Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc
Profesi mengemis bagi sebagian orang lebih diminati daripada
profesi-profesi lainnya, karena cukup hanya dengan mengulurkan tangan,
dia bisa mendapatkan sejumlah uang yang cukup banyak tanpa harus
bersusah payah.
Masyarakat pada umumnya memandang bahwa pengemis itu identik dengan yang
menarik iba seperti tidak rapi, rambut kusut, wajah kusam, pakaian
kumal, lusuh atau robek-robek. Singkat kata, penampilan untuk
mengungkapkan kemelaratannya, serta menarik rasa belas kasihan
masyarakat luas.
Namun akhir-akhir ini, sebagian pengemis tidak lagi berpenampilan
demikian. Diantara mereka ada yang berpakaian rapi, memakai jas berdasi
dan sepatu, bahkan kendaraannya pun lumayan bagus. Ada yang menjalankan
profesi ini sendirian dan ada pula yang melakukannya bersama dalam
sebuah team. Yang lebih mencengangkan, ada sebagian orang bersemangat
mencari sumbangan atau bantuan demi memperkaya diri dan keluarganya
dengan cara membuat proposal-proposal untuk kegiatan tertentu yang
memang ada faktanya ataupun tidak ada, akan tetapi setelah memperoleh
dana, mereka tidak menyalurkannya sebagaimana mestinya.
PENGERTIAN MENGEMIS (MEMINTA-MINTA)
Mengemis atau meminta-minta dalam bahasa Arab disebut dengan tasawwul.
Dalam al- Mu’jamul Wasîth disebutkan bahwa tasawwala (fi’il madhi dari
tasawwul) artinya meminta-minta atau meminta pemberian. [1]
Sebagian Ulama mendefinisikan tasawwul (mengemis) dengan upaya meminta
harta orang lain bukan untuk kemaslahatan agama tapi untuk kepentingan
pribadi.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Perkataan al-Bukhâri (Bab
Menjaga Diri dari Meminta-minta) maksudnya adalah meminta-minta sesuatu
selain untuk kemaslahatan agama.”[2]
Jadi, berdasarkan definisi di atas kita bisa mengambil pelajaran bahwa
batasan tasawwul atau “mengemis” adalah meminta untuk kepentingan diri
sendiri bukan untuk kemaslahatan agama atau kepentingan kaum Muslimin.
Itulah hakikat mengemis dan meminta-minta, lalu bagaimanakah hukumnya dalam Islam ?
HUKUM MENGEMIS DAN MEMINTA SUMBANGAN DALAM PANDANGAN ISLAM
Meminta-minta sumbangan atau mengemis tidak disyari’atkan dalam agama
Islam, apalagi jika dilakukan dengan cara menipu atau berdusta dengan
cara menampakkan dirinya seakan-akan dalam kesulitan ekonomi, atau
sangat membutuhkan biaya pendidikan anak sekolah, atau perawatan dan
pengobatan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai kegiatan
tertentu, maka hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan haramnya mengemis dan
meminta-minta sumbangan, dan bahkan ini termasuk dosa besar adalah
sebagaimana berikut :
1. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di
wajahnya. [3]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Barangsiapa meminta-minta kepada manusia harta mereka untuk memperbanyak
hartanya, maka sesungguhnya dia hanyalah sedang meminta bara api
(neraka), maka (jika dia mau) silahkan dia mempersedikit atau
memperbanyak.[4]
2. Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junâdah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
Barangsiapa meminta-minta kepada orang lain tanpa ada kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.[5]
Demikianlah beberapa dalil dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang mengharamkan mengemis atau meminta-minta sumbangan untuk
kepentinagn pribadi atau keluarga.
KAPANKAH DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA SUMBANGAN DAN MENGEMIS?
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa ada beberapa keadaan yang
membolehkan seseorang untuk mengemis atau meminta-minta. Di antaranya
ialah sebagaimana berikut :
1. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang
orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian
berhenti.
2. Ketika seseorang ditimpa musibah yang melenyapkan seluruh hartanya,
ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
3. Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat dan dia memiliki 3
orang saksi dari orang sekitarnya atas kefakiran yang menimpanya. Orang
seperti ini, halal baginya meminta-minta sampai dia mendapatkan penopang
hidupannya.
Dalam tiga keadaan ini seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta
sumbangan atau mengemis, berdasarkan hadits riwayat Qabishah bin
Mukhariq al-Hilali Radhiyallahu anhu , ia berkata : Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ
ثَلَاثَةٍ : رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ : سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- وَرَجُلٍ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ لَهُ
الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ يَا قَبِيْصَةُ
، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali
bagi salah satu dari tiga orang: Seseorang yang menanggung beban (hutang
orang lain, diyat/denda), ia boleh meminta-minta sampai ia bisa
melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang ditimpa musibah yang
menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan
sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga
ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah
ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan
sandaran hidup. Wahai Qabishah ! Meminta-minta selain untuk ketiga hal
itu adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang
haram”.[6]
Ketika seseorang meminta sumbangan untuk kepentingan kaum Muslimin,
bukan kepentingan pribadi, maka ini juga termasuk tasawwul (mengemis dan
meminta-minta sumbangan) yang diperbolehkan dalam Islam meskipun dia
orang kaya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang menunjukkan bahwa meminta sumbangan
untuk kepentingan agama dan kemaslahatan kaum Muslimin itu diperbolehkan
adalah pesan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para
pemimpin perang sebelum berangkat, yaitu sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ أَجَابُوكَ
فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَاسْتَعِنْ
بِاللَّهِ وَقَاتِلْهُمْ
Jika mereka (orang-orang kafir yang diperangi, pent) tidak mau masuk
Islam maka mintalah al-jizyah (pajak) dari mereka! Jika mereka
memberikannya maka terimalah dan tahanlah dari (memerangi, pen) mereka !
Jika mereka tidak mau menyerahkan al-jizyah maka mintalah pertolongan
kepada Allâh k dan perangilah mereka ![7]
Dari hadits di atas kita dapat mengambil pelajaran bahwa meminta
al-jizyah dari orang-orang kafir tidak termasuk tasawwul (mengemis atau
meminta-minta yang dilarang) karena al-jizyah bukan untuk kepentingan
pribadi tetapi untuk kaum Muslimin.
Termasuk dalam pengertian meminta bantuan untuk kepentingan kaum
Muslimin adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga pernah meminta bantuan seorang tukang kayu untuk
membuatkan beliau mimbar. Sahl bin Sa’d as-Sa’idi Radhiyallahu anhu
berkata :
بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ n إِلَى امْرَأَةٍ أَنْ مُرِى غُلاَمَكِ النَّجَّارَ يَعْمَلْ لِى أَعْوَادًا أَجْلِسُ عَلَيْهِنَّ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang
wanita, “Perintahkan anakmu yang tukang kayu itu untuk membuatkan
untukku sebuah mimbar sehingga aku bisa duduk di atasnya!”[8]
Al-Imam al-Bukhâri rahimahullah berkata : Bab Meminta bantuan kepada
tukang kayu dan ahli pertukangan lainnya untuk membuat kayu-kayu mimbar
dan masjid”.[9]
Al-Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat
pelajaran tentang bolehnya meminta bantuan kepada ahli pertukangan dan
ahli kekayaan untuk segala hal yang manfaatnya menyeluruh untuk kaum
Muslimin. Dan orang-orang yang bergegas melakukannya adalah (orang yang
berhak mendapatkan) penghargaan atas usahanya”.[10]
Dengan demikian, kita boleh mengatakan, “Bantulah aku membangun masjid
ini atau madrasah ini dan sebagainya!” atau meminta sumbangan kepada
kaum Muslimin yang mampu untuk membangun masjid, madrasah dan
sebagainya.
Komite Tetap untuk Urusan Fatwa dan Riset Ilmiyyah Saudi Arabia pernah
ditanya: “Bolehkah meminta bantuan dari seorang Muslim untuk membangun
masjid atau madrasah (sekolah), apa dalilnya ?”
Jawab : “ Perkara tersebut diperbolehkan, karena termasuk dalam tolong
-menolong dalam hal kebaikan dan taqwa. Allâh l berfirman (yang
artinya), “ Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran
” [al-Maidah/5:2][11]
BEKERJA KERAS ADALAH SOLUSI DARI MENGEMIS ATAU MEINTA-MINTA
Islam menganjurkan kita semua agar berusaha mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga kita. Dalam al-Quran al-karîm
Allâh berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allâh”. [al-Jumu’ah/62:10].
Bekerja mencari nafkah bukan hanya pekerjaan masyarakat awam, akan
tetapi para Nabi juga bekerja. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
« مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ » . فَقَالَ
أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ « نَعَمْ كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ
لأَهْلِ مَكَّةَ »
Tidaklah Allâh mengutus seorang Nabi melainkan dia menggembala kambing”,
lalu ada sahabat bertanya, “Apakah engkau juga ?”, beliau menjawab,
“Ya, dahulu saya menggembala kambing milik penduduk Makkah dengan
mendapatkan upah beberapa qirath”. [12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا
Nabi Zakariya adalah tukang kayu[13].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ - عَلَيْهِ السَّلاَمُ - كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Nabi Dawud tidak makan melainkan dari hasil kerjanya sendiri.[14]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Sungguh salah seorang di antara kamu mencari kayu bakar diikat, lalu
diangkat di atas punggungnya lalu dijual, itu lebih baik baginya
daripada meminta-minta kepada orang lain, diberi atau ditolak”.[15]
Orang yang mau bekerja, berarti dia menghormati dirinya dan agamanya.
Jika mendapatkan rezeki melebihi kebutuhkannya, maka dia mampu
mengeluarkan zakat, menunaikan haji dan membantu orang lain.
BAGAIMANA SIKAP KITA TERHADAP PENGEMIS?
Meskipun hukum mengemis pada dasarnya dilarang dalam Islam, akan tetapi
kita juga tidak boleh menyamaratakan semua peminta-minta. Kita tidak
boleh menuduh mereka macam-macam, karena hal itu termasuk berburuk
sangka tanpa alasan. Seharusnya kita bersyukur kepada Allâh k yang telah
menjaga kita dari perbuatan meminta-minta. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
“Dan terhadap orang yang meminta-minta makan janganlah kamu menghardiknya". [ad-Dhuha/93:10]
Ayat ini bersifat umum mencakup semua peminta-minta (pengemis dan yang
semisal), kecuali jika kita tahu pasti bahwa dia adalah orang jahat.
Adapun tentang hadits yang Artinya: Setiap peminta-minta punya hak (
untuk diberi ) walaupun ia datang dengan mengendarai kuda,” adalah
hadits dhaif (lemah) sebagaimana dinyatakan Syaikh al-Albâni.[16]
Demikian pembahasan tentang hukum mengemis dan meminta sumbangan dalam
pandangan Islam yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat bagi kita
semua.
Kita memohon kepada Allâh k agar menjadikan kita semua sebagai hamba-Nya
yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan
apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta. Sesungguhnya Allâh
Maha Dermawan lagi Maha Mulia.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV/1433H/2012.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Mu’jamul Wasîth I/465.
[2]. ihat Fathul Bari III/336.
[3]. Shahih. HR. Bukhari no. 1474, dan Muslim no. 1040.
[4]. Shahih. HR. Muslim II/720 no.1041, Ibnu Majah I/589 no. 1838, dan Ahmad II/231 no.7163.
[5]. HR. Ahmad IV/165 no.17543, Ibnu Khuzaimah IV/100 no.2446, dan Ath-Thabrani IV/15 no.3506.
[6]. Shahîh. HR Muslim II/722 no.1044), Abu Dâwud I/515 no.1640, Ahmad
III/477 no.15957, V/60 no.20620, dan an-Nasâ`i V/89 no.2580.
[7]. Shahih. HR. Muslim III/1356 no.1731, Abu Dawud II/43 no.2612, Ahmad V/358 no.23080.
[8]. Shahih. HR. Al-Bukhari: 429, An-Nasa’i 731 dan Ahmad 21801.
[9]. Shahih al-Bukhari I/172.
[10]. Lihat Syarh Ibnu Baththal lil Bukhari II/100.
[11]. Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâimah (6/242)
[12]. Shahih. HR. Bukhari II/789, dari Abu Hurairah z .
[13]. Shahih. HR. Muslim IV/1847 no.2379.
[14]. Shahih. HR. Bukhari II/13074.
[15]. Shahih. HR. Bukhari II/730 no.1968, dan an-Nasa’i V/93 no.2584.
[16]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 1378.
0 komentar:
Post a Comment