan bekal
yang banyak, tidak menjadi soal bagi para peziarah. Sebab dengan
‘perjalanan spiritual’ ini akan banyak manfaat yang dapat mereka
peroleh. Sebelum berangkat, para peziarah ini mempunyai tujuan tertentu.
Mereka berharap
semua tujuannya tercapai setelah menjalani perjalanan
spiritual ke makam-makam orang yang dianggap wali atau makam Ulama
karismatis, tidak peduli siapa dia. Inilah cuplikan apa yang terjadi di
sekitar kita. Apakah yang seperti ini dibenarkan oleh syariat Islam?
HIKMAH ZIARAH KUBUR MENURUT SYARIAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Ziarah kubur bukan hal terlarang. Hukumnya mustahab (dianjurkan). Di
awal perjalanan Islam, perbuatan ini memang dilarang untuk menutup akses
menuju syirik. Ketika tauhid telah mapan di hati para Sahabat, ziarah
kubur diizinkan kembali dengan tata cara yang disyariatkan. Artinya,
siapa saja yang berziarah dengan cara-cara yang tidak disyariatkan, maka
ia tidak diizinkan untuk berziarah. [Ighâtsatul Lahafân 1/313]
Pengagungan manusia dan perbuatan syirik di mana pun bertentangan dengan
Islam yang berlandaskan tauhid. Begitu pula dalam ibadah yang bernama
ziarah kubur ini. Syariat telah menentukan hikmah dari anjuran berziarah
kubur, yaitu:
1. Mengingatkan hamba kepada akhirat dan memberi pelajaran berharga
baginya akan kehancuran dunia dan kefanaannya. Sehingga jika ia kembali
dari makam, timbul rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla yang bertambah,
dan kemudian memikirkan akhirat dan beramal untuk itu. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُم اْلآخِرَةَ
Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, kunjungilah karena
mengingatkan kalian kepada akhirat [HR. Muslim, an-Nasâi, dan Ahmad]
2. Mendoakan kebaikan bagi mayit dan memohonkan ampunan bagi mereka. Ini
merupakan bentuk perbuatan baik orang yang masih hidup kepada orang
yang telah mati. Amalannya telah putus begitu ia menghembuskan nafas
terakhirnya meninggalkan dunia menuju akhirat. Oleh sebab itu, ia sangat
membutuhkan orang-orang yang berbaik hati mau mendoakan kebaikan dan
ampunan baginya, serta menjadikannya penghuni surga.
Secara zhahir, doa yang dilantunkan peziarah kubur sebelum memasuki
makam menjadi dasar hikmah kedua ini. Ditambah dengan riwayat bahwa
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menceritakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang pergi di malam hari ke (kompleks makam) Baqi’. ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha menanyakan alasan kepergian beliau. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
إِنِّيْ أُمِرْتُ أَنْ أَدْعُوَلَهُمْ
Aku diperintah untuk mendoakan mereka [1]
3. Pada tata cara berziarah, bagi yang mengikuti petunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti ia telah berbuat baik kepada
dirinya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang melakukan perbuatan
macam-macam dalam berziarah, mereka telah menjerumuskan diri ke dalam
jurang kesesatan.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyampaikan hikmah ketiga ini dengan
mengatakan: “(Hikmah ziarah kubur) pengunjung berbuat baik kepada
dirinya sendiri dengan mengikuti petunjuk Sunnah dan melangkah sesuai
dengan ketentuan aturan yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.Jadi, ia telah berbuat baik kepada diri sendiri dan orang
(penghuni kubur) yang ia kunjungi”. [2]
Hikmah ini banyak dilupakan oleh para penulis tentang masalah ziarah
kubur. Sebagaimana dalam setiap pelaksanaan ta’abbud mesti berlandaskan
petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pula dalam
pelaksanaan ziarah kubur. Di masa kini, panduan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai ziarah kubur telah terabaikan. Akibatnya, di
kebanyakan negeri Islam, kuburan telah beralih fungsi menjadi sumber
praktek syirik dan maksiat lainnya. [3]
ZIARAH KUBUR ALA SUFI
Ibnul Hâj, seorang tokoh Sufi menjelaskan mekanisme ziarah kubur versi
mereka yang jelas-jelas bertentangan dengan risâlah yang dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. As-Sya’râni memasukkan nama
Ibnul Hâj dalam kitab Thabaqât Shûfiyah al-Kubra. Kata Ibnul Hâj dalam
al-Madkhal, “(Saat berziarah kubur) hendaknya peziarah mendoakan mayit,
juga berdoa di sisi kubur saat muncul persoalan sulit yang menimpa
dirinya atau kaum Muslimin. Jika penghuni kubur termasuk orang yang
diharapkan keberkahannya, maka peziarah bertawassul kepada Allah Azza wa
Jalla dengannya…. Kemudian bertawasul dengan para penghuni kubur dari
kalangan orang-orang shaleh dari mereka untuk menyelesaikan
persoalanpersoalannya dan mengampuni dosa-dosanya. Lantas baru berdoa
bagi kebaikan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, kaum kerabat
dan keluarga penghuni kubur dan seluruh kaum Muslimin dan seterusnya.
Ia meneruskan: “Siapa saja ada keperluan, hendaknya mendatangi mereka
dan bertawasul dengan mereka. Sebab mereka adalah perantara antara Allah
Azza wa Jalla dan makhluk-Nya dan seterusnya.”
Tentang ziarah kubur para Nabi, ia mengatakan: “Jika peziarah datang
mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan diri, merasa
membutuhkan, dan menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan
pikirannya kepada mereka dan membayangkan sedang melihat mereka dengan
mata hatinya dan seterusnya memohon kepada mereka, meminta kepada mereka
penyelesaian persoalan (yang sedang dihadapi) dan meyakini akan
dikabulkan karena keberkahan mereka dan optimis di dalamnya. Sebab
mereka adalah pintu Allah Azza wa Jalla yang terbuka. Dan telah menjadi
hukum Allah Azza wa Jalla, masalah-masalah tertuntaskan melalui
tangan-tangan mereka. Siapa saja yang tidak bisa mengunjungi kuburan
mereka, hendaknya mengirimkan salam kepada mereka sambil menyebutkan
kepentingannya, permohonan ampun dan penutupan kesalahannya dll…”.
“Secara khusus bagi peziarah yang mengunjungi kubur Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia harus lebih menghinakan diri dan
merasa butuh kepadanya. Karena beliau pemberi syafaat yang sudah
memperoleh idzin. Syafaat beliau tidak tertolak. Dan orang yang
mendatangi beliau dan meminta tolong kepadanya tidak kembali dengan
tangan hampa. Siapa saja yang bertawassul kepadanya, atau mengharapkan
beliau menyelesaikan masalah-masalahnya pasti tidak tertolak dan akan
sukses”.[al-Madkhal hal. 254-258]
KEBATILAN TATA CARA ZIARAH KUBUR VERSI SUFI
Dari keterangan Ibnul Hâj di atas, tampak betapa jauh perbedaannya
dengan tujuan ziarah kubur yang disyariatkan. Mengenai perkataan Ibnul
Hâj berkait tata cara ziarah kubur para nabi yang berbunyi “Jika
peziarah datang mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan
diri…”, Syaikh Ahmad an-Najmi berkomentar: “Ini adalah syirik besar yang
menyebabkan pelakunya abadi di neraka. Saya tidak tahu kemana akal
mereka di hadapan ayat-ayat al-Qur`ân dan hadits-hadits yang menyatakan
kebatilan dan rusaknya keyakinan tersebut serta perbedaannya yang jauh
dengan ajaran Islam dan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sesungguhnya bersikap menghinakan diri, merasa membutuhkan, dan
menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan pikirannya kepada mereka
dan berdoa, ini semua adalah hal-hal yang mesti dilakukan seorang hamba
kepada Rabbnya (Allah Azza wa Jalla). Siapa saja mengarahkannya kepada
malaikat atau nabi (atau manusia-red), sungguh ia telah berbuat syirik
besar…[4]
Selanjutnya beliau menambahkan, “Orang ini telah mengadakan tandingan
bagi Allah Azza wa Jalla. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Ibnu ‘Abbas: “Jika engkau meminta, mintalah kepada
Allah Azza wa Jalla “. Sementara Ibnul Hâj mengatakan: “Mintalah kepada
Rasulullah Azza wa Jalla “. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Minta tolonglah kepada Allah Azza wa Jalla,” namun Ibnul Hâj yang
mengatakan: “Minta tolonglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan persembahkan sikap menghinakan, membutuhkan dan kemelaratan
kepadanya”.
Agar lebih jelas lagi, berikut ini beberapa pernyataan Ulama Sufi yang
mengajak para pengikutnya untuk mendatangi kubur-kubur mereka saat
ditimpa persoalan.
As-Sya’râni mengutip pernyataan Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Farghal
(meninggal tahun 850 H), ia mengatakan: “Saya termasuk orang yang
sanggup menangani urusan-urusan saat berada di alam kubur. Siapa saja
memiliki kepentingan, hendaknya datang kepada (kubur)ku dan
menyampaikannya kepadaku. Aku akan menyelesaikannya.” [5]
As-Sya’râni juga mengutip pernyataan Syaikh Syamsuddin di detik-detik
kematiannya: “Siapa saja memiliki urusan penting hendaknya mendatangi
kuburku dan menyampaikan keperluannya, pasti akan aku tuntaskan6
As-Sya’râni berkata tentang Ma’rûf al-Kurkhi: “Kuburannya dijadikan tempat untuk meminta hujan (saat kekeringan)”
Mengenai Syaikh Ahmad az-Zâhid, as-Sya’râni berkomentar: “Kuburannya
terkenal, sering dikunjungi. Orang-orang mencari berkah darinya”.
Tentang Syaikh Ahmad bin ‘Asyir (seorang tokoh Sufi), dikatakan:
“Kuburannya didatangi oleh orang-orang yang menderita penyakit dan cacat
tubuh (untuk menyembuhkannya)”.
Inilah sebagian nukilan yang sudah cukup mewakili bagaimana jauhnya
mereka dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berziarah kubur. Gambaran yang sekaligus mewakili realita orang-orang
yang mendatangi kuburan orang yang dikeramatkan atau diagungkan.
Syaikh ‘Abdur Razzâq al-’Abbâd hafizhahullâh menegaskan kekeliruan
mereka ini dengan berkata: “Inilah petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam berziarah kubur selama dua puluh sekian tahun
sampai beliau wafat (telah diterangkan dengan jelas-red). Demikian pula
petunjuk Khulafâur Râsyidin dan seluruh Sahabat dan Tabi`în. Apakah
mungkin ada orang di muka bumi ini yang sanggup membawakan riwayat dari
mereka (generasi Sahabat dan Tabi’în) baik dengan jalur yang shahîh,
lemah atau terputus bahwa mereka dahulu bila menghadapi urusan penting
datang ke kubur-kubur dan berdoa di sana serta mengusapusap pusara.
Apalagi riwayat bahwa mereka mengerjakan shalat di kuburan dan meminta
kepada Allah Azza wa Jalla melalui mereka atau meminta penghuni kubur
untuk mewujudkan keperluan-keperluan mereka (lebih tidak ada lagi, red).
Seandainya ini merupakan perkara Sunnah atau sebuah keutamaan, sudah
barang tentu akan ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang mulia. Dan para Sahabat dan Tabi’în pun pasti akan
melakukannya….7
PENUTUP
Ziarah kubur termasuk ibadah dan amal shaleh, karena itu harus
dikerjakan sesuai dengan rambu-rambu syariat. Bila tidak, hanya akan
menjerumuskan kepada pelanggaran syariat. Wallâhu a’lam
SUMBER:
1. Taqdîsul Asy-khâs Fil Fikris Shûfi, Muhammad Ahmad Luh (2/111-132)
2. Fiqhul Ad’iyah Abdur Razzâq al-’Abbâd, dalam bab khuthûratut ta’alluq bil qubûr/bahaya bergantung dengan kuburan (1/124-129)
3. Baitul ‘Ankabût, Khalîl Ibrâhim Amîn, pengantar Syaikh Shâlih al-Fauzân, Dârul Muqtathaf
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 03/Tahun XIII/1430/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Hadits riwayat Ahmad. Al-Albâni rahimahullah berkata: “Shahîh
sesuai riwayat Bukhâri dan Muslim” (Musnad 6/252). Lihat pula Shahîh
Muslim no. 974
[2]. Ighâtsatul Laghfân (1/337) Nukilan dari Taqdîsul Asykhâs 2/116
[3]. Lihat Taqdîsul Asykhâs (2/116)
[4]. Kemudian Syaikh Ahmad an-Najmi hafizhahullâh membawakan beberapa ayat al-Qur‘ân, surat al-An’âm:1, al-An’âm: 88,
al-A’râf:191, 194, az-Zumar: 65. (Audhahul Isyârah Fir Raddi ‘ala Man Ajâzal Mamnû’ minaz Ziyârah hal. 203-205)
[5]. Thabaqât as-Sya’râni (2/93)
[6]. Ibid (2/86)
[7]. Fiqhul “Ad’iyah (2/125)
0 komentar:
Post a Comment