Oleh
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta
Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya : Sebagian ahli
bid'ah yang berdo'a kepada penghuni kubur, berkata : "Bagaimana kalian
bisa mengatakan bahwa orang yang telah meninggal dunia tidak bisa
memberi manfaat (kepada yang hidup), padahal nabi Musa telah memberi
kita manfaat dengan menjadi sebab dispensasi shalat yang tadinya lima
puluh kali menjadi lima ?". Bagaimana kita menjawab mereka ?
Jawaban.
Menurut kaidah bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat lagi
mendengar panggilan siapa saja yang memanggilnya dari orang yang masih
hidup, tidak mampu mengabulkan do'a (permohonan) siapapun yang berdo'a
(memohon) kepadanya, serta tidak berbicara dengan manusia yang masih
hidup, sekalipun yang memanggil itu adalah nabi. Amalan orang yang mati
terputus dengan kematiannya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
"Artinya : Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada
mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka,
mereka tiada mendengar seruanmu ; dan kalaupun mereka mendengarnya,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari kiamat
mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat
memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Allah
Yang Maha Mengetahui". [Fathir : 13-14]
"Artinya : Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar". [Fathir : 22]
"Artinya : Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru
(menyembah) sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat
memperkenankan (do'anya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dari
(memperhatikan) do'a mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari
kiamat) niscaya sembahan-sembahan mereka itu menjadi musuh mereka dan
mengingkari pemujaan-pemujaan mereka". [Al-Ahqaf : 5-6]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
"Artinya : Jika seorang insan meninggal dunia terputuslah amalannya
kecuali dari tiga perkara : Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan
anak shalih yang mendo'akannya". [HR Tirmidzi no. 1376 dan Nasa'i no.
3601]
Dikeualikan dari kaidah tersebut, apa saja yang telah tersebut
berdasarkan dalil yang shahih, seperti bahwa mayat orang-orang kafir
yang dicampakkan ke dalam sumur (Badar) dapat mendengar ucapan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam usai peran Badar. Juga, shalat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama para nabi yang lain ketika
Isra. Begitu pula pembicaraan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama
para nabi di langit ketika di-mi'rajkan ke sana, yang di antaranya
nasehat nabi Musa kepada nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
untuk meminta pengurangan jumlah shalat yang diwajibkan atasnya dan
ummatnya sehari semalam, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali
kepada Rabb-nya berulang kali sampai menjadi lima kali shalat dalam
sehari semalam.
Semua peristiwa itu termasuk mukjizat dan keluarbiasaan, maka di
cukupkan pada apa yang telah disebutkan saja. Yang lain tidak bisa
diqiaskan kepadanya selama masih masuk dalam keumuman kaidah diatas,
karena tetap berpegang dengan kaidah lebih kuat daripada mengeluarkannya
dari kaidah tersebut dengan mengqiaskannya kepada keluarbiasaan,.
Karena berqias kepada sesuatu yang dikecualikan dari kaidah adalah
terlarang, terutama jika tidak diketahui illah (sebab)nya. Dan illah
dalam permasalahan ini tidak diketahui karena termasuk perkara yang
ghaib, yang tidak diketahui kecuali melalui ketetapan dari syari'at, dan
sepanjang pengetahuan kami tidak ada ketetapan (dari syari'at) dalam
perkara ini, oleh karena itu kita wajib berpijak dengan kaidah.
Shalawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan sahabat-shabatnya.
[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da'imah Fatwa I/112-115 Pertanyaan ke 3 dari
fatwa no 2263 Di susun oleh Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy, Darul
Asimah Riyadh. Di salin ulang dari Majalah Fatawa edisi 09/I/ 1424H -
2003M]
0 komentar:
Post a Comment