Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Diizinkan berdalih dengan qadar pada saat musibah menimpa manusia,
seperti kefakiran, sakit, kematian kerabat, matinya tanaman, kerugian
harta, pembunuhan yang tidak disengaja, dan sejenisnya, karena hal ini
merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb. Maka berdalih
dengan takdir hanyalah terhadap musibah, bukan pada perbuatan aib.
“Orang yang berbahagia, ia akan beristighfar dari perbuatan aib dan bersabar terhadap musibah, sebagaimana firman-Nya:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
‘Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu… .’ [Al-Mu'-min/40 : 55]
Sedangkan orang yang celaka, ia akan bersedih ketika menghadapi musibah,
dan berdalih dengan qadar atas perbuatan aib (yang dilakukannya).” [1]
Contoh berikut ini akan menjelaskan hal itu: Seandainya seseorang
membunuh orang lain tanpa disengaja, kemudian orang lain mencelanya dan
ia berargumen dengan takdir, maka argumennya tersebut diterima, tetapi
hal itu tidak menghalanginya untuk diberi sanksi.
Tetapi, seandainya seseorang membunuh yang lainnya dengan sengaja,
kemudian pembunuh dikecam dan dicela atas perbuatannya itu, lalu ia
berdalih dengan qadar, maka alasannya itu tidak bisa diterima. Karena
itu, Nabi Adam Alaihissalam dapat membantah Nabi Musa Alaihissalam,
sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam mengenai
perdebatan keduanya:
اِحْتَجَّ آدَمُ وَمُوْسَى، فَقَالَ لَهُ مُوْسَى: أَنْتَ آدَمُ الَّذِيْ
أَخْرَجَتْكَ خَطِيْئَتُكَ مِنَ الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ لَهُ آدَمُ : أَنْتَ
مُوْسَى الَّذِي اصْطَفَاكَ اللهُ بِرِسَالَتِهِ وَبِكَلاَمِهِ، ثُمَّ
تَلُوْمُنِيْ عَلىَ أَمْرٍ قَدْ قُدِّرَ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ؟
فَحَجَّ آدَمُ مُوْسَى.
“Nabi Adam dan Nabi Musa Alaihissalam berbantah-bantahan. Nabi Musa
berkata kepadanya, ‘Engkau Adam yang kesalahanmu telah mengeluarkanmu
dari Surga?’ Nabi Adam menjawab kepadanya, ‘Engkau Musa yang dipilih
oleh Allah dengan risalah-Nya dan berbicara secara langsung dengan-Nya,
kemudian engkau mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan
atasku sebelum aku diciptakan?’ Maka, Nabi Adam dapat mem-bantah Nabi
Musa.” [2]
Nabi Adam Alaihissalam tidak berdalih dengan qadar atas dosa yang
dilakukannya, sebagaimana diduga oleh sebagian kalangan, dan Nabi Musa
Alaihissalam pun tidak mencela Nabi Adam atas dosanya, karena dia
mengetahui bahwa Nabi Adam telah memohon ampun kepada Rabb-nya dan
bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya, menerima taubatnya, dan memberi
petunjuk kepadanya. Dan orang yang ber-taubat dari dosa adalah seperti
orang yang tidak memiliki dosa.
Seandainya Nabi Musa Alaihissalam mencela Nabi Adam Alaihissalam atas
perbuatan dosa yang dilakukannya, niscaya Nabi Adam menjawabnya,
“Sesungguhnya aku pernah melakukan dosa lalu aku bertaubat, lantas Allah
menerima taubatku.” Dan niscaya Nabi Adam pun berkata kepadanya,
“Engkau, wahai Musa, juga pernah membunuh seorang manusia, melemparkan
lembaran-lembaran wahyu, dan dosa lain selain itu.” Tetapi Nabi Musa
hanyalah menghujat dengan musibah, lalu Nabi Adam membantahnya dengan
takdir. [3]
“Apa saja musibah yang telah ditakdirkan, maka wajib pasrah kepadanya,
karena hal itu merupakan kesempurnaan ridha kepada Allah sebagai Rabb.
Adapun perbuatan dosa, maka tidak boleh seorang pun melakukan perbuatan
dosa. Seandainya pun ia melakukan suatu dosa, maka ia harus beristighfar
dan bertaubat. Jadi, ia (harus) bertaubat dari perbuatan aib dan
bersabar terhadap musibah.” [4]
Di antara orang yang diperbolehkan berdalih dengan qadar ialah orang
yang telah bertaubat dari dosa. Seandainya ada seseorang yang mencela
perbuatan dosa yang dia telah taubat darinya, maka dia boleh berdalih
dengan qadar.
Seandainya ditanyakan kepada seseorang yang telah bertaubat, “Mengapa
engkau pernah melakukan demikian dan demikian?” Kemudian dia menjawab,
“Ini karena qadha' Allah dan qadar-Nya, sedangkan aku sendiri telah
bertaubat serta beristighfar.” Niscaya alasan darinya dapat diterima.
[5]
Kemudian, seseorang tidak boleh mencela orang yang telah bertaubat dari
dosanya, sebab yang menjadi pertimbangan ialah kesempurnaan yang
terakhir, bukan kekurangan pada permulaannya.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/454). Lihat juga, Iqtidhaa' ash-Shiraathal Mustaqiim (II/857-858).
[2]. HR. Muslim, kitab al-Qadr, (VIII/50, no. 2652).
[3]. Lihat, Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/178), Minhaajus Sunnah,
(III/78-81), al-Ihtijaaj bil Qadar, Ibnu Taimiyyah, hal. 18-22,
al-Furqaan, Syaikhul Islam, hal. 103-105, al-Aadaabusy Syar’iyyah, Ibnu
Muflih, (I/258-260), dan al-Bidaayah wan Nihaayah, Ibnu Katsir,
(I/83-87).
[4]. Syarh ath-Thahaawiyyah, hal. 147, dan lihat, al-Fataawaa al-Kubraa,
Ibnu Taimiyyah, (V/163), at-Tadmuriyyah, hal. 231, serta lihat,
al-Masaa-ilul latii Lakhkhashahaa Syaikhul Islaam Muhammad bin ‘Abdil
Wahhab min Fataawaa Ibni Taimiyyah, hal. 34.
[5]. Lihat, Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 35, dan lihat, al-Qadhaa' wal Qadar,
As’ad Mu-hammad ash-Shaghirji, hal. 24, dan Taqriib at-Tadmuriyyah, Ibnu
‘Utsaimin, hal. 115.
0 komentar:
Post a Comment