Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allâh dan tinggalkanlah jual
beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
[al-Jumu’ah/62:9].
Kewajiban shalat Jum’at merupakan kewajiban besar setiap pekan. Dan
al-hamdulillâh banyak kaum Muslimin nampak memperhatikan hal ini. Namun
dalil dan perincian dalam masalah ini banyak yang belum mengetahuinya.
Inilah sedikit keterangan tentang ayat yang memerintahkan shalat Jum’at
tersebut.
TAFSIR AYAT
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Hai orang-orang beriman...
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘hai orang-orang
beriman’ adalah pembicaraan kepada orang-orang mukallaf[1] dengan ijma’
dan keluar dari pembicaraan ini, yaitu orang-orang sakit, lumpuh,
musafir, budak, dan wanita dengan berdasarkan dalil.”[2]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang
diperintahkan menghadiri Jum’at hanyalah laki-laki merdeka; bukan
wanita, budak, dan anak-anak. Dan diberi udzur (atau dima’afkan; yakni,
tidak wajib bagi): musafir, orang sakit, pengurus orang sakit, dan
halangan-halangan semacamnya, sebagaimana ini disebutkan dalam
kitab-kitab furu’ (fiqih)”.[3]
Adapun dalil perkataan Ulama di atas antara lain adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا
أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Jum'at itu wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah, kecuali empat
(golongan), yaitu; hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang
sakit.[4]
Hadits ini juga menunjukkan bahwa berjama’ah merupakan syarat shalat
Jum’at. Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dari Ali bin Abi
Thâlib Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لاَ جَمَاعَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ إِلاَّ مَعَ الإِمَامِ
Tidak ada jama’ah (shalat Jum’at) pada hari Jum’at kecuali bersama imam.[5]
Firman Allâh Ta’ala:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at...
Yang dimaksudkan dengan seruan di sini adalah adzan Jum’at ketika khatib
naik mimbar dan duduk di atasnya, sebagaimana dilakukan pada zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ c
فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ
النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ
الزَّوْرَاءُ مَوْضِعٌ بِالسُّوقِ بِالْمَدِينَةِ
Dari as-Saib bin Yazid, ia berkata, "Dahulu pada zaman Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , Abu Bakar dan ‘Umar Radhiyallahu anhuma , adzan pada
hari Jum’at pertama kalinya adalah ketika imam sudah duduk di atas
mimbar. Tatkala ‘Utsmân Radhiyallahu anhu (menjadi khalifah, Pen.)
orang-orang bertambah banyak, beliau Radhiyallahu anhu menambah adzan
ketiga di Zaura". Abu Abdillah (Imam al-Bukhâri rahimahullah ) berkata,
“Az-Zaura’ adalah nama satu tempat di pasar Madinah”. [HR al-Bukhâri,
no. 870].
Disebut adzan ketiga karena adzan itu adalah tambahan dari adzan di depan imam setelah naik mimbar dan iqamat shalat.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah (8/122) setelah menyebutkan hadits di
atas, mengatakan, “maksudnya adalah adzan itu dikumandangkan di atas
sebuah rumah yang disebut az-Zaura`, dan az-Zaura’ adalah rumah yang
paling tinggi di Madinah di dekat masjid.”[6]
Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
maka bersegeralah kamu kepada dzikrullâh (mengingat Allâh).
Syaikh Abdurahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla
memerintahkan para hamba-Nya, orang-orang Mukmin, untuk menghadiri
shalat Jum’at dan bersegera kepadanya, dan memperhatikannya sejak adzan
shalat kumandangkan.
Yang dimaksud dengan sa’i di sini, adalah bergegas kepadanya,
memperhatikannya dan menjadikannya kesibukan terpenting. Maksudnya bukan
berlari, karena perbuatan ini terlarang ketika pergi menuju shalat.[7]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang-orang yang wajib
menghadiri shalat Jum’at tetapi tidak mendatanginya dengan ancaman yang
keras, sebagaimana diriwayatkan dari Abdullâh bin Umar Radhiyallahu
anhuma dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa keduanya mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di atas mimbarnya:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ
لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ
الْغَافِلِينَ
Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat Jum'at menghentikan
perbuatan mereka, atau benar-benar Allâh akan menutup hati mereka,
kemudian mereka benar-benar menjadi termasuk orang-orang yang lalai. [HR
Muslim].
Kemudian bahwa yang dimaksud dengan dzikrullâh (mengingat Allâh) dalam ayat ini adalah shalat Jum’at dan khutbahnya.
Imam Qurthubi rahimahullah berkata, “Firman Allâh ‘menuju dzikrullâh’
yaitu shalat. Ada yang mengatakan khutbah dan shalat. Ini dikatakan oleh
Sa’id bin Jubair. Ibnul ‘Arabi berkata, 'Yang benar bahwa semuanya
wajib, yang pertama adalah khutbah. Ini adalah pendapat para Ulama kita
kecuali Abdul-Mâlik bin al-Majisyun; ia berpendapat (mendengarkan)
khutbah itu sunnah. Dalil wajibnya mendengarkan khutbah adalah khutbah
itu menyebabkan jual beli menjadi haram. Seandainya khutbah tidak wajib,
niscaya ia tidak akan menyebabkan jual beli menjadi haram, karena
sesuatu yang mustahab (sunah) tidak menyebabkan yang mubah menjadi
haram.”[8]
Firman Allâh Ta’ala:
وَذَرُوا الْبَيْعَ
dan tinggalkanlah jual beli.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu bersegeralah menuju
dzikrullâh dan tinggalkan jual-beli ketika adzan (Jum’at) telah
dikumandangkan. Oleh karena itu, para Ulama –semoga Allâh meridhai
mereka- bersepakat tentang haramnya jual-beli setelah adzan kedua. Namun
Ulama berbeda pendapat, apakah jual beli itu sah (atau) tidak ?! Jika
ada yang melakukannya. Mereka terbagi menjadi dua pendapat. Zhahir ayat
(menunjukkan) bahwa jual beli itu tidak sah sebagaimana telah dijelaskan
di dalam tempatnya (kitab fiqih, Pen.). Wallâhu a’lam".[9]
Walaupun ayat ini memerintahkan agar meninggalkan jual-beli, tetapi bagi
orang yang berkewajiban melaksanakan Jum’at juga harus meninggalkan
semua pekerjaan setelah adzan dikumandangkan.
Imam al-Alûsi rahimahullah berkata, “Yaitu, tinggalkan mu’amalah
(intraksi atau pekerjaan antar sesama manusia), karena jual-beli
merupakan majaz (kiasan) dari mu’amalah, sehingga mencakup menjual,
membeli, sewa-menyewa, dan bentuk-bentuk mu’amalah lainnya. Atau (kata)
jual-beli menunjukkan (perbuatan) yang lainnya berdasarkan dalil nash,
dan kemungkinan ini yang lebih utama. Perintah (untuk meninggalkan
mu’amalah, Pen.) ini menunjukkan wajib, sehingga semua itu (mu’amalah
ketika adzan berkumandang) haram. Bahkan telah diriwayatkan dari ‘Atha`
Radhiyallahu anhu, keharaman kesenangan yang mubah (pada asalnya), suami
menggauli istrinya, menulis tulisan juga (diharamkan).”[10]
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla secara
khusus menyebut jual-beli, karena jual-beli pekerjaan yang paling banyak
dilakukan oleh orang-orang pasar. Namun orang yang tidak wajib
menghadiri shalat Jum’at maka tidak dilarang dari jual-beli”.[11]
Firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Syaikh Abdurahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yang demikian itu
lebih baik bagimu dari pada kesibukanmu dengan jual-beli dan kamu
kehilangan shalat wajib yang termasuk kewajiban yang besar. Jika kamu
mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allâh itu lebih baik dan lebih
kekal, dan bahwa orang yang lebih mementingkan dunia dari pada agama,
maka ia telah merugi dengan kerugian yang sebenarnya, dari arah yang ia
menyangka akan mendapatkan keuntungan. Dan perintah meninggalkan
jual-beli ini ditetapkan waktunya (yaitu) selama shalat”.[12]
WANITA YANG SHALAT DI RUMAH
Wanita tidak diwajibkan shalat Jum’at, namun dibolehkan mengikuti shalat
Jum’at di masjid. Jika wanita shalat sendiri di rumahnya maka ia shalat
Zhuhur, sebagaimana laki-laki yang tidak bisa mengikuti shalat Juma’t.
Syaikh Abdul-‘Aziz bin Bâz rahimahullah pernah ditanya, “Jika aku tidak
shalat Jum’at bersama jama’ah di masjid, apakah aku shalat di rumah dua
raka’at dengan niat Jum’at atau aku shalat empat raka’at dengan niat
Zhuhur?"
Beliau rahimahullah menjawab, “Barangsiapa tidak menghadiri shalat
Jum’at bersama umat Islam karena ‘udzur (halangan) syar’i, berupa sakit
atau sebab-sebab lainnya, (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian juga wanita
(yang tidak menghadiri shalat Jum’at), (maka) ia shalat Zhuhur. Demikian
juga musafir, penduduk padang pasir/desa (yang tidak menghadiri shalat
Jum’at), maka mereka shalat Zhuhur. Hal itu ditunjukkan oleh Sunnah
(Nabi), dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama; (sedangkan) orang
yang menyelisihi dari (pendapat) mereka tidak dianggap. Demikian juga
orang yang sengaja meninggalkan shalat Jum’at, lalu ia bertaubat kepada
Allâh Ta’ala, (maka) ia melakukan shalat Zhuhur”.[13]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah juga pernah
ditanya: “Berkaitan dengan shalat Jum’at bagi wanita, berapa raka’at
yang dikerjakan wanita yang shalat di rumahnya? Syukran”.
Beliau menjawab: “Jika wanita shalat bersama imam di masjid, (maka) ia
melakukan shalat seperti imam. Namun jika wanita shalat di rumahnya,
(maka) ia melakukan shalat Zhuhur, empat raka’at”.[14]
MAKMUM MASBUQ DARI SHALAT JUM’AT
Makmum masbuq (tertinggal) dari shalat Jum’at yang masih mendapatkan
raka’at imam, maka ia menggenapi raka’at yang kurang. Seseorang dianggap
mendapatkan raka’at imam jika mendapatkan ruku’ bersama imam. Namun
jika ia sudah tidak mendapati raka’at imam, maka ia melakukan shalat
empat raka’at, yaitu shalat Zhuhur, karena ia telah kehilangan jama’ah
yang merupakan syarat shalat Jum’at. Hal ini sebagaimana penjelasan dari
banyak ulama, antara lain sebagai berikut.
1. Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata di dalam kitab al-Ausath (4/100):
“Sebagian Ulama berkata, ‘Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat
Jum’at (bersama imam, Pen.), (maka) ia manambah satu raka’at lagi. Jika
ia (makmum masbuq, Pen.) mendapati mereka (imam dan makmum) duduk
(tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.).
Demikian ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Anas bin Mâlik,
Sa’id bin Musayyib, al-Hasan, asy-Sya’bi, ‘Alqomah, al-Aswad, ‘Urwah,
an-Nakha’i, dan az-Zuhri”. Kemudian Ibnul-Mundzir menyebutkan
riwayat-riwayat itu dengan sanad-sanadnya.[15]
2. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata,
مَنْ أَدْرَكَ الرَّكْعَةَ فَقَدْ أَدْرَكَ الْجُمْعَةَ وَمَنْ لَمْ يُدْرِكِ الرَّكْعَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Barangsiapa (dari makmum masbuq, Pen.) mendapati satu raka’at (dari
shalat Jum’at bersama imam, Pen.), (maka) ia telah mandapatkan Jum’at.
Dan barangsiapa tidak mendapatkan Jum’at, hendaklah ia shalat empat
raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.).[16]
3. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata,
إِذَا أَدْرَكَ الرَّجُلُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ رَكْعَةً؛ صَلَّى إِلَيْهَا أُخْرَى، فَإِذَا وَجَدَهُمْ جُلُوْسًا؛ صَلَّى أَرْبَعًا
Jika seorang laki-laki (dari makmum masbuq, Pen.) pada hari Jum’at
mendapati satu raka’at (dari shalat Jum’at bersama imam, Pen.), (maka)
ia menambah lagi satu raka’at. Namun jika mendapati mereka duduk
(tasyahud), (maka) ia shalat empat raka’at (yaitu shalat Zhuhur, Pen.).
[Riwayat Abdur- Razaq dalam al-Mushannaf, 3/234, sanadnya shahîh][17].
PETUNJUK AYAT
Di dalam ayat yang mulia ini terdapat berbagai petunjuk, antara lain:
1. Kewajiban shalat Jum’at bagi laki-laki dewasa, merdeka, sehat, dan mukim.
2. Kewajiban bersegera menuju dzikrullâh dengan berjalan tenang.
3. Keharaman jual-beli dan mu’amalah lainnya bagi orang yang wajib Jum’at setelah adzan berkumandang.
4. Bagi wanita atau laki-laki yang tidak mengikuti shalat Jum’at atau tertinggal, maka melakukan shalat Zhuhur.
5. Urgensi ilmu di dalam ketaatan kepada Allâh.
Demikian sedikit penjelasan seputar kewajiban shalat Jum’at, semoga bermanfaat.
Wallâhu a’lam bish-shawâb.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Yaitu orang yang berakal dan telah baligh.
[2]. Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah,18/86.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, 8/122.
[4]. HR Abu Dawud, no. 1069. Al-Hakim di dalam al-Mustadrak, no. 1062. Dishahîhkan oleh al-Hakim, adz-Dzahabi, dan al-Albani.
[5]. Al-Mushannaf, no. 5441.
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, Penerbit Daruth-Thayyibah, 8/122.
[7]. Tafsir Karimir-Rahmân, surat al-Jumu’ah/62 ayat 9.
[8]. Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah, 18/86.
[9]. Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, 8/122.
[10]. Rûhul Ma’ani, 28/103.
[11]. Tafsir Qurthubi, Maktabah Syamilah, 18/107.
[12]. Tafsir Karimir-Rahmân, surat al-Jum’at ayat 9.
[13]. Majmû’ Fatâwâ Ibnu Bâz, 12/332.
[14]. Fatâwâ Nur ‘ala ad-Darb, 17/54.
[15]. Lihat kitab al-Ahkâm wal Masâ-il al-Muta’alliqah bil-Jum’at, karya Syaikh Yahya al-Hajuri,119.
[16]. Riwayat Abdur-Razaq dalam al-Mushannaf (3/235, no. 5477), Ibnu Abi Syaibah (2/128), dan sanadnya shahîh.
[17]. Lihat kitab al-Ahkâm wal Masa-il al-Muta’alliqah bil-Jum’at, karya Syaikh Yahya al-Hajuri, 1/120.
0 komentar:
Post a Comment