Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Lautan memiliki urgensi dalam kehidupan manusia, dimana ia menjadi
sarana berlayar bagi kapal-kapal yang membawa berbagai macam barang yang
dibuthkan manusia. Mereka berlayar di atas lautan berhari-hari bahkan
berbulan-bulan lamanya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan
bagi kapal-kapal untuk membelah ombak lautan yang ganas dengan ujung
depannya. Ini adalah salah satu
nikmat yang Allâh Azza wa Jalla
limpahkan kepada manusia yang wajib disyukuri. Nikmat agung ini Allâh
Subhanahu wa Ta’ala jelaskan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ ﴿٤٢﴾ وَإِنْ نَشَأْ نُغْرِقْهُمْ فَلَا صَرِيخَ لَهُمْ وَلَا هُمْ يُنْقَذُونَ
Dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera
itu. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka
tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan.
[Yâsin/36:42-43]
Juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ
Dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di
lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. [Ibrâhîm/14:32]
Serta firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
[an-Nahl/16:14]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengungkapkan hal ini sebagai nikmat dari-Nya dalam firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ الْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِنِعْمَتِ اللَّهِ لِيُرِيَكُمْ مِنْ آيَاتِهِ
Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Sesungguhnya kapal itu berlayar di
laut dengan nikmat Allâh, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian
dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. [Luqmân/31:31]
Perjalanan yang jauh ditempuh oleh kapal laut terkadang mengalami
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, seperti meninggal dunia di atas
perahu atau kapal, padahal terkadang kapal atau perahu tersebut tidak
mendapatkan daratan dalam waktu yang lama, lalu bagaimana mengubur
jenazah tersebut?
MENGUBUR JENAZAH DI LAUT
Pada asalnya mengubur (ad-dafn) adalah dengan cara memendam mayat ke
dalam tanah. Hukum menguburkan jenazah adalah fardu kifâyah (artinya
jika telah dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin, maka gugurlah
kewajiban dari kaum Muslimin lainnya). Makna mengubur mayat adalah
melindungi jasadnya dari celaan fisik dan menutupi aib pribadinya. Hal
ini diisyaratkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا ﴿٢٥﴾ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati? [al-Mursalât/77:25-26]
Oleh karena itu Allâh Azza wa Jalla menunjukkan kepada anak Adam untuk
menguburkan saudaranya dengan mengirimkan burung gagak sebagai contoh,
seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ
يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ ۚ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ
مِثْلَ هَٰذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي ۖ فَأَصْبَحَ مِنَ
النَّادِمِينَ
Kemudian Allâh menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat
saudaranya berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat
saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang
menyesal. [Al-Mâidah/5:31]
Demikianlah sebaik-baik tempat menguburkan adalah di pemakaman yang
telah dikhususkan, agar sesuai sunah dan senantiasa didoakan oleh orang
yang melintasinya. Namun, jika meninggal di kapal atau perahu yang
sedang berada di tengah lautan, para Ulama sepakat agar diupayakan
terlebih dahulu mencari daratan terdekat untuk dikuburkan dengan tanah.
Apabila diperkirakan akan mendapatkan daratan sebelum jasad jenazah
rusak. Apabila tidak memungkinkan dikubur dengan tanah karena jauh dari
daratan, penyelenggaraan jenazahnya adalah:
1. Dimandikan,
2. Dikafani,
3. Dishalatkan, dan
4. Diarungkan ke laut. (Lihat al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab 5/285 dan al-Mughni 3/431).
Batasannya adalah waktu yang dapat mengubah kondisi dan merusak mayat (membusuk).
Para Ulama berargumentasi dengan kisah yang diriwayatkan imam al-Baihaqi
t dalam Sunan al-Kubra (4/10) dengan sanad yang shahih (menurut imam
an-Nawawi dalam al-Majmû’ 5/286) dari Shahabat Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu yang berkata:
أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ رَكِبَ الْبَحْرَ فَمَاتَ فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُ
جَزِيْرَةً إِلاَّ بَعْدَ سَبْعَةِ أَيَّامٍ فَدَفَنُوْهُ فِيْهَا وَلَمْ
يَتَغَيَّرْ
Sesungguhnya Abu Thalhah mengarungi lautan lalu meninggal dunia. Mereka
tidak mendapatkan daratan kecuali setelah tujuh hari lalu mereku
kuburkan di sana dan belum rusak jasadnya.
Kemudian imam al-Baihaqi rahimahullah berkata:
وَرُوِّيْنَا عَنِ الْحَسَنِ اْلبَصْرِي أَنَّهُ قَالَ يُغْسَلُ وَيُكْفَنُ وَيُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُطْرَحُ فِيْ الْبَحْرِ
Telah diriwiyatkan kepada kami dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah
pernah berkata, "Beliau dimandikan, dikafani dan disholatkan lalu
diarungkan ke laut. [Sunan al-Kubra, 4/10].
Adapun cara menguburkan di laut masih diperselisihkan para Ulama dalam dua pendapat:
Pertama: Diarungkan ke laut tanpa diberi pemberat dan dibiarkan dilautan
sampai terdampar di pantai sehingga ada yang dapat menemukannya dan
menguburkannya. Inilah pendapat Ibnu Mâjisyun, Ashbagh dan Ibnu Habîb
dari kalangan Ulama Mâlikiyah dan juga pendapat ulama-ulama syâfi’iyah.
Ulama madzhab Syâfi’iyah menambahkan dengan meletakkan jenazah setelah
disholatkan kedalam peti agar tidak membengkak dan diarungkan ke laut,
dengan harapan adaorang yang akan menguburkannya.
Sedangkan Imam Syâfi’i berpendapat, Apabila penduduk pantai adalah
orang-orang kafir maka jenazah dimasukkan kedalam peti dan diberi
pemberat agar tenggelam kedasar laut, supaya orang-orang kafir tidak
mengambilnya lalu merubah sunnah kaum Muslimin padanya. [Lihat al-Majmû’
5/285].
Pendapat ini dikritisi dengan pernyataan: Melepas jenazah di laut tanpa
pemberat dan peti akan menjadikan jenazah tersebut berubah dan rusak
(membusuk) dan bisa jadi terdampar di pantai dalam keadaan sudah
membusuk dan telanjang. Mungkin juga akan diambil orang-orang kafir dan
musyrik sehingga diberi pemberat lebih utama [Lihat al-Mughni 3/341].
Kedua: Diberi pemberat apabila dikhawatirkan membusuk dan diarungkan ke
laut. Inilah pendapat Sahnûn dari Mâlikiyah, dan menjadi pendapat
mazdhab Hambaliyah.
Pendapat ini berargumen, dengan diberi pemberat maka tercapai yang
dimaksud dari penguburan dan selamat dari dimakan hewan. [Lihat
al-Mughni 3/341].
PENDAPAT YANG RAJIH
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua karena jelas dan
terwujudnya tujuan penguburan. Juga sesuai dengan penjagaan syariat
terhadap kemulian manusia khususnya Muslim yang harusnya ditutupi ketika
hidup dan setelah matinya. Wallahu a’lam
KEUTAMAAN MATI TENGGELAM DI LAUTAN
Sudah dimaklumi perjalanan dilautan tidak lepas dari resiko tenggelam
dan berapa banyak kejadian perahu atau kapal yang tenggelam bersama para
penumpangnya, ada yang ditemukan jasad mereka dan ada yang tidak
ditemukan jasadnya.
Islam memandang orang yang mati tenggelam sebagai syahid berdasarkan hadits-hadits diantaranya:
Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Orang mati syahid ada lima; orang yang mati karena sakit tha’un
(kolera), orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati tenggelam,
orang yang mati karena terpendam reruntuhan dan orang yang mati syahid
di jalan Allâh. [Muttafaqun ‘alaihi]
Hadits Abdullah bin Busr Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
القَتِيْلُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ شَهِيْدٌ وَ اْلمَبْطُوْنُ شَهِيْدٌ وَ
الْمَطْعُوْنُ شَهِيْدٌ وَ الْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ وَ النُّفَسَاءُ
شَهِيْدَةٌ
Orang yang terbunuh fii sabîlillah adalah syahid, orang yang mati karena
penyakit perut adalah syahid, orang yang mati karena wabah kolera
adalah syahid orang yang mati karena tenggelam adalah syahid, dan wanita
yang mati karena melahirkan adalah syahid. [HR Thabrani dan dishahihkan
al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ no. 4441]
Juga Hadits Jâbir bin ‘Atik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ
شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ
وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ
تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ
Syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) yang selain terbunuh di jalan
Allâh Azza wa Jalla itu ada tujuh orang, yaitu korban wabah tha’un
adalah syahid, mati tenggelam adalah syahid, penderita penyakit lambung
(semacam liver) adalah syahid, mati karena penyakit perut adalah syahid,
korban kebakaran adalah syahid, yang mati tertimpa reruntuhan adalah
syahid, dan seorang wanita yang meninggal karena melahirkan adalah
syahid [HR. Abu Dawud no. 3113 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahîh
Sunan Abi Dâwud].
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang mati tenggelam adalah syahid,
sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya
tentang seorang yang menaiki perahu untuk berdagang lalu tenggelam
apakah dikatakan syahid? Beliau rahimahullah menjawab: Ya, dia mati
syahid apabila tidak bermaksiat dalam pelayarannya tersebut. (Lihat
Majmû al-Fatâwâ 24/293). Juga imam an-Nawawi memasukkannya kedalam
syahid akhirat. Beliau rahimahullah menyatakan: Lafazh Syahadat (mati
syahid) yang ada dalam syuhada’ akhirat maksudnya adalah syahid dalam
pahala akherat bukan tidak dimandikan dan disholatkan. [Lihat al-Majmû’
5/264].
Demikian juga para Ulama mazdhab yang empat sepakat menganggap orang yang mati tenggelam sebagai syahid.
Oleh karena itu para Ulama ahli fikih sepakat orang yang tenggelam
dimandikan dan dikafani serta dishalatkan. Imam Ibnu Qudâmah
rahimahullah berkata di kitab al-Mughni (3/476): Tidak kami ketahui
dalam hal ini perbedaan pendapat.
Kemudian imam Ibnu Qudâmah rahimahullah memberikan alasan dalam
pemandian orang yang mati tenggelam dan tidak menyamakannya dengan orang
yang mati syahid dalam pertempuran dengan menyatakan: Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memandikan orang yang mati syahid dalam
pertempuran karena bisa menghilangkan darah yang dianggap baik oleh
syariat atau karena sulitnya memandikan mereka karena banyaknya atau
karena adanya luka-luka. Ini semua tidak ada disini. [al-Mughni 3/477].
Jelaslah disini orang yang mati tenggelam tetap dimandikan dan disholatkan seperti jenazah pada umumnya.
Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment