Oleh
Ustadz Abu Haidar As Sundawi
Bersumpah, artinya menguatkan suatu obyek pembicaraan dengan menyebut
sesuatu yang diagungkan dengan lafazh yang khusus. Yaitu dengan
menggunakan salah satu di antara huruf sumpah ba`, wawu, atau ta` (dalam
bahasa Arab) [1]. Yakni dengan mengatakan billahi, wallahi, atau
tallahi, yang artinya demi Allah.
Dengan demikian, di dalam sumpah terkandung sikap pengagungan kepada
yang namanya disebut dalam sumpah tersebut. Sedangkan pengagungan
termasuk jenis ibadah yang tidak boleh ditujukan, kecuali hanya kepada
Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu, bersumpah adalah ibadah yang hanya
boleh ditujukan kepada Allah saja dengan mengatakan demi Allah saja!
Berdasarkan hal itu, maka bersumpah dengan menyebut nama selain nama
Allah adalah perbuatan syirik. Sebab dalam sumpah tersebut terkandung
pengagungan kepada selain Allah, berdasarkan hadits dari Umar bin
Khaththab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barangsiapa yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah, maka sungguh dia telah kafir atau musyrik" [2].
Yang dimaksud bersumpah dengan menyebut selain nama Allah -yang dianggap
musyrik- maksudnya, mencakup segala sesuatu selain Allah, baik itu
Ka'bah, rasul, langit, malaikat dan lain-lain. Misalnya, yaitu dengan
mengatakan “demi Ka'bah”, atau “demi Rasulullah”, “demi Jibril”, demi
cintaku kepadamu, demi langit yang luas, dan seterusnya. Tetapi,
larangan ini tidak mencakup sumpah dengan menyebut sifat Allah, karena
sifat itu mengikuti Dzat yang disifatinya (Allah). Oleh karena itu, kita
boleh mengatakan "demi kemuliaan Allah…”[3].
Karena besarnya dosa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah,
sehingga Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu mengatakan : "Kalau aku
bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan kedustaan, maka hal itu
lebih aku sukai daripada bersumpah secara jujur dengan menyebut selain
nama Allah" [4]. Bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk suatu
kebohongan adalah termasuk dosa besar, akan tetapi, dosanya lebih ringan
daripada bersumpah secara jujur, tetapi dengan menyebut selain nama
Allah dalam sumpahnya.
Bersumpah palsu dengan menyebut nama Allah adalah diharamkan.
Pertama : Hal itu termasuk kebohongan, dan kebohongan adalah diharamkan.
Kedua : Kebohongan ini disandingkan dengan sumpah, sedangkan sumpah
adalah pengagungan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Apabila sumpahnya
untuk suatu kebohongan, berarti di dalamnya terkandung sikap tanaqqus
(penghinaan) terhadap Allah, karena menjadikan namaNya sebagai penguat
kebohongan. Oleh karena itu, bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk
suatu kebohongan -menurut sebagian ulama- termasuk sumpah palsu yang
menyebabkan pelakunya terjerumus kepada dosa, kemudian ke neraka.
Adapun bersumpah secara jujur dengan menyebut selain nama Allah, maka
ini diharamkan karena satu alasan, yaitu syirik. Bahaya syirik lebih
besar daripada keburukan dusta, dan lebih besar pula dosanya daripada
keburukan bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan. Juga
lebih besar pula dosanya daripada sumpah palsu, apabila kita katakan
bahwa bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk kebohongan termasuk
sumpah palsu; karena dosa syirik dosanya tidak akan diampuni. Allah
berfirman :
إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik". [An Nisa` : 116].
Tidaklah Allah mengutus para rasul dan tidak pula menurunkan kitab,
kecuali untuk memberantas kemusyrikan ini. Karena syirik merupakan dosa
yang paling besar. Allah berfirman :
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang paling besar". [Luqman : 13].
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah ditanya : ”Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab :
أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
"Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu" [5].
Syirik mengandung kedustaan, karena orang yang menjadikan serikat bagi
Allah adalah pendusta, bahkan orang yang paling pendusta, karena Allah
tidak memiliki sekutu [6].
Bila seseorang yang bersumpah dengan menyebut selain nama Allah itu
meyakini bahwa yang namanya disebut itu dianggap sama dengan Allah dalam
hal keagungan dan pengagungan, maka dia telah melakukan syirik besar.
Akan tetapi, jika tidak, maka perbuatannya tersebut termasuk syirik
kecil.
Apakah Allah mengampuni syirik kecil? Sebagian ulama mengatakan bahwa
firman Allah "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik…” –QS
An Nisa ayat 116-, maksudnya ialah syirik besar. "Dan Allah akan
mengampuni selain itu", maksudnya ialah syirik kecil dan dosa-dosa
besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik sekalipun syirik kecil, karena firman
Allah yang menyatakan ‘ayyusyraka bihi’ disebut sebagai mashdar muawwal
(kata kerja yang bisa ditakwil menjadi kata benda). Dia adalah lafazh
nakirah (umum) dalam konteks nafi (menidakan). Sehingga maknanya umum,
mencakup syirik besar dan kecil.
Adapun sumpah yang Allah lakukan dengan menyebut makhlukNya, seperti :
“Demi matahari” –QS Asy Syams ayat 1- atau “aku bersumpah dengan
menyebut negeri ini" -QS Al Balad ayat 1- atau ayat "demi malam apabila
telah gelap” –QS Al Lail ayat 1- dan ayat yang sejenis itu, maka ada dua
penjelasan tentang hal ini.
Pertama : Ini adalah termasuk perbuatan Allah, dan Allah tidak boleh
ditanya tentang apa yang Dia lakukan. Dia boleh bersumpah dengan
menyebut apa saja yang Dia kehendaki dari kalangan makhlukNya. Dialah
yang akan bertanya, dan bukan yang akan ditanya. Dialah Hakim, dan bukan
yang akan dihukumi.
Kedua : Sumpah Allah dengan ayat-ayat ini menjadi dalil tentang
keagunganNya, kesempurnaan kekuasaan serta hikmahNya, sehingga sumpah
tersebut menunjukan kebesaranNya, serta ketinggian derajatNya yang
mengandung pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Oleh karena itu, kita tidak boleh bersumpah dengan menyebut selain nama
Allah atau sifatNya. Adapun yang diterangkan dalam hadits Shahih Muslim,
bahwa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Berbahagialah
dia, demi bapaknya, bila dia benar" [7], terdapat beberapa penjelasan
sebagai berikut :
1). Sebagian ulama mengingkari lafazh ini dan mengatakan, bahwa lafazh
ini tidak ada dalam hadits karena bertolak belakang dengan tauhid. Bila
demikian, maka tidak boleh menisbatkan hal ini kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, hal ini adalah batil.
2). Lafazh ini merupakan penulisan dari para perawi. Asalnya ialah
“berbahagialah dia, demi Allah, bila dia benar”. Mereka (para perawi)
tidak memberi syakal (harakat) pada tulisan. Padahal, tulisan abihi
(ابيه) serupa dengan tulisan lafzhul jalalah, Allah (اـلـله ) apabila
dibuang titik-titik di bawahnya.
3). Ucapan ini merupakan ungkapan yang keluar secara spontan dari lisan,
tanpa disengaja. Allah berfirman : "Allah tidak akan menghukum kalian
atas sumpah-sumpah yang kalian lakukan tanpa sengaja”, dan sumpah ini
tidak diniatkan, sehingga tidak akan dihukum.
4). Sumpah ini terjadi pada diri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
beliau adalah orang yang paling jauh dari syirik, sehingga hal ini
termasuk kekhususan baginya. Adapun yang lainnya, maka dilarang dari
sumpah ini, karena mereka tidak sama dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hal keikhlasan dan tauhid.
5). Sumpah ini dibuang mudhafnya. Kalimat asalnya ialah “berbahagialah dia, demi –Tuhan- (mudhaf) bapaknya …”.
6). Sumpah dengan lafazh ini mansukh (dihapuskan legalisasinya) dan
pelarangannyalah yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
sejak asal tentang masalah ini. Dan inilah pendapat yang paling dekat
dengan kebenaran.
Kalau ada yang mencoba membalikkan bahwa larangan itulah yang dimansukh,
karena ketika itu mereka baru saja lepas dari budaya syirik, sehingga
mereka dilarang berbuat syirik sebagaimana manusia pun dilarang dari
ziarah kubur di awal masa mereka bebas dari syirik, kemudian mereka
diizinkan melakukannya setelah itu?
Kita jawab, bahwa sumpah ini terucap dari lisan mereka, lalu dibiarkan
sehingga keimanan dalam jiwa mereka mantap, setelah itu, kemudian
dilarang. Ini sama dengan dibiarkannya mereka untuk minum khamr, setelah
itu mereka diperintah untuk menjauhinya.
Adapun tentang jawaban pertama di atas, maka jawaban ini lemah, karena
hadits ini shahih. Oleh karena itu, selama hadits ini masih mungkin
diarahkan kepada pemahaman yang shahih, maka tidak boleh diingkari.
Tentang keterangan kedua, ini pun terlalu jauh bila mungkin ditoleransi.
Tidak mungkin terjadi pada ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika ditanya "shadaqah apakah yang paling utama?", beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menjawab "adapun, demi bapakmu, kamu pasti akan
diberitahu……dan seterusnya" [8].
Penjelasan ketiga, juga tidak benar, karena larangan itu ada, sekalipun
terucap secara spontan dari lisan, sebagaimana pernah dilakukan oleh
Sa'ad, yang kemudian dilarang oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
[9]. Seandainya hal ini benar, maka boleh pula kita katakan kepada orang
yang biasa melakukan perbuatan syirik, bahwa ia tidak boleh dilarang
karena ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan ini merupakan kebatilan.
Adapun jawaban keempat yang mengklaim pengkhususan untuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini membutuhkan dalil khusus.
Kalau tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu umat boleh
mengikuti beliau dalam masalah ini.
Keterangan kelima juga lemah, karena pada asalnya tidak ada lafazh yang
dibuang. Lagi pula, adanya lafazh yang dibuang di sini bisa menimbulkan
pemahaman yang batil. Tidak mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berbicara dengan pembicaraan yang berakibat demikian, tanpa
menjelaskan yang dimaksud.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan itu, maka jawaban yang paling dekat
dengan kebenaran adalah jawaban yang keenam, bahwa itu adalah mansukh
(dihapuskan). Kita tidak bisa memastikan hal itu, karena ketidaktahuan
kita tentang sejarah. Oleh karena itu, kita katakan, itu adalah jawaban
yang paling dekat, wallahu a'lam.
Sekalipun Imam An Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa sumpah ini
terucap secara spontan dari lisan tanpa sengaja, akan tetapi pendapat
ini lemah. Tidak mungkin kita berpendapat seperti itu. Kemudian, saya
melihat sebagian ulama memastikan syadznya hadits ini, karena
menyendirinya Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits ini dari Bukhari,
serta berseberangannya para perawinya dengan orang-orang yang tsiqat
(terpercaya) [10]. Wallahu a'lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun IX/1426/2005M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. Al Qaulul Mufid : 2/213.
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, seperti yang dikutip Ibnu Katsir
dalam tafsrinya (1/57). Syaikh Sulaiman berkata dalam Taisirul Aziz (hal
587): ‘Sanadnya jayyid’.
[3]. Opcit.
[4]. Dikeluarkan oleh Abdur Razaq 8/469, Thabari dalam Al Kabir (8902).
Al Mundziri berkata dalam At Targhib 3/607 dan Al Haitsami dalam
Majma'uz Zawaid 4/177 :" Para perawinya merupakan para perawi (kitab)
Shahih."
[5]. HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan
orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; .
Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Al Qaulul Mufid : 2/217
Syirik besar adalah syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Sedangkan syirik kecil adalah syirik yang tidak menyebabkan pelakunya
keluar dari Islam, tetapi dia telah terjerumus ke dalam dosa besar.
[7]. HR. Muslim dalam kitab Iman, bab penjelasan shalat yang merupakan
salah satu rukun Islam 1/40 dari hadits Thalhah bin ‘Ubaidillah
Radhiyallahu 'anhu.
[8]. HR. Muslim bab shadaqah yang paling utama adalah shadaqah orang yang sehat dan bakhil.
[9]. Sa'd Bin Abi Waqash berkata:"Aku pernah bersumpah sekali dengan
menyebut Latta dan Uzza, lalu Nabi n menimpaliku : ‘Katakan Laa ilaaha
illallah wahdahu laa syariikalah. Kemudian meludahlah ke kiri 3 kali dan
kemudian berlindunglah dan jangan kamu ulangi! " Hadits ini dikeluarkan
oleh Ahmad (1/183,186,187), Ath Thahawy dalam Al Musykil (1/360) dan di
dalamnya ada perintah untuk beristighfar sebagai pengganti dari
berlindung, . dan Ibnu Hibban. Hadits ini dhaif sebagaimana dijelaskan
dalam Irwaul Ghalil (8/193).
[10]. Al Qaulul Mufid (3/ 214- 217
0 komentar:
Post a Comment