Oleh
Ustadz Arief Syarifuddin
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan untuk umat ini musim-musim
kebaikan dan pahala di sepanjang tahunnya. Hikmahnya agar keutamaan dan
pahala tersebut terus mengalir bagi umat ini. Hal itu merupakan karunia
dan kenikmatan yang amat besar setelah nikmat Islam dan iman yang wajib
untuk disyukuri.
Manakala bulan Ramadhan yang merupakan salah satu di antara bulan-bulan
musim kebaikan yang teragung itu berlalu dengan terbitnya hilal awal
malam bulan Syawal, maka tibalah hari esok yang dinanti oleh umat Islam,
hari di mana setiap muslim yang telah berpuasa sebulan penuh di bulan
Ramadhan itu memperoleh salah satu dari dua kebahagiaan yang telah
dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Itulah hari ‘Idul Fithri, hari raya dan hari berbuka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Dan bagi orang yang berpuasa akan memperoleh dua kebahagiaan: apabila
berbuka ia bahagia dengan berbukanya dan apabila berjumpa Tuhannya ia
bahagia dengan (pahala) puasanya.” [Muttafaqun ‘alihi][2]
Dan dalam riwayat Muslim[3] dengan lafazh:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
“Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika
berbukanya dan kebahagiaan ketika berjumpa Tuhannya (dengan pahala
puasanya, pent.)”
Namun kebahagiaan pada hari raya ini tidaklah dimaknai sebagai hari
berlepas diri dari ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya yang kemudian
diisi dengan berfoya-foya. Tidak demikian cara yang ditunjukkan oleh
panutan kita yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita boleh
berbahagia pada hari tersebut, tapi tidak boleh berlebihan.Dan hendaknya
kita tetap memperhatikan adab-adabnya sehingga kebahagiaan tersebut
akan berbuah pahala.
Berikut kami bawakan secara ringkas panduan praktis dalam berhari raya agar dapat menuai pahala.
APAKAH HARI RAYA (‘ID) ITU?
Hari raya yang dalam bahasa Arabnya diungkapkan dengan kata ‘id
(العِيْدُ) adalah hari yang padanya ada perkumpulan (manusia). Kata ‘id
(العِيْدُ) berasal dari kata ‘aada – ya’udu (عَادَ - يَعُودُ) yang
berarti kembali, karena seolah-oleh mereka kembali (berkumpul) lagi.
Adapula yang berpendapat bahwa kata ‘id (العِيْدُ) berasal dari kata
‘aadah (العَادَةُ) yang bermakna kebiasaan, karena mereka menjadikannya
(yakni perkumpulan tersebut) sebagai kebiasaan. Jamak kata ‘id
(العِيْدُ) adalah a’yaad (الأَعْيَادُ).
Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Hari raya dinamai dengan‘id karena
ia selalu kembali setiap tahunnya dengan membawa kebahagiaan yang
baru.”[4]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Mereka mengatakan, ‘Dan (ia)
dinamai dengan ‘Id karena (hari itu) selalu kembali dan berulang.
Adapula yang berpendapat karena kembalinya kebahagiaan pada hari
tersebut. Ada juga yang berpendapat karena adanya harapan kembalinya
hari tersebut bagi orang yang dapat menjumpainya.”[5]
Sedangkan menurut istilah, ‘id (العِيْدُ) yang bentuk jamaknya a’yaad
(الأَعْيَادُ) adalah hari perayaan (perkumpulan) karena suatu peringatan
yang membahagiakan, atau mengembalikan perayaan (pertemuan) dengan
suatu peringatan yang membahagiakan. Salah satu dari dua hari raya itu
ialah hari raya berbuka (‘Idul Fithri), sedang satunya lagi ialah hari
raya berkurban (‘Idul Adha).[6]
Dan kaum muslimin secara keseluruhan memiliki tiga hari raya (hari
perkumpulan), tidak ada lagi yang keempat, yaitu: ‘Idul Fithri, ‘Iedul
Adha, dan hari Jum’at.[7]
APA YANG DISYARIATKAN PADA HARI ‘ID?
Hari raya dalam Islam tidak sekedar untuk menunjukkan kebahagiaan
semata, tetapi ia juga adalah hari yang telah dipenuhi dengan
ibadah-ibadah tertentu, sehingga seorang muslim selalu berada dalam
ketaatan setelah ketaatan, yang berarti pahala selalu mengiringinya
dalam setiap waktu dan keadaan.
Pada ‘Idul Fithri Terdapat Syariat-Syariat Berikut:
1. Zakat fithri, yaitu berupa satu sha’[8] makanan pokok setiap negeri
yang dikeluarkan oleh setiap jiwa muslim yang memiliki kelebihan dari
makanan pokoknya selama setahun dan diberikan kepada fakir miskin dari
kalangan saudara-saudara mereka sesama muslim. Dibayarkan pada malam
‘Idul Fithri hingga sebelum manusia keluar menuju lapangan shalat ‘ied.
Dan boleh dibayarkan sehari atau dua hari sebelumnya sebagaimana yang
dilakukan oleh sabagian sahabat seperti Ibnu ‘Umar Radhialahu ‘anhuma.
2. Shalat ‘Idul Fithri, yaitu shalat dua rakaat yang dikerjakan di pagi
hari ‘Id setelah matahari naik sepenggalahan atau setinggi tombak di
ufuk timur. Disunnahkan untuk sedikit diakhirkan pelaksanaannya guna
memberi kesempatan kepada mereka yang belum membayarkan zakat
fithrinya.Setelah shalat ‘Id usai maka disusul dengan khutbah oleh imam
yang berisi peringatan dan nasehat.
Adapun Pada ‘Idul Adha Maka Terdapat Syariat-Syariat Berikut:
A. Bagi yang tidak berhaji maka disyariatkan hal-hal berikut:
1. Shalat ‘Idul Adha, sama seperti shalat ‘Idul Fithri dalam tata
caranya, yaitu dua rakaat dan disusul khutbah setelahnya. Hanya saja
disunnahkan untuk diawalkan pelaksanaannya agar memberi kelapangan bagi
mereka yang menyembelih hewan kurban sehingga dapat memakan dari daging
hewan kurbannya.
2. Menyembelih hewan kurban yang hukumnya wajib bagi yang mampu, yaitu
berupa seekor kambing atau domba untuk satu jiwa, baik untuk dirinya
sendiri atau untuk orang lain yang diniatkannya. Dan seorang kepala
keluarga dapat meniatkan bersamanya seluruh anggota keluarga yang berada
di bawah tanggungannya dalam seekor domba sembelihannya. Atau berupa
seekor sapi atau unta bagi tujuh orang jiwa yang berserikat. Disembelih
pada hari ‘Idul Adha yaitu tanggal 10 Dzulhijjah, atau pada hari-hari
tasyrik yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Disunnahkan bagi
pemilik hewan kurban untuk memakan sebagian dari daging kurbannya,
selebihnya disedekahkan kepada fakir miskin dan dihadiahkan kepada
orang-orang yang dia kehendaki dari kerabat maupun sahabat.
B. Adapun Bagi Yang Berhaji Maka Disyariatkan Hal-Hal Berikut:
1. Melempar jumrah ‘aqabah (kubra) dengan tujuh buah batu kerikil.
2. Menyembelih hewan hadyu(sembelihan haji) bagi yang melaksanakan haji
dengan cara tamattu’ dan qiran. Baik pada hari nahar (penyembelihan)
yaitu tanggal 10 Dzulhijjah atau hari-hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12,
dan 13 Dzulhijjah.
3. Thawaf ifadhah.
4. Mencukur rambut, baik menggundulnya atau memendekkannya secara merata
bagi laki-laki. Adapun bagi wanita maka cukup memotong sepanjang ruas
jari dari ujung-ujung rambutnya.
HUKUM SHALAT ‘ID
Para ulama memang berbeda pendapat terkait hukum shalat ‘Id, baik ‘Idul
Fithri maupun ‘Idul Adha. Setidaknya ada tiga pendapat sebagai berikut:
1. Fardhu kifayah, yaitu bila ditegakkan oleh sejumlah orang yang
mencukupi di suatu negeri maka gugur (kewajibannya) atas sebagian yang
lain. Ini adalah pendapat yang terkuat dari Imam Ahmad.
2. Fardhu ‘ain, yakni diwajibkan atas setiap muslim yang mukallaf
(baligh dan berakal). Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu
dari pendapat Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari pendapat
Imam Ahmad.
3. Sunnah Muakkadah; tidak wajib. Ini adalah pendapat Imam Malik dan
mayoritas ulama madzhab Imam Asy-Syafi’i. Pendapat ini berdalil dengan
perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang a’rabi
(dari perkampungan) ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan kewajiban shalat lima waktu, orang tersebut bertanya,
“Apakah ada kewajiban (shalat) yang lain bagiku selain itu?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak ada, kecuali bila kamu
ingin bertathawwu’ (melakukan sunnah).”[9][10]
Namun pendapat yang terkuat dan terdekat kepada kebenaran –Wallahu
A’lam- ialah bahwa hukum shalat ‘Id itu fardhu ‘ain kecuali yang
memiliki udzur. Hal itu berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1. Dari Al-Qur’an; yaitu firman Allah Azza wa Jalla,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” [Al-Kautsar/108: 2]
Dalam tafsiran yang masyhur disebutkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah shalat ‘Id.[11]
2. Dari As-Sunnah ; yaitu hadits Ummu ‘Athiyyah Radhiallahu ‘anha yang mengatakan,
أَمَرَنَا - تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنْ
نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ: الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ
الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.
“Beliau, (yakni Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), menyuruh kami pada
saat ‘iedain (dua hari raya) untuk mengeluarkan para gadis dan
perawan-perawan pingitan, dan beliau menyuruh para wanita yang sedang
haidh agar menjauh dari barisan shalat kaum muslimin.”[12]
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum
wanita muslimah, termasuk para gadis dan perawan pingitan, untuk keluar
ke lapangan shalat ‘Id. Seandainya shalat’ Id itu tidak fardhu ‘ain
tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menyuruh para
wanita untuk keluar shalat ‘Id. Karena mereka tidak difardhukan untuk
berjama’ah menurut asal hukumnya. Dan dalam sebagian riwayat menyebutkan
tentang seorang wanita yang tidak punya jilbab yang kemudian Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh wanita lain –tetangganya- untuk
meminjamkannya jilbab agar ia dapat menghadiri shalat ‘Id.
Hal itu didukung pula oleh sejarah perjalanan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, yaitu bahwa sejak disyariatkannya pada tahun kedua hijriah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakannya dan tidak
pernah ditinggalkannya hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
wafat.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah dan
muridnya Ibnul Qayyim. Dan dari kalangan ulama masa kini adalah Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahumullah.
ADAB-ADAB DI HARI RAYA (‘ID)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada kita adab-adab di
hari raya, baik terkait degan shalat ‘ied maupun lainnya. Berikut ini
penjelasannya:
1. Mandi hari raya, dengan tata cara seperti mandi junub. Berdasarkan
atsar dari beberapa sahabat Radhiyallahu anhum seperti Ibnu Umar dan Ali
Radhiyallahu anhuma, dan merupakan pendapat yang dipegang oleh banyak
kalangan tabi’in serta para ulama setelah mereka, termasuk Imam Malik
dan Imam Asy-Syafi’rahimahumullah.[13]
2. Membersihkan diri, memakai wewangian (bagi laki-laki), dan bersiwak,
sebagaimana disyariatkan pada hari Jum’at. Berdasarkan hadits dari Ibnu
Abbas Radhiallahu ‘anhuma yang dalamnya terdapat ucapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam,
وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
“Dan jika ada minyak wangi maka sentuhkanlah darinya (pada pakaian dan badan, pent. Serta hendaknya kamu bersiwak.”[14]
3. Mengenakan pakaian terbaik yang dipunyai. Hal itu berdasarkan hadits
yang diceritakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma di dalam Shahih
Al-Bukhari (no. 948) dan Shahih Muslim (no. 2068)
4. Disunnahkan untuk makan sebelum berangkat menuju shalat ‘Idul Fithri,
diutamakan berupa beberapa buah kurma dengan bilangan ganjil. Sedangkan
pada ‘Idul Adha dianjurkan untuk tidak makan kecuali setelah usai
shalat ‘Idul Adha agar dia bisa memakan dari daging hewan kurbannya. Hal
itu berdasarkan kepada hadits dari Anas Radhiyallahu anhu [15] dan dari
Buraidah Radhiyallahu anhu.[16]
5. Berjalan kaki –jika memungkinkan- menuju lapangan shalat ‘Id dengan
tenang dan tidak tergesa-gesa. Hal ini berdasarkan hadit dari beberapa
sahabat seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma
[17], dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu [18] , dan Abu Rafi’
Radhiyallahu anhu [19].
6. Disunnahkan untuk mengerjakan shalat ‘Id di lapangan (tempat terbuka)
kecuali jika ada udzur atau halangan maka dikerjakan di masjid. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu.[20]
7. Berangkat ke lapangan shalat ‘Id dari satu jalan dan pulang dari
jalan yang lain –jika memungkinkan-. Dan hukumnya sunnah berdsarkan
hadits dari Jabir Radhiyallahu anhu.[21]
8. Bagi makmum dianjurkan untuk bersegera datang ke lapangan shalat ‘Id
–beberapa saat- selepas shalat subuh. Sedangkan imam dianjurkan untuk
datang belakangan sampai tiba waktunya shalat ‘Id. Hal ini berdasarkan
apa yang dipahami dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu di
atas.[22]
9. Bertakbir dari sejak keluar rumah menuju tempat shalat ‘Id hingga
shalat ‘Id dilaksanakan, dengan suara nyaring (bagi laki-laki). Hal itu
berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ الله عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
(bertakbir) mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [al-Baqarah/2: 185]
Dan berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau keluar menuju tempat shalat ‘Id.[23]
Dengan ayat di atas sebagian ulama berdalil tentang dimulainya takbir
secara mutlak dari sejak malam hari ‘Idul Fithri yaitu setelah
ditetapkan bahwa besok adalah hari ‘Id, baik dengan terlihatnya hilal
awal Syawwal atau dengan disempurnakannya bilangan Ramadhan menjadi 30
hari.
Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat beberapa atsar dari sahabat, di antaranya:
• Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ.
Ini juga yang teriwayatkan dari Umar dan Ali Radhiallahu ‘anhuma.
• Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَللهِالْحَمْدُ.
• Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
• Dari Salman Radhiyallahu anhu :
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيراً.
10. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘ied. Hal itu berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.[24]
11. Tidak ada adzan dan iqamah untuk shalat ‘ied. Hal ini berdasarkan pada hadits dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu.[25]
12. Tidak mengapa memainkan rebana bagi anak-anak perempuan dan
permainan yang dibolehkan pada hari ‘Id. Hal itu berdasarkan pada hadits
dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhuma.[26]
13. Keluarnya para wanita ke tempat shalat ‘Id dengan mengenakan pakaian
hijab atau jilbabnya dan tanpa memakai wewangian. Berdasarkan hadits
dari Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘anha yang lalu.[27]
14. Hadirnya anak-anak di lapangan shalat ‘Id untuk ikut menyaksikan
do’a dan kebaikan. Hal itu berdasarkan pada hadits dari Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu ‘anhuma.[28]
15. Saling memberi ucapan selamat ketika berjumpa dengan saudaranya,
sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Radhiyallahu anhum seperti
diceritakan oleh Jubair bin Nufair. ia berkata, “Adalah para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bertemu di hari raya
(‘Id), sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
(تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ) semoga Allah menerima –ibadah- kami dan anda.”[29]
16. Bagi yang tertinggal shalat ‘Id bersama jama’ah, maka hendaknya dia
mengqadha’ (mengganti)nya, dengan tata cara yang sama sebanyak dua
rakaat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.[30]
WAKTU SHALAT ‘ID
Awal waktu shalat ‘Ied adalah ketika matahari naik sepenggalahan atau
setinggi tombak setelah terbitnya. Berdasarkan apa yang diceritakan oleh
Yazid bin Humair Ar-Rahabi bahwa Abdullah bin Busr Radhiyalalhu anhu
salah satu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
keluar bersama orang-orang pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha,
beliau mengingkari keterlambatan imam (memulai shalat), beliau
mengatakan, “Sesungguhnya kami dulu telah selesai (dari shalat) di saat
seperti ini, yaitu ketika tiba waktu shalat tasbih.”[31] yakni waktu
shalat sunnah dhuha seperti tertuang dalam riwayat Ath-Thabarani.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Para fuqaha telah bersepakat bahwa
shalt ‘Id tidak dilakukan sebelum matahari terbit maupun ketika sedang
terbit. Sesungguhnya mereka hanya membolehkannya pada waktu
dibolehkannya shalat nafilah (sunnah).”[32] Dan akhir waktunya adalah
sampai tergelincirnya (zawal) matahari[33] dengan dalil sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang
tergolong para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
kalangan kaum Anshar.[34]
Untuk shalat ‘Idul Fithri dianjurkan untuk diakhirkan sedikit agar
memberi kesempatan bagi mereka yang ingin menunaikan zakat fithri.
Sedangkan shalat ‘Idul Adha dianjurkan untuk diawalkan waktu
pelaksanaannya agar dapat disegerakan penyembelihan hewan-hewan
kurban.[35]
TATA CARA SHALAT ‘ID
Hendaknya imam meletakkan sutrah [36] di hadapannya sebelum memulai
shalatnya, baik berupa tongkat atau semisalnya, seperti yang terdapat
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma.[37]
Dan tidak ada perbedaan di antara para ulama bahwa shalat ‘Id, baik
‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha, adalah dua rakaat sebagaimana disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu
anhu.[38]
Shalat ‘Id dilakukan sebelum khutbah[39] . Rakaat pertama dengan tujuh
kali takbir termasuk takbiratul ihram, yang mana setelah takbiratul
ihram membaca do’a istiftah baru disusul dengan enam takbir berikutnya.
Sedangkan rakaat kedua dengan lima kali takbir di luar takbir
perpindahan pada saat bangkit dari raka’at pertama ke raka’at kedua. Hal
ini berdasarkan hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiallahu
‘anhuma [40] dan hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anhuma.[41] Dan di
antara takbir tersebut tidak ada bacaan dzikir tertentu selain bacaan
do’a istiftah setelah takbiratul ihram dan hal ini dikembalikan kepada
imam. Jika imam diam tanpa membaca apapun maka tidak mengapa. Wallahu
A’lam.
Pada raka’at pertama, setelah bertakbir tujuh kali, membaca isti’adzah
lalu membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca surat Qaaf. Dan di
raka’at kedua, setelah bertakbir lima kali, membaca isti’adzah lalu
membaca surat al-Fatihah, membaca surat al-Qamar [42] . Atau pada
raka’at pertama membaca surat al-A’la (setelah al-Fatihah) dan pada
raka’aat kedua membaca surat al-Ghasyiah (setelah al-Fatihah) [43] .
Namun dibolehkan membaca surat-surat lainnya setelah al-Fatihah apa yang
mudah bagi seorang imam berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu
waTa’ala,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ ... karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.” [al-Muzzammil/73: 20]
KHUTBAH SETELAH SHALAT ‘ID
Setelah imam salam dan shalat berakhir, maka ia berdiridi tempat yang
tinggi dan berkhutbah di hadapan manusia guna menyampaikan nasehat dan
mau’izhah (peringatan) yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka.
Setelah memulai dengan memuji Allah Azza wa Jalla (bertahmid), imam
mengingatkan mereka dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah Azza wa
Jalla, mengajak mereka bersyukur atas segala kenikmatan yang Allah
anugerahkan kepada mereka, mengajak bersedekah dan berinfak di jalan
Allah, atau nasehat-nasehat apapun yang berguna.
Bagi para makmum, maka mereka diberi pilihan apakah tetap duduk untuk
mendengar khutbah atau pergi meninggalkan tempat shalatnya,
karenaNabiShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkannya berdasarkan
hadits dari Abdullah bin As-Saib Radhiyallahu anhu [44] .
KETIKA HARI RAYA (‘ID) BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
Pada saat hari raya (‘Id) bertepatan dengan hari Jum’at, maka
barangsiapa yang telah menghadiri shalat ‘Id bersama imam, ia diberi
rukhshah dan dibolehkan tidak mengahadiri shalat Jum’at bersama jama’ah,
karena telah terkumpul pada hari tersebut dua hari raya. Dan sebagai
gantinya dia mengerjakan shalat zhuhur karena itu adalah kewajiban asal.
Sedangkan yang terluput dari shalat ‘Id bersama imam maka dia wajib
mengerjakan shalat Jum’at bersama jama’ah.
Adapun imam maka hendaknya tetap mendirikan shalat Jum’at.[45] Wallahu A’lam bish shawab.
Demikian yang bisa kami bawakan dalam tulisan ini, semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus (03-04)/Tahun
XVIII/1435H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Dinukil dan disarikan dari kitab “Shalatul ‘Iedain” karya DR. Sa’id
bin Ali bin Wahf Al-Qahathani, cet. Mathbah Safir – Riyadh, oleh Abu
Humaid Arif Syarifudin dengan sedikit perubahan
[2]. HR. Al-Bukhari no. 1904 dan Muslim no. 1151.
[3]. HR. Muslim no. 1151.
[4]. Lihat “Lisanul ‘Arab” karya Ibnu Manzhur (13/317-319) dan “Al-Qamushul Muhith” karya Al-Fairuzabadi (hal. 386).
[5]. Syarah Shahih Muslim 6/421.
[6]. Lihat kitab “Mu’jam Lughatul Fuqaha” karya Dr. Muhammad Rawwas (hal. 294).
[7]. Lihat “Fatwa al-Lajnah ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah Wal Ifta” 8/317.
[8]. Sekitar 3 kilogram menurut pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah.
[9]. HR. Al-Bukhari no 2678 dan Muslim no. 11.
[10]. Lihat Al-Mughni (3/253-254), Asy-Syarhul Kabir (5/316), Hasyiah
Ibni Qasim ‘Alar Raudhil Murbi’ (2/493), Al-I’lam Bi Fawaid ‘Umdatil
Ahkam (4/194), dan Syarhun Nawawi ‘Ala Shahih Muslim (6/428).
[11]. Lihat Al-Mughni (3/253).
[12]. HR. Al-Bukhari no. 974 dan 980 dan Muslim no. 890.
[13]. Lihat Al-Mughni (3/256).
[14]. HR. Ibnu Majahno. 1098. Dinyatakan hasan derajatnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (1/326).
[15]. Shahih Al-Bukhari (no. 953).
[16]. Sunan At-Tirmidzi (no. 542) dan Sunan Ibnu Majah (no. 1756).
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih At-Tirmidzi (1/302).
[17]. Sunan Ibnu Majah (no. 1294 dan 1295). Dinyatakan hasan derajatnya
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah (1/388).
[18]. Sunan At-Tirmidzi (no. 530) dan Sunan Ibnu Majah (no. 1296).
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani [lihat Irwaul Ghalil (3/103)].
[19]. Sunan Ibnu Majah (no. 1297). Dinyatakan hasan derajatnya oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah (1/389).
[20]. Muttafaqun ‘Alaih. Shahih Al-Bukhari (no. 956) dan Shahih Muslim
(no. 889). Dan lihat penjelasan Imam An-Nawawi tentang hadits ini dalam
Syarah Shahih Muslim (6/427).
[21]. Shahih Al-Bukhari (no. 986).
[22]. Muttafaqun ‘Alaih. Shahih Al-Bukhari (no. 956) dan Shahih Muslim (no. 889).
[23]. Lihat Silsilah Ash-Shahihah (1/120, hadits no. 170) oleh Syaikh Al-Albani.
[24]. Muttafaqun ‘alaih. Shahih al-Bukhari (no.989) dan Shahih Muslim (no. 884).
[25]. Shahih Muslim (no. 887).
[26]. Muttafaqun ‘alaihi. Shahih Al-Bukhari (no. 949, 952, dan 987) dan Muslim (no. 892)
[27]. Muttafaqun ‘alaih. Shahih Al-Bukhari (no. 324) dan Shahih Muslim (no. 890).
[28]. Shahih Al-Bukhari (no. 975 dan 977).
[29]. Lihat Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari (2/446) oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
[30]. Shahih Al-Bukhari (no. 987).
[31]. Sunan At-Tirmidzi (no. 1135) dan Suna Ibnu Majah (no. 1317).
Sedangkan al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq di kitab
“Al-‘Iedain”, bab “At-Tabkir fil ‘Id”, sebelum membawakan hadits no.
968. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud
(1/311) dan Shahih Suanan Ibnu Majah (1/392).
[32]. Lihat “Fathul Bari” (2/457).
[33]. Lihat penjelasan Ibnu Qudamah di kitaab “Al-Kafi” (1/514).
[34]. Sunan Abu Daud (no. 1157), Sunan An-Nasa’i (no. 1156), Sunan Ibnu
Majah (no. 1653), Musnad Ahmad (5/57-58). Dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud (1/317) dan Shahih Sunan An-Nasa’i
(1/505).
[35]. Lihat “Al-Mughni” (3/267) karya Ibnu Qudamah dan “Asy-Syarhul Mumti’” (5/158-159) karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
[36]. Sutrah ialah pembatas antara orang yang shalat dengan tempat
sujudnya, agar menghalangi orang lain melintas di antara dirinya dan
sutrahnya. Dan tidak mengapa bila ada orang melintas di belakang
sutrahnya itu.
[37]. Shahih Al-Bukhari (no. 494, 972, dan 973).
[38]. Sunan An-Nasa’i (no. 1419), Sunan Ibnu Majah (no. 1063), dan Musnad Ahmad (1/37). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
[39]. Shahih Al-Bukhari (no. 956) dan Shahih Muslim (no. 889).
[40]. Sunan Abu Daud (no. 1151), Sunan At-Tirmidzi (no. 536), dan Sunan
Ibnu Majah (no. 1279). Dinyatakan hasan derajatnya oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abu Daud (1/315).
[41]. Sunan Abu Daud (no. 1149 dan 1150), Sunan Ibnu Majah (no. 1280),
dan Musnad Ahamd (6/70). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sunan
Abu Daud (1/315) dan lainnya.
[42]. Shahih Muslim (no. 891) dari hadits ‘Umar bin Al-Khththab Radhiyallahu anhu.
[43]. Shahih Muslim (no. 878) dari hadits an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma.
[44]. Sunan Abu Daud (no. 1155), Sunan An-Nasa’i (no. 1570), dan Ibnu
Majah (no. 1290). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
An-Nasa’i (1/510) dan yang lainnya.
[45]. Lihat Subulus Salam (3/179-180) Karya Ash-Shan’ani dan Al-Mughni (3/243) karya Ibnu Qudamah.
0 komentar:
Post a Comment