Oleh
Ustadz Musyafa, MA
Sungguh, Syariat Islam adalah syariat yang indah, karena membedakan
orang yang berbuat baik dengan orang berbuat buruk. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan para pelaku dosa [ al-Qalam/68:35]
Islam juga merupakan syariat yang mulia dan perkasa, karena ia akan
menjadi sangat ramah dan penuh rahmat terhadap pemeluknya yang taat,
sebaliknya menjadi tegas, adil, dan bijaksana terhadap pemeluknya yang
tidak menjalankan syariatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٤٩﴾وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah
azab yang sangat pedih. [al-Hijr/15:49-50]
Dan Islam juga merupakan syariat yang rahmatan lil alamin, penuh rahmat
dalam segala aturannya. Hanya saja bentuk rahmat tersebut berbeda-beda,
antara mereka yang taat, dengan mereka yang maksiat. Ingatlah kembali
firman-Nya :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
Rahmat-Ku itu meliputi segala sesuatu [al-A'râf/7:156]
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْء
Sesungguhnya Allâh menggariskan kebaikan pada segala sesuatu [H. Muslim, no. 3615]
Inilah kemuliaan dan keagungan Syariat Islam, namun demikian, para musuh
Allâh Azza wa Jalla selalu ingin menjatuhkan Agama Islam, diantaranya
dengan cara mencari-cari Syariat Islam yang dapat mereka jadikan sebagai
sasaran kritikan untuk menjatuhkan, yang salah satunya adalah Syariat
Hudûd.
Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya, yang merupakan
usaha kecil dari penulis untuk menjawab banyak syubuhat yang dikemukakan
para musuh Allâh dalam menjatuhkan Syariat Hudûd tersebut. Semoga Allâh
Azza wa Jalla memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.
PENEGAKAN HUDUD, HANYA MENAMBAH BENCANA, DAN TIDAK AKAN MEMPERBAIKI KEADAAN
Misalnya pada kasus pembunuhan, hukuman qishash tidak akan mengembalikan
nyawa orang yang sudah mati, bahkan akan menambah jumlah kematian. Pada
kasus perzinaan, hukuman cambuk atau rajam, tidak akan mengembalikan
kehormatan si pelaku. Pada kasus orang yang murtad, hukuman potong
leher, tidak akan mengembalikan agamanya.
Jawaban:
1. Sebagai seorang yang beriman, kita harus yakin bahwa Allâh Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya tidak akan memutuskan suatu hal, kecuali
kemaslahatannya jauh lebih besar, dari pada mafsadatnya. Setiap ada
perintah, pasti ada hikmah dan maslahat yang besar di baliknya, walaupun
kadang akal sebagian orang tidak mampu menalarnya, karena
keterbatasannya.
Kita harus tahu, bahwa syariat hudûd ini adalah keputusan Allâh Yang
Maha Hikmah, dan keputusan itu tidak lain bersumber dari pengetahuan-Nya
Yang Maha Luas, belum lagi Dia juga sangat menyayangi makhluknya
melebihi sayangnya ibu kepada anaknya sebagaimana ditegaskan oleh
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam (HR. Bukhari: 5999 dan Muslim:
2754). Sungguh tidak mungkin, Allâh Yang Maha Hikmah, Yang Maha Luas
Ilmu-Nya, dan sangat menyayangi makhluk-Nya, memutuskan sesuatu yang
hanya menambah bencana saja. Sungguh tidak mungkin Dia memutuskan
sesuatu yang mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.
Sedangkan pemahaman yang mengatakan; bahwa syariat hudûd ini hanya
menambah bencana, datangnya dari makhluk yang tidak ma'shum, nalarnya
terbatas, dan sering menilai sesuatu berdasarkan kapasitas dan
lingkungannya.
Jika demikian keadaannya, tentunya keputusan Allâh harus didahulukan,
dan diyakini kemaslahatannya. Adapun ketidak-tahuan manusia tentang
hikmah dan maslahat tertentu di baliknya, maka itu semua bersumber dari
keterbatasan nalar manusia.
2. Dalam Syariat Islam -begitu pula dalam peraturan lainnya- suatu hukum
tidak harus murni kemaslahatan, tapi sudah cukup apabila
kemaslahatannya lebih besar daripada mafsadatnya. Misalnya ketika
menerangkan tentang khamr dan judi yang diharamkan, Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ
كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamer dan perjudian ?Katakanlah, "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [al-Baqarah/2:219]
Dari ayat ini, kita dapat memahami bahwa diharamkannya khamr dan judi,
tidak murni karena kemaslahatan, tapi ada juga mafsadatnya, walaupun
prosentasinya lebih kecil. Mafsadat itu berupa hilangnya beberapa
manfaat yang ada pada keduanya akibat dari larangan ini.
Begitu pula Syariat hudûd, itu tidaklah murni kemaslahatan, tapi ada
mafsadatnya yang prosentasinya lebih kecil. Jika boleh dimisalkan dalam
dunia dagang, maka itu seperti orang yang ingin meraih untung 100 juta
dengan mengorbankan 10 juta, tentunya ia tetap melihat hal tersebut
sebagai keuntungan besar, dan akan melangkah untuk mendapatkannya.
Lihatlah pada hukuman potong leher dalam qishash, memang harus ada yang
dikorbankan, tapi itu akan menjaga nyawa orang banyak. Karena jika
qishash tidak ditegakkan, sangat mungkin terjadi pertumpahan darah
antara kedua belah pihak, dan tentunya akan mengorbankan lebih banyak
jiwa yang tidak bersalah. Jika qishash tidak ditegakkan, maka pembunuhan
akan mudah dan sering terjadi, karena minimnya rasa takut saat
melakukan pembunuhan. Bukankah ini merupakan mafsadat yang sangat besar ?
Tak diragukan lagi, mengorbankan satu nyawa yang bersalah, lebih baik
daripada membiarkan nyawa banyak orang yang tidak bersalah menjadi
korban ?!
Belum lagi maslahat untuk pelaku pembunuhan, dengan dibunuhnya ia
sebagai qhisash, maka dosa akibat pembunuhannya telah tertebus, sehingga
dia tidak akan disiksa lagi di akhirat karena dosa pembunuhannya itu,
padahal kita tahu; siksa di akhirat jauh lebih berat dari pada siksa di
dunia.
Juga, orang yang menyadari dan tahu pasti bahwa dirinya akan di bunuh
atau diekskusi mati, biasanya akan mengisi sisa hidupnya dengan banyak
beribadah dan banyak bertaubat. Ini juga merupakan maslahat lain yang
sangat besar bagi si pelaku … Dan tentunya masih banyak maslahat lain
yang tidak mungkin disebutkan semua dalam tulisan ini.
Lihat pula pada kasus perzinaan, hukuman cambuk dan rajam, akan bermanfaat bagi pelakunya, dan juga bagi masyarakat luas.
Dengan ditegakkannya hukuman itu kepada pelaku perzinaan, maka pelakunya
akan terhapus dosa besarnya, dan pada hukuman cambuk, bila pelaku masih
hidup, tentu ia juga akan jera untuk mengulanginya lagi.
Sedang diantara maslahatnya untuk masyarakat luas; mereka akan terbebas
dari keburukan pelaku perzinaan. Mereka juga akan menjadi masyarakat
terhormat, aman, dan tidak tergoda melakukan keburukan yang sama.
Adapun pada hukuman mati bagi orang yang murtad, maka hukuman mati itu
akan berguna untuk menghentikan perbuatan buruknya. Kita sudah tahu,
perbuatan buruk orang kafir akan semakin menambah siksanya di akhirat,
sedang perbuatan baiknya akan sia-sia tanpa pahala.
Hukuman itu juga sangat berguna untuk melindungi agama dan akidah
masyarakat luas, hukuman itu akan melindungi mereka dari kekufuran.
Sehingga dengan demikian, berarti mereka akan terlindungi dari azab
neraka yang abadi. Sungguh ini merupakan maslahat yang sangat besar bagi
mereka. Bukankah tujuan utama hidup di dunia ini untuk beribadah ?
Padahal setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ibadah tidak akan diterima kecuali dengan agama Islam yang dibawa oleh
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
3. Ada juga hudud yang dapat mengembalikan kehormatan seseorang,
misalnya haddul qadzf (hukuman cambuk 80 kali bagi orang yang menuduh
orang lain berbuat zina, tapi dia tidak bisa mendatangkan 4 saksi saat
diminta). Saat seseorang dituduh melakukan perzinaan, tentu nama baik
orang itu akan jatuh dan hancur. Namun nama baiknya akan kembali saat
tuduhan itu tidak terbukti, dan si penuduh mendapat hukuman cambuk di
depan halayak ramai.
Begitu pula hukuman rajam, ia bahkan dapat meninggikan derajat orang
yang dirajam tersebut menjadi sangat mulia. Renungkanlah sabda Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita dari Kabilah
Ghamidi yang meminta ditegakkan hukuman rajam untuk dirinya :
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ
جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟!
Sungguh dia (wanita ini) telah bertaubat dengan suatu taubat yang jika
taubat itu dibagikan kepada 70 orang penduduk Madinah, tentu akan cukup
bagi mereka. Adakah engkau dapati taubat yang lebih afdhal (lebih baik)
daripada taubatnya dengan menyerahkan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla
? [HR. Muslim: 3209]
PENEGAKAN HUDUD BERTENTANGAN DENGAN KEBEBASAN HIDUP BERMASYARAKAT, DAN
PEMAKSAAN KEHENDAK KEPADA ORANG YANG TIDAK SEPENDAPAT DENGAN HUKUM ITU.
Jawaban:
1. Islam sangat menghargai kebebasan, tapi kebebasan untuk berbuat baik,
bukan kebebasan untuk berbuat buruk atau kejahatan. Dan penulis yakin,
tidak ada aturan yang memberi kebebasan kepada semua orang untuk
melakukan kejahatan. Itulah sebabnya banyak kita temukan sanksi-sanksi
dalam setiap peraturan dan undang-undang.
Jadi tidak benar, jika dikatakan bahwa penegakan hudûd bertentangan
dengan kebebasan hidup bermasyarakat secara mutlak. Yang benar,
penegakan hudûd bertentangan dengan kebebasan melakukan kejahatan, dan
itu ada dalam semua peraturan. Yang berbeda adalah, manakah yang
dianggap sebagai perbuatan buruk ? Tentunya tidak ada yang lebih tahu
jawaban dari pertanyaan ini melebihi Allâh Azza wa Jalla . Sehingga jika
Allâh Azza wa Jalla telah memutuskan bahwa perbuatan ini buruk, dosa
besar, dan ada hukumannya secara khusus, maka itulah yang benar dan
harus didahulukan.
Demikianlah syariat hudûd ini, semua hukuman tersebut datang dari Allâh
Azza wa Jalla , dan tidak ada yang lebih tahu tentang hukuman yang
paling pantas untuk kejahatan itu melebihi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Sehingga sudah seharusnya syariat hudûd ini diterapkan, tidak lain untuk
mewujudkan kemaslahatan tertinggi bagi umat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat.
2. Adapun pernyataan, "Penegakan hudûd ini merupakan pemaksaan kehendak
kepada orang yang tidak sependapat", maka itu hanyalah tuduhan yang
berat sebelah. Kenapa hanya ditujukan kepada syariat hudûd ? Bukankah
semua peraturan harus diterapkan pada semua individu yang berada di
bawahnya ?! Siapakah yang rela kehilangan nyawa ibu, atau bapak, atau
istri, atau suami, atau orang-orang tercinta lainnya tanpa ada balasan
setimpal kepada pembunuhnya ?! Bukankah dengan menerapkan hukuman
kurungan penjara saja juga merupakan pemaksaan kehendak kepada orang
yang tidak sependapat ?!
Bukankah memaksakan kehendak Allâh Azza wa Jalla - yang sudah pasti
benarnya - itu lebih pantas, daripada memaksakan kehendak makhluk -yang
sudah pasti salahnya jika menyelisihi keputusan Allâh Azza wa Jalla -?!
Sungguh segalanya telah jelas, bagi mereka yang berpikir dengan hati
nurani yang jernih.
PENEGAKAN HUDUD UNTUK MEREKA YANG MURTAD, BERTENTANGAN DENGAN NORMA
KEBEBASAN BERAGAMA, DAN PENDORONG TUMBUHNYA SIFAT MUNAFIK
ORANG-ORANGNYA.
Jawaban:
1. Tidak ada pertentangan antara norma kebebasan beragama dengan hukuman
mati bagi orang yang murtad. Karena Islam tidak memaksa mereka yang
belum masuk Islam untuk masuk Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. [al-Baqarah/2:256]
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا ۚ أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Dan jikalau Rabbmu menghendaki, pastilah semua orang yang ada dimuka
bumi beriman seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?! [Yunus/10:99]
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Dan katakanlah, "Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". [al-Kahfi/18:29]
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. [al-Kafirun/109:6]
Adapun bagi orang yang sudah masuk Islam, maka syariat Islam harus
berlaku baginya, siapapun dia tanpa pandang bulu, dan diantara syariat
tersebut adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia [HR. Bukhâri, no. 2794]
Hukuman itu juga baru akan diterapkan, apabila si pelaku murtad telah
dinasehati dan diminta untuk bertaubat, dengan harapan ia akan kembali
menjadi muslim yang baik kembali.
2. Penegakan syariat Islam -yang diantaranya syariat hudûd-, adalah
suatu keniscayaan. Itu tidak bisa ditinggalkan hanya karena akan
menimbulkan sifat munafik dan orang-orangnya. Itulah yang dicontohkan
oleh Rasûlullâh n semasa hidupnya, meski ada orang-orang munafik, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menegakkan syariat hudûd ini.
3. Tidak benar pula, bahwa penegakan syariat hudûd ini, dapat mendorong
sifat munafik dan orang-orangnya. Yang benar, jika Islam semakin kuat,
maka semakin banyak orang yang takut menampakkan permusuhannya terhadap
syariat Islam. Sebaliknya, saat Islam melemah, maka semakin banyak orang
yang berani terang-terangan menjatuhkan Islam.
Dan kenyataan itu tidak menjadikan kita berusaha melemahkan Islam.
Karena mafsadah lemahnya Islam dan terang-terangnya para musuh Allâh
Azza wa Jalla menjatuhkan Islam, jauh lebih besar dan lebih berbahaya.
HUKUMAN DALAM SYARIAT HUDUD SANGAT IDENTIK DENGAN KEKERASAN.
Jawaban:
1. Kita tahu bahwa hukum hudûd merupakan hukuman bagi pelaku dosa-dosa
besar. Hukuman-hukuman itu hanya dijatuhkan kepada pelaku
kejahatan-kejahatan kelas tinggi, sehingga sangat tidak adil dan sangat
tidak bijaksana, apabila hukumannya tidak keras.
2. Syariat Islam juga telah menempuh cara yang halus, dengan banyak
memberikan nasehat dan menjanjikan pahala bagi mereka yang meninggalkan
kejahatan-kejahatan tersebut, begitu pula memberikan ancaman-ancaman
siksa akhirat bagi mereka yang tetap nekad melakukannya. Sehingga
syariat hudûd ini memang dikhususkan bagi mereka yang sudah tidak mempan
lagi dengan cara yang halus, sehingga memang harus diberikan hukuman
yang keras.
3. Kita harus tahu juga bahwa hukuman dalam syariat Islam, tidak hanya
berupa hudûd, ada juga hukuman ta'zîr yang bentuk dan penentuan kadarnya
dikembalikan kepada keputusan seorang qadhi (hakim). Ta'zîr ini bisa
berupa hukuman ringan, bisa pula berupa hukuman berat, tergantung jenis
pelanggaran yang dilakukan. Namun syariat ta'zîr ini, hanya boleh
diterapkan pada pelanggaran-pelanggaran yang belum ditentukan hukumannya
dalam syari'at hudûd.
Intinya : orang yang mengatakan; "Hukuman dalam syariat hudûd sangat
identik dengan kekerasan", sama dengan orang yang mengatakan: "Hukuman
untuk kejahatan kelas tinggi sangat identik dengan kekerasan". Dan ini
bukanlah kekurangan, sebaliknya ini merupakan kelebihan, karena itu
berarti menentukan sanksi sesuai dengan kadar kejahatan yang dilakukan,
dan tentunya Allâh-lah yang paling tahu tentang bentuk dan kadar hukuman
tersebut.
Sekian tulisan tentang penegakan syariat hudûd dalam ajaran Islam.
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikannya bermanfaat bagi penulis maupun
pembacanya, dan semoga Allâh Azza wa Jalla akan menjadikannya terwujud
di negeri ini. Sungguh segalanya ada di Tangan-Nya, dan Dialah Yang Maha
Berkuasa atas segala sesuatu, serta Maha Mendengar doa para hamba-Nya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment