Oleh
Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin
Sesungguhnya ilmu tentang aqidah merupakan ilmu yang sangat mulia,
karena ilmu aqidah membahas tentang dzat Allah Azza wa Jalla ,
sifat-sifat-Nya, hak-Nya untuk diibadahi, dan yang berkaitan dengannya.
Al-Bazdawi rahimahullah berkata, "Sesungguhnya kemuliaan dan keagungan
suatu ilmu tergantung pada apa yang diilmui, dan tidak ada yang lebih
besar daripada dzat Allâh Azza wa Jalla dan
sifat-sifatNya yang dibahas
oleh ilmu (aqidah) ini.” [Kasyful Asrâr, 1/8]
MAKNA AQIDAH:
Aqidah dalam bahasa Arab diambil dari kata al-‘aqd, artinya: kuat,
ikatan, kokoh, mengokohkan. [Lihat: Lisânul ‘Arab, bab ‘aqada]
Sedangkan secara istilah, aqidah artinya: Keimanan yang kuat kepada
Allâh, dan hak-Nya yang berupa tauhid, keimanan kepada
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para nabi-Nya, hari akhir, serta
keimanan kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dan perkara lainnya
yang bercabang dari pokok-pokok ini dan termasuk padanya yang termasuk
ushuludin (pokok-pokok agama). [Lihat Risâlah al-‘Aqîdah ash-Shahîhah,
karya Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bâz, hlm. 3-4; dan Risâlah Mujmal Ushûl
Aqîdah Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm.5]
NAMA-NAMA LAIN DARI ILMU AQIDAH
SUNNAH
Banyak Ulama Salaf menyebut aqîdah shahîhah (akidah yang benar) dengan
nama ‘sunnah’. Ini untuk membedakannya dari keyakinan-keyakinan dan
pendapat-pendapat firqah-firqah (golongan-golongan) sesat. Karena akidah
yang benar yaitu aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah diambil dari Sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sunnah merupakan penjelas
al-Qur’ân.
Sebagian Ulama Salaf telah menulis kitab-kitab akidah dan mereka
menamakannya dengan ‘as-sunnah’, di antaranya kitab as-Sunnah karya Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah, kitab as-Sunnah karya imam Ibnu Abi
‘Ashim, dan lainnya.
USHÛLUDIN
Sebagaimana sebagian Ulama menamakan akidah dengan ushûludin
(pokok-pokok agama), karena agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terbagi menjadi i’tiqâdât (keyakinan-keyakinan) dan ‘amaliyyât
(amalan-amalan). Yang dimaksudkan dengan ‘amaliyyât adalah ilmu tentang
syari’at-syari’at dan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara amalan,
seperti hukum-hukum shalat, zakat, jual-beli, dan lainnya. ‘Amaliyyât
juga dinamakan far’iyyah atau furû’ (cabang). ‘Amaliyyât adalah semacam
cabang untuk ilmu akidah. Karena akidah adalah ketaatan yang paling
mulia, dan kebenaran aqidah merupakan syarat diterimanya ibadah-ibadah
yang dilakukan. Jika akidah rusak, ibadah tidak diterima dan pahalanya
batal. Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. [Az-Zumar/39:
65]
Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah telah berkata di dalam mukaddimah syarah Thahâwiyah:
(أَمَّا بَعْدُ) فَإِنَّهُ لَمَّا كَانَ عِلْمُ أُصُولِ الدِّينِ أَشْرَفَ
الْعُلُومِ، إِذْ شَرَفُ الْعِلْمِ بِشَرَفِ الْمَعْلُومِ. وَهُوَ
الْفِقْهُ الْأَكْبَرُ بِالنِّسْبَةِ إِلَى فِقْهِ الْفُرُوعِ، وَلِهَذَا
سَمَّى الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ - رَحْمَةُ الله تعالى - مَا قَالَهُ
وَجَمَعَهُ فِي أَوْرَاقٍ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ"الْفِقْهَ
الْأَكْبَرَ"وَحَاجَةُ الْعِبَادِ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ حَاجَةٍ،
وَضَرُورَتُهُمْ إِلَيْهِ فَوْقَ كُلِّ ضَرُورَةٍ؛ لِأَنَّهُ لَا حَيَاةَ
لِلْقُلُوبِ، وَلَا نَعِيمَ وَلَا طُمَأْنِينَةَ، إِلَّا بِأَنْ تَعْرِفَ
رَبَّهَا وَمَعْبُودَهَا وَفَاطِرَهَا، بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ
وَأَفْعَالِهِ، وَيَكُون مَعَ ذَلِكَ كُلِّهِ أَحَبَّ إِلَيْهَا مِمَّا
سِوَاهُ، وَيَكُون سَعْيُهَا فِيمَا يُقَرِّبُهَا إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ
مِنْ سَائِرِ خَلْقِهِ. وَمِنَ الْمُحَالِ أَنْ تَسْتَقِلَّ الْعُقُولُ
بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ وَإِدْرَاكِهِ عَلَى التَّفْصِيلِ، فَاقْتَضَتْ
رَحْمَةُ الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ أَنْ بَعَثَ الرُّسُلَ بِهِ مُعَرِّفِينَ،
وَإِلَيْهِ دَاعِينَ، وَلِمَنْ أَجَابَهُمْ مُبَشِّرِينَ، وَلِمَنْ
خَالَفَهُمْ مُنْذِرِينَ، وَجَعَلَ مِفْتَاحَ دَعْوَتِهِمْ، وَزُبْدَةَ
رِسَالَتِهِمْ، مَعْرِفَةَ الْمَعْبُودِ سُبْحَانَهُ بِأَسْمَائِهِ
وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ، إِذْ عَلَى هَذِهِ الْمَعْرِفَةِ تُبْنَى
مَطَالِبُ الرِّسَالَةِ كُلِّهَا مِنْ أَوَّلِهَا إِلَى آخِرِهَا ثُمَّ
يَتْبَعُ ذَلِكَ أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا: تَعْرِيفُ الطَّرِيقِ
الْمُوَصِّلِ إِلَيْهِ، وَهِيَ شَرِيعَتُهُ الْمُتَضَمِّنَةُ لِأَمْرِهِ
وَنَهْيِهِ وَالثَّانِي: تَعْرِيفُ السَّالِكِينَ مَا لَهُمْ بَعْدَ
الْوُصُولِ إِلَيْهِ مِنَ النَّعِيمِ الْمُقِيمِ
Amma ba’du: Sesungguhnya ilmu ushûludin merupakan ilmu yang paling
mulia, karena kemuliaan ilmu dengan sebab kemuliaan yang diilmui. Ilmu
akidah adalah fiqih akbar (terbesar) dibandingkan dengan fiqih furu’.
Oleh karena itu Imam Abu Hanifah menamakan ushûludin (pokkok-pokok
agama) yang telah beliau katakan dan kumpulkan pada lembaran-lembaran
kertas dengan nama fiqih akbar. Keperluan hamba terhadap ilmu akidah
mengungguli seluruh keperluan dan kebutuhan yang paling pokok. Karena
sesungguhnya hati tidak akan bisa hidup, merasakan kenikmatan dan
ketentraman, kecuali jika hati itu mengenal Rabbnya, sesembahannya, dan
Penciptanya, mengenal dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
perbuatan-perbuatanNya. Bersamaan dengan itu semua, Allâh Azza wa Jalla
menjadi yang paling dia cintai, dan berusaha untuk mendekatkan diri
kepada-Nya bukan kepada yang lain-Nya.
Akal sendiri mustahil bisa mengetahui dan memahami semua hal-hal di atas
secara rinci. Oleh karena itu, dengan kasih sayang-Nya, Allâh mengutus
rasul untuk mengenalkan-Nya, mengajak manusia menuju Allâh, memberikan
kabar gembira kepada orang-orang yang menyambut (dakwah) mereka, dan
memberikan peringatan kepada orang-orang yang menyelisihi mereka. Allâh
Azza wa Jalla menetapkan bahwa yang menjadi pembuka dakwah dan inti
risalah mereka adalah ma’rifah (mengenal) Allâh Azza wa Jalla , mengenal
nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Karena
semua permasalahan risalah dari awal sampai akhir dibangun di atas
ma’rifah ini. Kemudian setelah itu diikuti dengan dua prinsip yang
besar:
Pertama: Pengenalan tentang jalan yang akan bisa menghantarkan
kepada-Nya, yaitu syari’at-Nya yang memuat perintah dan larangan Allâh
Azza wa Jalla .
Kedua: Pemberitahuan tentang kenikmatan abadi yang akan didapatkan oleh
orang-orang yang menempuh jalan tersebut. [Syarah ath-Thahâwiyah,
penerbit: Al-Auqaaf as-Su’udiyyah, hlm. 17]
Karena mayoritas masalah-masalah akidah termasuk ushûl (pokok-pokok),
dan karena mayoritas masalah-masalah amaliyyah termasuk furu’
(cabang-cabang), maka akidah disebut ushûludin, sedang hukum-hukum
amaliyah disebut furu’. Oleh karena itu sebagian Ulama menamakan
karya-karya tulis mereka dalam masalah akidah dengan ushûludin, seperti:
Al-Ibânah ‘an Ushûlid Diyânah, karya Abul Hasan al-Asy’ari; Masâil min
Ushûlid Diyânât karya Abu Ya’la; Sullamul Wushûl ila Ilmil Ushûl, karya
al-Hakami, dan lainnya.
Walaupun sebagian Ulama mengkritisi pengunaan istilah ushûludin hanya
untuk masalah akidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata.
بَلْ الْحَقُّ أَنَّ الْجَلِيلَ مَنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ الصِّنْفَيْنِ " مَسَائِلُ أُصُولٍ " وَالدَّقِيقَ " مَسَائِلُ فُرُوعٍ ".
Namun, yang benar adalah perkara besar dari keduanya adalah
masalah-masalah ushûl, sedangkan perkara yang daqîq (samar/kecil) adalah
perkara-perkara furu’”. [Lihat: Majmû’ Fatâwâ, 6/56; juga lihat 3/364,
367 dan 19/134]
FIQIH AKBAR
Sebagian Ulama juga menamakan ilmu akidah dengan fiqih akbar (fikih
terbesar), karena akidah adalah pokok agama, sedang furu'nya yaitu fiqih
amalan dinamakan fiqih ash-ghar. Imam Abu Hanîfah telah menyusun
masalah akidah dan dia menamakannya dengan al-fiqhul akbar.
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Mereka adalah para Shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari
kiamat. Mereka adalah orang-orang yang berpegang dengan aqîdah shahîhah
(akidah yang benar) yang terbebas dari noda bid’ah dan khurafat. Yaitu
akidah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh para
Shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mereka dinamakan Ahlus Sunnah karena amalan mereka mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelas al-Qur’ân. Mereka
mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Berpeganglah kepada Sunnahku dan Sunnah para khalîfah yang mendapatkan
petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru
(dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. [HR.
Ahmad, 4/126, 127; Abu Dâwud no: 4607; Tirmidzi, no. 2676; Ibnu Mâjah,
no. 4244; dan lainnya dari al-‘Irbâdh bin Sâriyah]
Mereka tahu bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
petunjuk terbaik, sehingga mereka lebih mengedepankannya daripada
petunjuk manusia yang lain.
Mereka dinamakan al-Jamâ’ah karena mereka bersatu mengikuti sunnah Nabi
dan ijma’ Salaf umat ini. Mereka bersatu di atas kebenaran dan di atas
akidah Islam yang bebas dari noda-noda.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan dengan al-firqah
an-nâjiyah (golongan yang selamat) yang mengikuti sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jalan para Sahabat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menamakan mereka dengan
al-Jamâ’ah. Dalam hadits shahih dari Mu’âwiyah bin Abi Sufyân, dia
berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ افْتَرَقُوا فِي دِينِهِمْ عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً - يَعْنِي: الْأَهْوَاءَ -، كُلُّهَا فِي
النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي
أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى
الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ، لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا
دَخَلَهُ "
Sesungguhnya telah berpecah-belah di dalam agama mereka menjadi 72
agama. Dan sesungguhnya umat (Islam) ini akan berpecah-belah menjadi 73
agama –yakni hawa nafsu- semuanya di dalam neraka kecuali satu, yaitu
al-Jama’ah. Dan sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku kaum-kaum
yang hawa nafsu-hawa nafsu itu akan menjalar pada mereka sebagaimana
penyakit rabies menjalar pada penderitanya, tidak tersisa satu urat dan
satu sendi kecuali penyakit itu memasukinya. [HR. Ahmad, 4/102; Abu
Dawud, 4597; Ibnu Abi Ashim di dalam as-Sunnah, 1,2,65, dengan sanad
yang hasan]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Oleh karena itu
golongan yang selamat disifati dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah. Adapun
golongan-golongan yang lainnya adalah orang-orang yang nyeleneh,
berpecah-belah, berbuat bid’ah, dan mengikuti hawa nafsu. Semboyan
golongan-golongan itu adalah menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah, dan
al-Ijma’. Barangsiapa berkata berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah, dan
al-Ijma’ dia termasuk Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah”. [Majmû’ Fatâwâ,
3/345-346]
Penamaan dengan Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah adalah penamaan yang tepat,
membedakan pemilik aqidah shahihah dan para pengikut Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari golongan-golongan sesat yang tidak
berjalan di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara golongan-golongan itu ada yang mengambil akidahnya dari akal
manusia dan ilmu kalam (filsafat) yang mereka warisi dari para filosof
Yunani, lalu mereka lebih mengutamakannya daripada firman Allâh Azza wa
Jalla dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
diantara mereka ada yang menolak nash-nash syari’at yang telah pasti,
atau mereka mentakwilkannya (menyimpangkan artinya) karena semata-mata
akal mereka yang dangkal tidak menerima kandungan nash-nash tersebut.
Di antara golongan-golongan tersebut adalah: para filosof, Qadariyah,
Maturudiyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Asy’aryah, yang mereka bertaqlid
kepada Jahmiyah pada sebagian pemikiran mereka.
Di antara golongan-golongan yang sesat ada yang mengambil akidahnya dari
pendapat-pendapat guru-guru dan imam-imam mereka, yang berdasarkan hawa
nafsu. Seperti: Shûfiyah, Râfidhah, dan lainnya. Mereka mendahulukan
perkataan guru-guru dan imam-imam daripada firman Allâh dan sabda
Rasûl-Nya.
Sebagaimana sebagian golongan-golongan yang sesat itu ada yang
menisbatkan diri kepada pendirinya dan pembangun prinsip-prinsip
akidahnya. Seperti Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shafwan, dan seperti
Asy’ariyah nisbat kepada Abul Hasan al-Asy’ari. Walaupun al-Asy’ari
sudah meninggalkan akidahnya menuju akidah Ahlus Sunnah wal-Jamâ’ah,
namun para pengikutnya terus mengikuti akidahnya yang menyimpang yang
telah ditinggalkannya. Juga seperti al-Abadhiyh nisbat kepada Abdullah
bin Abadh, dan lainnya.
Di antara golongan-golongan yang sesat itu ada yang menisbatkan diri
kepada sebagian pemikiran-pemikirannya yang sesat, atau kepada sebagian
perbuatan-perbuatannya yang buruk. Seperti Râfidhah nisbat kepada rafadh
(penolakan) imâmah (kepemimpinan) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan Umar
Radhiyallahu anhu, dan berlepas diri dari keduanya. Qadariyah nisbat
kepada penolakan adanya takdir. Khawârij nisbat kepada khurûj
(memberontak) kepada pemerintah, dan selain mereka.
Allâh Azza wa Jalla menyelamatkan Ahlussunnah dari menisbatkan diri dan
mengikuti selain sunnah Nabi yang ma'shûm (bersih) dari kesalahan.
Mereka tidak memiliki nama yang mereka nisbatkan kepada selain sunnah.
Seorang laki-laki bertanya kepada imam Mâlik rahimahullah, “Siapakah
Ahlus Sunnah wahai Abu Abdullah?” Dia menawab, “Orang-orang yang tidak
memiliki gelar yang menjadi identitasnya, bukan Jahmiyah, bukan
Râfidhah, dan bukan Qadariyah”. [Riwayat Ibnu Abdil Barr dalam
al-Intiqa, hlm. 35]
Sebagian Ulama menyebut Ahlus Sunnah dengan ash-hâbul hadits atau ahlul
hadits. Karena mereka memberikan perhatian kepada hadits-hadits Nabi,
baik secara riwayah (periwayatan) maupun dirâyah (ilmu untuk mengetahui
syarat-syarat riwayat, keadaan perawi-perawi dan syarat-syarat mereka,
jenis-jenis periwayatan, dan yang berkaitan dengannnya), dan mereka
mengikuti kandungan hadits, baik berupa akidah maupun hukum. Hadits dan
sunnah adalah dua lafzah yang maknanya berdekatan.
Ahlussunnah juga disebut firqah manshûrah (golongan yang ditolong)
sampai hari kiamat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut mereka
dengan sabdanya:
وَلَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ مَنْصُورَةٌ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ
Sekelompok dari umatku akan selalu di atas kebenaran, ditolong, sampai
datang perintah Allâh. [HR. Ibnu Hibban, no. 6714; Al-Baihaqi di dalam
Sunan al-Kubra, no. 18617. Dishahihkan syaikh Al-Albani dan Syu’aib
al-Arnauth]
Dan mereka adalah firqah an-nâjiyah sebagaimana disebutkan dalam hadits Mu’awiyah yang telah berlalu.
Demikian uraian singkat tentang akidah, makna dan urgensinya,semoga bermanfaat bagi kita semua.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl
al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 1-4, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin Nasyr
wa Tauzi’
0 komentar:
Post a Comment