HAK CIPTA KARYA TULIS
Hak cipta karya tulis adalah sejumlah keistimewaan yang dimiliki oleh
seorang penulis atau pengarang yang bisa dihargai dengan uang, terkadang
disebut dengan hak abstrak, kepemilikan seni atau sastera, atau hak
intelektualitas.
Hak finansial yang dimiliki seorang penulis adalah harga komersial dari
tulisan atau karangannya. Harga tersebut dibatasi oleh mutu dan
keuntungan komersial yang bisa direalisasikan dengan menerbitkan hasil
tulisan tersebut dan mengkomersialkannya.
Fenomena hak cipta ini tidak pernah muncul di tengah masyarakat Islam
pada masa-masa dahulu, meskipun berbagai jenis tulisan mulai berkembang
luas dan merambah ke berbagai bidang. Karena para penulis biasanya hanya
mengharapkan pahala dari Allâh Azza wa Jalla saja. Tujuannya mereka
adalah memaksimalkan manfaat tulisan mereka di setiap tempat, dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla. Kalaupun terkadang
mereka mendapatkan kedudukan atau mendapatkan hadiah. Semua, mereka
peroleh secara kebetulan saja, tanpa ada keinginan untuk itu dan bahkan
terkadang jiwa mereka menolak.
Sejarah Islam dahulu dan juga pada masa perkembangan dunia tulis menulis
dalam berbagai disiplin ilmu sudah mengenal aturan untuk mengabadikan
nama penulisnya dan mencantumkannya di sampul buku. Mungkin pusat
pengabadian nama-nama penulis terbesar pada masa itu adalah Darul Ilmi
di Baghdâd yang reputasinya sudah tersiar di seantaro dunia, sehingga
banyak orang yang datang mengunjunginya untuk lebih mengenal isi
perpustakaan tersebut.
Para ulama kontemporer juga telah membolehkan menggantirugi hak cipta,
karena penulis memiliki hak tertentu. Kaidah-kaidah ajaran syariat juga
memberi konsekuensi pemeliharaan hak-hak para pemilik hasil cipta.
Dengan demikian, kepemilikan itupun bisa berpindah kepada orang lain
dengan mediator yang berfungsi memindahkan kepemilikan, seperti jual
beli, warisan dan sejenisnya.[1]
Diantara fatwa nawâzil yang ada dalam masalah ini adalah fatwa Majma’ al-Fiqh al-Islami seputar Hak cipta.
Fatwa ini berbunyi :
Segala puji hanya milik Allâh Rabb seluruh alam semesta. Shalawat serta
salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad n penutup semua Nabi
dan kepada keluarga dan sahabatnya.
Sesungguhnya Majlis Majma’ al-Fiqh al-islami yang diadakan pada daurah
mu’tamarnya yang ke-5 di negara Kuwait, mulai dari tanggal 1 sampai 6
Jumadil Ula 1409 H yang bertepatan dengan tanggal 10 s/d 15 Kanun Awal
(Desember) 1988 M. Setelah melihat makalah-makalah penelitian yang
disampaikan dari para anggota dan pakar tentang masalah hak-hak cipta
dan mendengarkan diskusi yang beredar seputar ini :
Memutuskan :
Pertama :
Merek dagang, alamat dagang, logo perusahan dagang, karya tulis dan
penemuan adalah hak-hak khusus milik pemiliknya, pada masa ini dalam
pandangan adat istiadat (al-‘urf) telah menjadi sesuatu yang bernilai
harta yang mu’tabar (yang diperhitungkan) untuk menjadi sumber
penghasilan manusia. Hak-hak ini diakui syariat sehingga tidak boleh
dilanggar.
Kedua :
Dibolehkan beraktifitas (at-tasharruf) dalam merek dagang, alamat dagang
atau tanda (logo) dagang. Hal-hal tersebut bisa berpindah haknya dengan
kompensasi harta. Karena telah hilang gharar (ketidak jelasan) dan
tadlis serta al-Ghisy (dusta) dalam tinjauannya telah menjadi hak
maliyah (hak bernilai).
Ketiga:
Menurut syari'at, hak karya tulis dan penemuan dilindungi oleh syariat
dan pemiliknya memiliki hak beraktifitas padanya dan tidak boleh
dilanggar.
(sumber: Taudhîhul Ahkâm min Bulughil Marâm 4/250).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diambil dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam hlm 319-320
TRANSAKSI MELALUI MEDIA MODERN
Majma’ al-Fiqh al-Islami dibawah OKI dalam konferensinya yang ke-6 di
Jeddah pada tanggal 17 s/d 23/8/1410 H atau 10 s/d 14/3/1990 M
mengeluarkan Surat Keputusan No. (45/3/6) yang berbunyi :
Dengan mempertimbangkan pembahasan para Ahli Fikih seputar masalah akad
(transaksi) dengan ucapan, tulisan dan isyarat serta delegasi dan yang
sudah ditetapkan bahwa transaksi antara dua orang yang hadir (dimajlis
akad) disyaratkan :
• Akad itu dalam satuan majlis (tempat), kecuali akad wasiat [1], îshâ’[2] dan wakâlah[3].
• Ada keselarasan antara ijab dan qabûlnya
• Tidak ada indikasi yang menunjukkan gagalnya transaksi dari salah satu pihak
• Ijâb dan qabûl menurut kebiasaan (urf) tidak terputus.
Akhirnya menetapkan sebagai berikut:
1. Kalau transaksi antara kedua belah pihak berlangsung sementara
keduanya tidak berada dalam satu lokasi transaksi, masing-masing tidak
melihat pihak lain dengan mata kepala sendiri, juga tidak mendengar
suaranya, sementara media yang menghubungkan antara keduanya adalah
tulisan, surat, duta atau delegasi, misalnya via telegram, surat kilat,
faks, layar monitor komputer, maka transaksi itu dianggap sah dan
terjadi kalau ijâb (yang disampaikan surat atau lain sebagainya tadi)
sudah sampai kepada pihak yang dituju, demikian juga qabul dari pihak
yang lain.
2. Kalau transaksi antara kedua belah pihak sudah berlangsung pada satu
waktu sementara keduanya berada di lokasi yang berjauhan, misalnya
transaksi yang dilakukan melalui telpon dan faks, maka transaksi antara
dua pihak tersebut dianggap sebagai transaksi antara dua orang yang
hadir (yaitu berada dalam satu lokasi) dan diperlakukan semua hukum asal
yang ditetapkan oleh para ulama Ahli Fikih yang tergabung dalam diskusi
ini.
3. Kalau pihak yang menawarkan transaksi dengan media-media tersebut
memberikan ijâb dalam waktu tertentu, maka harus dijaga konsekuensi pada
masa tertentu tersebut, tidak boleh diralat kembali.
4. Semua kaidah-kaidah tersebut di atas tidak berlaku pada akad nikah
karena akad nikah menuntut adanya saksi, tidak juga berlaku untuk sharf
(money changer) karena adanya syarat serah terima barang secara
langsung, juga tidak untuk jual beli as-salam[4] karena (dalam jual beli
as-salam) modal harus diserahkan dimuka.
5. Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya pemalsuan dan penggelapan
atau kekeliruan, maka harus dikembalikan kepada kaidah-kaidah berlaku
umum dalam memastikannya.
(Sumber : Majalah Majma’ Fikih Islami, edisi keenam (2/785))
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Wasiat adlah pesan untuk memberikan harta kepada seseorang setelah kematian yang berwasiat
[2]. Isha’ adalah penugasan untuk beraktifitas setelah kematian
seseorang yang menugaskan dalam perkara yang ia boleh beraktifitas,
seperti menunaikan hutang atau mengembalikan barang simpanan
[3]. Wakalah adalah transaksi perwakilan dan keagenan
[4]. Pengecualian jual beli sharf dan salm masih perlu diperdebatkan.
Karena semua media yang memungkinkan diberlangsungkannya transaksi
dengan cara seperti itu juga bisa memberikan harga modal dimuka dalam
lokasi transaksi seperti pada jual beli salm, yakni dengan
mentransfernya secara langsung ke rekening penjual melalui internet.
Pemberian barang secara langsung juga dapat dilakukan seperti dalam jual
beli sharf.
0 komentar:
Post a Comment