Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Jika seseorang bertanya: Kita beriman kepada qadar, baik dan buruknya,
yang berasal dari Allah, tetapi apakah dibenarkan menisbatkan keburukan
kepada Allah Ta’ala? Apakah ada hal yang buruk dalam
perbuatan-perbuatan-Nya?
Jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Mahasuci dari keburukan,
dan tidak berbuat kecuali kebaikan. Qadar yang dinisbatkan kepada Allah
tidak berisikan keburukan dalam satu segi pun. Sebab,
ilmu Allah,
pencatatan, masyii-ah dan penciptaan-Nya, semuanya itu murni kebaikan
dan sempurna dari segala segi. Keburukan tidak boleh dinisbatkan kepada
Allah dari satu segi pun, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam Asma
(nama-nama) dan Sifat-Nya, serta tidak pula dalam
perbuatan-perbuatan-Nya.
Seandainya Dia melakukan keburukan, niscaya telah terambil suatu nama
dari keburukan tersebut untuk-Nya, dan tidak akan pula semua Asma-Nya
itu husna (indah), tetapi niscaya akan tertuju kepadanya hukum dari
keburukan. Mahatinggi dan Mahasuci Allah (dari semua itu).
Keburukan hanyalah ada pada makhluk-Nya. Keburukan itu berada dalam apa
yang ditentukan (al-maqdhi), bukan ada dalam ketentuan (al-qadha'). Ia
menjadi buruk bila dihubungkan pada suatu tempat, dan baik bila
dihubungkan pada tempat lainnya. Adakalanya menjadi baik bila
dihubungkan pada tempatnya (atau tujuannya) dari satu sisi, sebagaimana
ia buruk dari sisi lainnya, bahkan itulah yang umum.
Hal ini seperti qishash, penegakan hudud, dan membunuh orang-orang
kafir. Hal itu buruk bagi mereka, bukan dari segala sisi, tetapi dari
satu sisi saja, tapi baik bagi selain mereka karena berisi kemaslahatan
untuk menjerakan, menghukum, dan menolak keburukan manusia satu sama
lainnya. Demikian pula penyakit, meskipun buruk dari satu sisi, tetapi
baik dari sisi-sisi lainnya.
Kesimpulannya, bahwa keburukan itu tidak dinisbatkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, karena terdapat keterangan dalam Shahiih Muslim
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyanjung Rabb-nya dengan
mensucikan-Nya dari keburukan, lewat do’a istiftah, yaitu dalam ucapan
beliau:
...لَبَيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِيْ يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ
لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَاَلَيْتَ... .
“…Aku penuhi panggilan-Mu dengan senang hati, kebaikan seluruhnya ada di
kedua tangan-Mu, dan keburukan tidaklah dinisbatkan kepada-Mu. Aku
berlindung dan bersandar kepada-Mu, Mahasuci Engkau dan Mahatinggi…
.”[1]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, mengomentari hadits ini, “Mahasuci
dan Mahatinggi Allah dari penisbatan keburukan kepada-Nya, bahkan segala
yang dinisbatkan kepada-Nya ialah kebaikan. Keburukan hanyalah menjadi
keburukan karena terputus hubungannya kepada-Nya. Seandainya dihubungkan
kepada-Nya, niscaya bukan suatu keburukan. Allah menciptakan kebaikan
dan keburukan, lalu keburukan itu ada pada sebagian makhluk-Nya, bukan
dalam penciptaan dan perbuatan-Nya.
Penciptaan, perbuatan, qadha', dan qadar-Nya adalah baik se-luruhnya.
Karena itu Dia Subhanahu wa Ta’alasuci dari kezhaliman, yang mana
ha-kikat dari kezhaliman itu sendiri ialah meletakkan sesuatu bukan pada
tempatnya. Tidaklah Dia meletakkan sesuatu, kecuali pada tempatnya yang
cocok, dan hal itu baik seluruhnya. Keburukan adalah meletakkan sesuatu
bukan pada tempatnya, jika diletakkan pada tempatnya, maka ia tidak
buruk. Dengan demikian telah di-ketahui bahwa keburukan tidak
dinisbatkan kepada-Nya, dan nama-nama-Nya yang husna membuktikan hal
itu.”[2]
Ia juga mengatakan, “Nama-nama-Nya yang husna menghalangi penisbatan
kejahatan, keburukan dan kezhaliman kepada-Nya, meskipun Dia Subhanahu
wa Ta’alaPencipta segala sesuatu. Dia Pencipta manusia, perbuatan,
gerakan, dan ucapan mereka. Jika hamba melakukan keburukan yang
terlarang, maka hamba itu sendirilah yang telah melakukan keburukan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala-lah yang membuatnya melakukan demikian.
Penciptaan-Nya ini adalah keadilan, hikmah, dan kebenaran. Dia
menjadikan orang yang berbuat (untuk kejelekan itu) adalah merupakan
suatu kebaikan, sedangkan perbuatan yang dilakukan pelakunya adalah
keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan perbuatan ini, telah
meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena hal itu berisi hikmah yang
mendalam yang Dia berhak dipuji karenanya, semua itu adalah kebaikan,
hikmah, dan kemaslahatan, meskipun perbuatan yang terjadi dari hamba
adalah dosa, aib, dan keburukan.”[3]
“Walhasil, bahwa keburukan tidaklah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala,
karena yang dimaksud dengan keburukan ialah meletakkan sesuatu bukan
pada tempatnya, yaitu kezhaliman, yang lawannya ialah keadilan, dan
Allah adalah Mahasuci dari kezhaliman.
Jika yang dimaksudkan dengan keburukan adalah hukuman yang diberikan,
disebabkan dosa yang dilakukannya, maka dengan Allah mengadakan sanksi
atas dosa, hal itu bukanlah termasuk keburukan bagi-Nya, bahkan itu
adalah keadilan dari-Nya.
Jika yang dimaksudkan dengan keburukan itu ialah tidak adanya kebaikan
dan faktor-faktor yang menghantarkan kepada kebaikan itu, maka
ketidakadaannya itu bukanlah perbuatan, sehingga bisa dinisbatkan kepada
Allah. Hamba tidaklah memiliki hak terhadap Allah agar Dia memberikan
taufik kepadanya, sebab hal ini adalah karunia Allah yang Dia berikan
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, menghalangi karunia bukanlah
merupakan suatu kezhaliman dan bukan pula keburukan.”[4]
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
membutuhkan seluruh hamba-Nya. Dia hanya memerintahkan mereka kepada apa
yang bermanfaat bagi mereka, dan melarang mereka dari apa yang
membahayakan mereka. Dia berbuat baik kepada seluruh hamba-Nya dengan
memerintahkan kepada mereka, dan berbuat baik kepada mereka dengan
menolong mereka dalam ketaatan.
Seandainya, seorang alim yang shalih memerintahkan manusia kepada apa
yang bermanfaat bagi mereka, kemudian dia membantu sebagian orang untuk
melakukan apa yang ia perintahkan kepada mereka, dan tidak membantu yang
lainnya, niscaya ia (dianggap) telah berbuat baik kepada mereka
seluruhnya secara sempurna, dan tidak berbuat zhalim kepada orang yang
ia tidak berbuat baik kepadanya.
Dan seandainya dia menghukum orang yang berbuat dosa dengan hukuman yang
dituntut oleh keadilan dan kebijaksanaannya, nis-caya ia pun dipuji
atas hal ini dan juga hal itu.
Bandingkanlah hal ini dengan kebijaksanaan Hakim Yang paling bijaksana
dan Penyayang Yang paling menyayangi? Sebab, perintah-Nya adalah
bimbingan, pengajaran, dan petunjuk kepada kebaikan. Jika Dia membantu
mereka atas perbuatan yang diperintahkan, maka Dia telah menyempurnakan
nikmat atas perkara yang diperintahkan, dan Dia disyukuri atas hal ini
dan juga hal itu. Jika pun Dia tidak menolongnya, bahkan membiarkannya,
sehingga ia me-lakukan dosa, maka dalam hal ini Dia mempunyai hikmah
yang lain.”[5]
Kemudian jika seorang hamba telah mengetahui apa yang merugikan dan apa
yang bermanfaat baginya, maka ia berkeharusan untuk tunduk kepada Allah
Azza wa Jalla, sehingga Dia menolongnya untuk melakukan apa yang
bermanfaat baginya, dan tidak mengatakan, “Aku tidak akan berbuat,
sehingga Allah menciptakan perbuatan padaku.” Demikian pula seandainya
musuh atau binatang buas menyerangnya, maka ia harus lari dan tidak
mengatakan, “Aku akan menunggu, hingga Allah menciptakan lari
padaku.”[6]
Dari sini nampak jelas bagi kita bahwa keburukan itu tidak dapat dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim, kitab Shalaatul Musaafiriin, (I/535, no. 771).
[2]. Syifaa-ul Aliil, hal. 364-365. Lihat juga, Minhaajus Sunnah,
(III/142-144), at-Tafsiirul Qayyim, hal. 550-556, Madaarijus Saalikiin,
(I/409), Badaa-i’ul Fawaa-id, Ibnul Qayyim, (II/214-215), ar-Raudhah
an-Nadiyyah, hal. 354-360, dan al-Hikmah fii Af’aalillaah, Dr. Muhammad
bin Rabi’ al-Madkhali, hal. 199-204.
[3]. Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 366 dan lihat juga hal, 366-385 dari buku
yang sama. Lihat juga, Minhaajus Sunnah, (I/145-146 dan III/142-145),
al-Hasanah was Sayyi-ah, Ibnu Taimiyyah, hal. 52-53, dan Thariiqul
Hijratain, hal. 172-181.
[4]. Al-Hikmah wat Ta’liil fii Af’aalillaah, hal. 202, dan lihat pula,
Daf’u Iihaamal Idhthiraab ‘an Aayaatil Kitaab, Syaikh ‘Allamah Muhammad
al-Amin asy-Syanqithi, hal. 286-287.
[5]. Minhaajus Sunnah, (III/38). Lihat juga, al-Ikhtilaaf fil Lafzh, hal. 34-36, dan Risaalah ats-Tsaghar, hal. 85.
[6]. Lihat, al-Qadhaa' wal Qadar, al-Mahmud, hal. 280.
0 komentar:
Post a Comment