Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Sujud Tilâwah merupakan salah satu sujud yang disyariatkan dalam Islam
bagi yang membaca ayat-ayat sajdah dan yang mendengarkannya. Kalau kita
melihat keadaan orang yang membaca dan mendengar ayat-ayat sajdah maka
tidak lepas dari dua keadaan; membaca atau mendengarnya dalam shalat
atau diluar shalat.
Ada beberapa permasalahan terkait sujud tilawah dalam shalat, diantaranya:
HUKUM IMAM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT JAHRIYAH
Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pertama : Pendapat yang menyatakan disyariatkan dan dianjurkan bagi
orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat, baik shalat wajib maupun
shalat nâfilah (sunnah) agar melakukan sujud tilâwah. Ini pendapat
mayoritas Ulama, diantaranya madzhab Hanafiyah (lihat Fathul Qadîr
2/14), Syâfi'iyyah (lihat al-Majmû' 4/58), Hanabilah (lihat al-Mughni
2/371), Zhâhiriyah (lihat al-Muhalla 5/157) dan riwayat Abdullah bin
Wahb dari Mâlik (lihat al-Muntaqâ 1/350).
Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ
فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى
الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Jum'at saat shalat
Shubuh membaca surat Sajdah dan al-Insân [HR. Al-Bukhâri no. 891]
2. Hadits Abu Raafi' beliau berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ ( إِذَا السَّمَاءُ
انْشَقَّتْ ) فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ
أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ
بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُ
Aku shalat Isya’ (shalat ‘atamah) bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca “idzas samâ’un
syaqqat”, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud. Lalu Abu
Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Apa ini?” Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul
Qâsim (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) ketika sampai pada
ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidak
pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya
saat itu.” [HR. Al-Bukhâri no. 768 dan Muslim no. 578]
3. Amalan ini sudah ada dari sejumlah ahli fikih dari kalangan Shahabat
seperti Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Utsmân bin Affân Radhiyallahu
anhu dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka.
Kedua: Dimakruhkan membaca ayat-ayat sajadah dalam shalat fardhu,
sedangkan dalam shalat nâfilah tidak dimakruhkan. Ini merupakan pendapat
imam Mâlik dalam satu riwayat yang menjadi pendapat madzhab Mâlikiyah.
Pendapat ini berargumen dengan dua alasan :
1. Apabila tidak sujud maka masuk dalam ancaman yang diisyaratkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْآنُ لَا يَسْجُدُونَ ۩
Dan apabila al-Qur'ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud, [Al-Insyiqâq/84:21]
Apabila sujud berarti menambah jumlah sujudnya. [Lihat Hasyiyah ad-Dûsuqi, 1/310]
2. Hal ini mengakibatkan orang yang dibelakang imam bingung dan salah,
karena hal ini perkara yang tidak biasa dalam shalat [Lihat al-Muntaqa
1/350]
Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama karena hadits-hadits
yang shahih menunjukkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat sajadah dalam shalat dan melakukan sujud tilâwah dalam
shalat. Wallâhu a'lam.
HUKUM MEMBACA AYAT-AYAT SAJDAH DALAM SHALAT SIRRIYAH SEPERTI SHALAT ZHUHUR DAN SHALAT ASHAR
Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat
sajadah. Dalam masalah ini para Ulama fikih berbeda pendapat dalam
beberapa pendapat:
Pertama: Dimakruhkan.
Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam madzhab
Hanabilah namun dianggap sebagai pendapat madzhab serta pendapat
sebagian Ulama madzhab Mâlikiyah.
Mereka beralasan dengan dua alasan:
1. Apabila tidak sujud berarti meninggalkan sunnah dan kalau sujud akan
menimbulkan kesalahfahaman pada makmum. Karena bisa jadi mereka
menyangka sang imam salah, karena mendahulukan sujud daripada ruku'.
[Lihat al-Muntaqa, 1/350 dan al-Mughni, 2/371]
Alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa meninggalkan amalan sunnah
tidak menjadikan membaca ayat sajdah dalam masalah ini dimakruhkan;
karena meninggalkan amalan sunnah tidak makruh. Sebab kalau meninggalkan
amalan sunnah dihukumi makruh maka kita berpendapat shalat tidak
menggunakan sandal hukumnya makruh dan tidak mengangkat tangan dalam
takbiratul ihrâm hukumnya makruh serta tidak mengucapkannya secara jahr
pada shalat jahriyah adalah makruh [Lihat asy-Syarhu al-Mumti' 4/148].
2. Apabila sujud berarti menambah jumlah sujud dalam shalat.
Alasan ini terbantahkan. Memang benar ada penambahan sujud, namun
penambahan seperti itu tidak apa-apa, sebab terbukti Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukannya dalam shalat.
Kedua: Dimakruhkan dalam shalat fardhu, namun tidak dimakruhkan pada shalat nâfilah (sunnah). Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah.
Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan pendapat yang pertama
dalam shalat fardhu dan mengecualikan shalat nâfilah dengan dasar yaitu
sujud itu bersifat sunnah dan shalat nafilah itu juga bersifat sunnah
sehingga sujud tersebut tidak menjadi ibadah tambahan dalam shalat
nâfilah. [Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi 1/310].
Ketiga: Tidak dimakruhkan secara mutlak. inilah pendapat madzhab
Syafi'iyah (lihat al-Majmû' 2/95) dan satu pendapat dalam madzhab
Hanabilah (lihat al-Mughni 2/371) serta pendapat Ibnu Hazm [Lihat
al-Muhalla 5/157].
Mereka berdalil dengan hadits Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ فِي صَلَاةِ
الظُّهْرِ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ فَرَأَوْا أَنَّهُ قَرَأَ تَنْزِيلَ
السَّجْدَةَ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dalam shalat
Zhuhur kemudian bangkit lalu ruku' lalu para Shahabat melihat Beliau
membaca surat as-sajdah [HR. Abu Dawud dan didhaifkan al-Albani dalam
al-Misykah no. 1031].
Mereka juga berdalil dengan tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh.
Pendapat Yang Rajih:
Pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang ketiga ini,
karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh,
sementara dasar atau alasan pendapat lain dalam menetapkan hukum
makruhnya itu lemah. Karena tugas makmum hanya mengikuti imam. Jadi,
jika imam melakukan sujud tilâwah, maka makmum hanya ikut saja dan ikut
sujud. Alasannya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا
Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka
bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah. [HR. Al-Bukhâri dan
Muslim]
Begitu pula apabila seorang makmum tatkala berada jauh dari imam
sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah
seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti imam.
Pendapat inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh
Ibnu Qudâmah. [Lihat al-Mughni, 3/104].
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat
yang membolehkannya dengan menyatakan, "Diperbolehkan imam membaca ayat
sajdah dalam shalat siriyah dan sujud sebagaimana dilakukan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Syarhu Mumti' 4/103].
CARA SUJUD TILAWAH.
Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud.
2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.
3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak
disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan
salam setelahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah
ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga
tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf,
dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” [Majmû’ al-Fatâwa,
23/165]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, "Sunnah Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam
dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat. [Syarhu Mumti'
4/100]
4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit
dari sujud. Umumnya pada Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud
tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan
antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan
hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]
Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi'iyah yang
menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah
dan beliau t menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar.
[Lihat al-Majmu' 4/63].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Telah shahih bahwa Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit
dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang
dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat,
yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit
dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena
ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir
apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa
itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang
benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia
bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu [Syarhu
Mumti' 4/100].
5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut.
Dalam masalah disyari'atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama : Tidak Disyariatkan Mengangkat Tangan.
Ini pendapat madzhab Hanafiyah (lihat al-Banâyah 2/734), madzhab
Mâlikiyah (lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569), madzhab Syâfiiyah
(lihat Mughnil Muhtâj 1/217) dan satu riwayat dari imam Ahmad dan
dirajihkan sebagian ulama Hanabilah [Lihat al-Mughni 2/361].
Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ
يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ
لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ
أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ
Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua
tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila
bertakbir untuk ruku' dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku'
demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata: Sami'allahu
liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu
dalam sujud. [HR al-Bukhari no.735].
Disini dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat
tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah
Beliau lakukan dalam shalat.
Hal ini didukung dengan qiyâs (analogi) kepada sujud dalam shalat yang
tanpa mengangkat kedua tangannya. [Lihat Mughnil Muhtâj 1/217].
Pendapat Kedua: Disunnahkan Mengangkat Tangan.
Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya. [Lihat al-Mughni 2/361]
Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa'il bin Hujur Radhiyallahu anhu :
«أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ
عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ
Beliau shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau pun
bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan
dan kekiri.” [HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya
1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh
al-Albani dalam al-Irwâ' no. 641]
Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan: Ini (sujud tilawah) masuk dalam ini semua. [Lihat al-Mughni 2/361].
Pendapat Yang Rajih:
Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan
shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah
menunjukkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat
tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar
Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam sujud.
6. Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang
sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , diantaranya:
1. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti :
a). Membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
Maha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,
Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau
menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
ketika sujud Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].
Juga karena hadits Uqbah bin 'Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkata:
فَلَمَّا نَزَلَتْ: {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى: 1] قَالَ
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -:
"اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ"
Ketika turun firman Allâh surat al-A'la ayat ke-1 maka Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami: Jadikanlah ini dalam
sujud-sujud kalian. [HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini
dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh
Syu'aib al-Arnauth dalam ta'liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah].
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan: Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah [Syarhu mumti' ].
b). Membaca:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى
Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil:
Pertama: Firman Allâh Azza wa Jalla :
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا
سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ
Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah
mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera
bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka
tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 : 15].
Kedua: Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, "Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Maha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484][Syarhu
Mumti'].
2. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca
dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali :
سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ
Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk
pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta.
[HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]
3. Bacaan yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu ,
beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud
membaca :
اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي
لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ
وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Ya Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku
berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya,
yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh
Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]
4. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma . Beliau
berkata, "Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di
belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut
bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkan:
اللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا
وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا
تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ،
Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan
gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah
dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu Daud
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun
berkata: Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut
sampaikan dari perkataan pohon itu. [HR. Tirmidzi no. 576 dan dihasankan
al-Albani rahimahullah].
Demikian beberapa masalah berkenaan dengan sujud tilawah dalam sholat. Semoga bermanfaat.
Wabillahittaufiq
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
0 komentar:
Post a Comment