Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Allâh Azza wa Jalla Maha Hikmah, seluruh perintah-Nya merupakan
kebaikan, dan seluruh larangan-Nya merupakan keburukan, baik kita
mengetahui hikmahnya atau tidak. Termasuk perintah ibadah haji memiliki
banyak sekali manfaat dan faedah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ
ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ ﴿٢٧﴾ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ
لَهُمْ
Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka
menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka. [al-Hajj/22:27-28]
Ibadah haji diwajibkan oleh Allâh Azza wa Jalla bagi muslim yang mampu,
dan kewajibannya hanya sekali seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah
seorang Muslim berusaha segera melaksanakannya, apalagi ibadah haji
termasuk salah satu dari rukun Islam yang lima.
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ
الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun di atas lima (tiang): bersaksi tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allâh,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” [HR. al- Bukhâri no. 8 dan Muslim no. 16]
Barangsiapa menunda-nunda sampai lebih lima tahun, padahal sudah memiliki kemampuan, maka dia benar-benar jauh dari kebaikan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِنَّ عَبْدًا أَصْحَحْتُ جِسْمَهُ
وَأَوْسَعْتُ عَلَيْهِ فِى الْمَعِيشَةِ تَأْتِى عَلَيْهِ خَمْسَةُ
أَعْوَامٍ لَمْ يَفِدْ إِلَىَّ لَمَحْرُومٌ
Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya seorang hamba yang telah
Aku anugerahi kesehatan badan, Aku telah luaskan penghidupannya, telah
lewat padanya lima tahun, (namun) dia tidak mendatangiKu (yakni:
melakikan ibadah haji), dia benar-benar dicegah (dari kebaikan). [1]
ALLAH TIDAK MEMBUTUHKAN MAKHLUK
Ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya untuk
beribadah, bukan berarti Allâh Azza wa Jalla membutuhkan ibadah itu,
akan tetapi hal itu untuk kebaikan manusia sendiri. Demikian juga ketika
Allâh mewajibkan ibadah haji, bukan berarti Allâh Azza wa Jalla
membutuhkan ibadah haji tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” [Ali Imrân/3:97]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan dari Ibnu Abbâs, Mujâhid, dan
lainnya, tentang firman Allâh, “Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam”, yaitu: Barangsiapa mengingkari kewajiban haji, maka
sesungguhnya dia telah kafir, dan Allâh tidak memerlukannya” [Tafsir
Ibnu Katsîr, 2/84]
Ayat ini adalah dalil tentang wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut
menggunakan kalimat perintah yang berarti wajib. Kewajiban ini
dikuatkan lagi pada akhir ayat (yang artinya), “Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam”.
Tentang kewajiban melaksanakan ibadah haji seumur hidup sekali diterangkan di dalam hadits sahih sebagai berikut :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di tengah-tengah kami, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
« أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ».
فَقَالَ رَجُلٌ أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَسَكَتَ حَتَّى
قَالَهَا ثَلاَثًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ
لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
“Wahai sekalian manusia, Allâh telah mewajibkan haji bagi kalian, maka
berhajilah.” Seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasûlullâh, apakah
setiap tahun (kewajiban berhaji)?” Maka beliau diam, sampai orang tadi
bertanya tiga kali. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jika aku mengatakan ‘ya’, maka tentu wajib (haji setiap
tahun), dan kamu tidak mampu.” [HR. Muslim no. 1337]
Dan kewajiban haji termasuk perkara yang diketahui secara pasti dari
ajaran Islam, sehingga mengingkari kewajibannya merupakan kekafiran.
NASEHAT UMAR BIN AL-KHATTHAB RADHIYALLAHU ANHU
Karena pentingnya kedudukan haji ini sampai khalifah Umar Radhiyallahu
anhu memberikan nasehat dengan mengatakan, “Silahkan dia mati sebagai
orang Yahudi atau Nashrani” beliau mengucapkannya tiga kali, “Seorang
laki-laki yang mati, namun dia belum berhaji, padahal dia memiliki
kelonggaran dan keamanan perjalanan. Satu haji yang aku lakukan ketika
aku belum berhaji lebih aku sukai dari pada enam atau tujuh peperangan.
Dan sesungguhnya satu peperangan yang aku lakukan setelah berhaji lebih
aku sukai dari pada enam atau tujuh haji –perawi yang bernama Ibnu
Nu’aim ragu-ragu”. [2]
HADITS DHA’IF TENTANG TIDAK BERHAJI
Ada beberapa hadits dha’îf (lemah) tentang ancaman bagi orang yang tidak
melakukan haji. Kami sebutkan di sini sebagai peringatan dan nasehat
kepada kaum muslimin agar tidak menisbatkan sesuatu yang tidak benar
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, supaya tidak terkena sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia
mengambil tempat duduknya di neraka.” [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Di antara hadits lemah tersebut adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ مُوْسِراً وَلَمْ يَحُجَّ ، وَعِنْدَهُ مَالٌ تَجِبُ فِيْهِ
الزَّكَاةُ ، وَلَمْ تُشْغِلُهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ ، وَلَا مَرَضٌ حَابِسٌ ،
وَلَا سُلْطَانٌ جَائِرٌ ؛ فَلْيَمُتْ عَلَى أَيِّ دِيْنٍ شَاءَ ؛
يَهُوْدِياًّ أَوْ نَصْرَانِيّاً
Barangsiapa berkecukupan, namun tidak berhaji, padahal dia memiliki
harta yang sudah wajib zakat, dan dia tidak disibukkan oleh keperluan
yang nyata, oleh sakit yang menahannya, atau oleh penguasa zhalim, maka
silahkan dia mati dalam agama yang dia kehendaki, sebagai orang Yahudi
atau Nashrani.
Syaikh al-Albâni rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan
oleh Abul Hasan an-Na’ali dalam Haditsnya, lembaran 132/2. Tetapi hadits
ini palsu, karena adanya perawi bernama Muhammad bin Abdullah bin
Ibrahim al-Asynâni yang biasa memalsu hadits. Demikian juga penyusun
kitab ini, Abul Hasan an-Na’ali, seorang Rafidhah yang meriwayatkan
hadits-hadits yang aneh. [Lihat keterangan dalam kitab Silsilah
adh-Adha’îfah no. 4641]
Hadits ini juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dengan lafazh:
مَنْ مَلَكَ زَادًا أَوْ رَاحِلَةً تَبْلَغُهُ إِلَى بَيْتِ اللهِ وَلَمْ
يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوْتَ يَهُوْدِياًّ أَوْ نَصْرَانِيّاً
وَذَلِكَ أَنَّ اللهَ يَقُوْلُ فِيْ كِتَابِهِ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ
حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
Barangsiapa memiliki bekal atau kendaraan yang menghantarkannya ke
Baitullâh, namun tidak berhaji, maka silahkan dia mati sebagai orang
Yahudi atau Nashrani. Hal itu karena Allâh berfirman: Mengerjakan haji
adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. [HR. Tirmidzi, no. 812]
Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini
gharîb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini, dan dalam
isnadnya terdapat pembicaraan, dan Hilal bin Abdullah majhûl (tidak
dikenal), sedangkan al-Harits dianggap lemah dalam hadits”.
Oleh karena itu hadits ini didha’ifkan oleh Syaikh al-Albâni
rahimahullah dalam Dha’îf al-Jâmi’is Shaghîr, no. 5860 dan al-Misykâh,
no. 2521.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda:
مَنْ لَمْ تَحْبِسْهُ حَاجَةٌ ظَاهِرَةٌ ، وَلَا مَرَضٌ حَابِسٌ ، وَلَا
سُلْطَانٌ جَائِرٌ وَلَمْ يَحُجَّ فَلْيَمُتْ إِنْ شَاءِ يَهُوْدِياًّ وَ
إِنْ شَاءَ نَصْرَانِيّاً
Barangsiapa tidak ditahan oleh keperluan yang nyata, (atau) oleh sakit
yang menahannya, atau penguasa yang zhalim, namun tidak berhaji, maka
silahkan dia mati jika mau sebagai orang Yahudi atau Nashrani. [HR.
al-Baihaqi dalam Syu’abul Îmân, no. 3979; Darimi, no. 1785; dan Abu
Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/251]
Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Baihaqi berkata, “Jika hadits ini
shahih, yang beliau kehendaki adalah jika orang itu tidak berhaji dan
dia tidak menganggap meninggalkan haji itu merupakan dosa, dan
melakukannya sebagai kebaikan”.
Namun hadits ini dinilai dha’îf oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di
dalam Dha’îf Targhîb no. 754 dan Misykah no. 2535 (31), karena terdapat
perawi dha’if yang bernama Laits, yaitu Laits Ibnu Abi Salîm.
Kesimpulan: Ibadah haji merupakan kewajiban yang besar, maka sebagai
seorang Muslim yang sudah memiliki kemampuan hendaklah berusaha
melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Wallâhul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVII/1435H/2014.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, no. 10695 dan dalam
Syu’abul Îmân, no. 4132, 4133; Ibnu Hibban dalam Shahîhnya, no. 3703;
Abu Ya’la dalam Musnadnya, no. 1031; ath-Thabarani dalam Mu’jamul
Ausath, no. 486; dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Juga
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, no. 10696. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
dalam Ta’liq Shahîh Ibnu Hibbân, dan syaikh al-Albani dalam Silsilah
ash-Shahîhah no. 1662
[2]. Riwayat al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, 4/334, no. 8923,
penerbit: al-Ma’arif, India. Riwayat ini dihasankan oleh syaikh
al-Albâni dalam takhrij hadits no. 4641 dalam kitab Silsilah
adh-Adha’îfah
0 komentar:
Post a Comment