Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ
وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِـيْ كُـلٍّ
خَـيْـرٌ ، اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ
وَلَا تَـعْجَـزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ
فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا
شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada
keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang
bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala
urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila
engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku
berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah,
Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia
kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan
syaitan.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366,
370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah
(no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260,
262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).
Dishahihkan oleh Syaikh al-Bani rahimahullah dalam Hidâyatur Ruwât ila Takhrîji Ahâdîtsil Mashâbîh wal Misykât (no. 5228).
SYARAH HADITS
A. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan
Hadits ini mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki
arti luas. Di antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi
Allâh Azza wa Jalla . Sifat ini terkait dengan orang-orang yang
dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa
mahabbah Allâh tergantung keinginan dan kehendak-Nya. Kecintaan Allâh
kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada Mukmin
yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada Mukmin yang lemah.
Hadits ini juga mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan ,
dan perbuatan sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman
itu terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah
kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah yaitu menyingkirkan
suatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu itu merupakan cabang dari
iman.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْإِيـْمَـانُ بِـضْـعٌ وَسَبْـعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَـاهَا إِمَاطَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَـةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ
Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah perkataan LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu
adalah salah satu cabang iman.[1]
Cabang-cabang yang kembalinya kepada amalan-amalan bathin dan zhahir
ini, semuanya termasuk bagian dari iman. Barangsiapa yang mengerjakannya
dengan benar, memperbaiki dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal
shalih, juga memperbaiki orang lain dengan saling menasehati dalam
kebenaran dan kesabaran, maka dia adalah Mukmin yang kuat. Dalam diri
orang seperti ini terdapat tingkatan iman yang paling tinggi. Siapa yang
belum sampai pada tingkatan ini, maka dia adalah Mukmin yang lemah.
Hadits ini sebagai dalil para Ulama salaf bahwa iman itu bisa bertambah
dan berkurang, sesuai dengan kadar ilmu dan amalan-amalannya.
Setelah menjelaskan bahwa Mukmin yang kuat lebih baik daripada Mukmin
yang lemah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir Mukmin
yang lemah imannya merasa tercela, karena itulah beliau melanjutkan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ
Dan pada keduanya ada kebaikan
Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , "Pada
keduanya ada kebaikan." ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih
mengutamakan seseorang atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia
menyebutkan sisi pengutamaannya serta berusaha menyebutkan keutamaan
yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-mafdhûl (yang
diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kaum Mukmin itu berbeda-beda dalam
kebaikan, kecintaannya kepada Allâh dan berbeda-beda derajatnya. Seperti
dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا
Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan [al-Ahqâf/46:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ
فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ
بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri
sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.
[Fâthir/35:32]
Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla membagi orang Mukmin menjadi tiga bagian :
Pertama, as-Sâbiqûna bil khairât (Golongan yang senantiasa bergegas
melakukan kebaikan). Mereka ini melakukan yang wajib dan yang sunnah,
meninggalkan yang haram dan makruh, menyempurnakan amalan-amalan yang
dianjurkan. Mereka disebut memiliki sifat yang sempurna.
Kedua, al-Muqtashidûn (Golongan pertengahan). Yaitu mereka yang merasa
cukup dengan mengerjakan yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara
yang haram.
Ketiga, az-Zhâlimûna li anfusihim (Golongan yang menzhalimi diri
sendiri). Yaitu mereka yang mencampur-adukkan perbuatan yang baik dengan
perbuatan lain yang keji.
B. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ
Bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu)
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengandung arti luas
dan penuh manfaat, mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perkara-perkara yang bermanfaat itu ada dua macam yaitu perkara yang
bermanfaat dalam agama dan perkara bermanfaat dalam hal keduniaan.
Seorang hamba membutuhkan kebutuhan dunyawiyyah (keduniaan) sebagaimana
dia membutuhkan kebutuhan diniyyah (keagamaan). Kebahagiaan seorang
hamba dan kesuksesannya sangat ditentukan oleh semangat dan
kesungguhannya dalam melakukan segala yang bermanfaat dalam urusan agama
dan dunianya, serta keriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh
Azza wa Jalla . Ketika semua unsur ini sudah terpenuhi, maka itu adalah
kesempurnaan baginya dan sebagai tanda kesuksesannya. Namun, ketika dia
meninggalkan salah satu dari tiga perkara ini (bersemangat,
bersungguh-sungguh, dan meminta pertolongan Allâh), maka dia akan
kehilangan kebaikan seukuran dengan perkara yang ditinggalkannya.
Orang yang tidak bersemangat dalam meraih dan melakukan hal-hal yang
bermanfaat, bahkan bermalas-malasan, maka dia tidak akan mendapatkan
apa-apa. Karena malas itu sumber kegagalan. Orang yang malas tidak akan
mendapatkan kebaikan dan kemuliaan. Orang yang malas tidak akan bernasib
baik dalam agama dan dunianya.
Dan ketika dia semangat, tetapi bukan pada hal-hal yang bermanfaat,
seperti bersemangat pada sesuatu yang membahayakan dan menghilangkan
kebaikan, maka ujung dari kesemangatannya itu adalah kegagalan,
kehilangan kebaikan, mendapatkan keburukan dan kerugian. Berapa banyak
orang yang bersemangat untuk meraih dan menempuh cara-cara dan hal-hal
yang tidak bermanfaat, akhirnya ia tidak mendapat faedah apapun dari
kesemangatannya itu selain hanya rasa lelah, payah dan susah.
Jika ada orang menempuh jalan-jalan yang bermanfaat, bersemangat dan
bersungguh-sungguh padanya, namun tidak disertai dengan keseriusannya
dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka hasil yang
akan dipetiknya tidak maksimal. Jadi benar-benar bersandar kepada Allâh
Azza wa Jalla dan memohon pertolongan kepada-Nya bertujuan agar bisa
mendapatkan perkara yang bermanfaat itu secara maksimal. Orang seperti
ini tidak hanya bertumpu pada dirinya, kedudukannya dan kekuatannya,
tetapi ia bertumpu sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Apabila seorang hamba bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla ,
menyerahkan urusan hanya kepada Allâh, dan minta tolong hanya kepada
Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan memudahkan urusannya, memudahkan
segala kesulitannya, menghilangkan kesedihannya, memberikan hasil akhir
yang baik dalam urusan agama dan dunianya.
Jika demikian keadaannya, berarti seseorang sangat dituntut untuk
mengetahui hal-hal bermanfaat yang harus dilakukan dengan penuh semangat
dan serius. Apa saja hal-hal yang bermanfaat itu ? Hal-hal yang
bermanfaat dalam agama kembali kepada dua perkara, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan amal shalih.
B. 1. Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dapat mensucikan hati dan jiwa;
Ilmu yang bisa menghasilkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang datang dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berupa aqîdah, tauhîd, hadîts, tafsîr, fiqh, dan ilmu-ilmu yang
menunjang untuk mempelajari hal tersebut seperti ilmu bahasa arab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan
bahwa ilmu adalah ilmu yang berdasarkan dalil dan ilmu yang bermanfaat
adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran,
ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.[2]
Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullah mengatakan bahwa ilmu
yang bermanfaat membimbing seseorang kepada dua hal. Pertama, mengenal
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa
nama-nama yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, dan
perbuatan-perbuatan yang maha agung. Ini menuntut adanya pengagungan,
rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla serta
ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu
wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai
Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya,
berupa keyakinan, perbuatan, baik yang lahir dan bathin serta ucapan.
Ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bergegas melakukan
segala yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi
segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu-ilmu itu sudah
melahirkan hal-hal ini pada diri pemiliknya, maka itulah ilmu yang
bermanfaat. Ketika ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati, maka
sungguh, hati akan khusyu (tunduk), takut, tunduk, mencintai dan
mengagungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jiwa merasa cukup dan puas
dengan sesuatu yang halal meskipun sedikit dan merasa kenyang dengannya
sehingga menjadikannya qanaah dan zuhud terhadap dunia...[3]
Di antara contoh bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang
bermanfaat, yaitu seorang penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh dalam
menghafal ringkasan-ringkasan ilmu yang sedang dia tekuni. Jika dia ada
udzur atau mengalami kesulitan dalam menghafalnya dengan dilafazhkan,
hendaknya dia mengulanginya terus menerus, sambil merenungi maknanya,
sampai maknanya itu benar-benar menempel dengan kuat dalam hatinya.
Kemudian materi pelajaran yang lain seperti tafsîr, hadîts, dan fiqh,
seperti itu juga. Karena sesungguhnya manusia jika telah menghafal yang
pokok-pokok, dan dia telah mengetahuinya dengan sempurna, maka akan
menjadi mudah baginya dalam menghafal dan mempelajari kitab-kitab
tentang disiplin ilmu seluruhnya, baik yang kecil maupun yang besar. Dan
barangsiapa yang tidak mengetahui atau tidak menguasai yang ushûl
(hal-hal yang pokok) maka dia akan bisa mendapatkan semuanya.
Barangsiapa yang bersemangat dalam hal yang telah disebutkan tadi,
kemudian dia meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka
Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, memberkahi ilmunya dan
memberkahi jalan yang dia tempuh.
Dan barangsiapa menuntut ilmu tidak dengan jalan yang bermanfaat, maka
dia akan kehilangan waktu-waktunya dan dia tidak mendapatkan apa-apa
kecuali kepayahan. Jika Allâh Azza wa Jalla mempertemukannya dengan
seorang pengajar yang memperbaiki jalannya dan pemahamannya, maka
sempurnalah jalannya untuk mencapai ilmu.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Ilmu memiliki enam tingkatan:
Pertama, bertanya dengan baik;
Kedua, diam dan mendengarkan dengan baik;
Ketiga, memahami dengan baik;
Keempat, menghafalkannya;
Kelima, mengajarkannya; dan
Keenam, yang merupakan buahnya yaitu mengamalkannya dan memperhatikan batasan-batasannya.[4]
B. 2. Amal Shalih
Perkara yang kedua, yaitu amal shalih. Amal Shalih yaitu amalan yang
memenuhi dua unsur yaitu ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan ittibâ
(mengikuti) contoh Rasul-Nya n . Inilah amalan yang bisa mendekatkan
diri kepada Allâh. Juga keyakinan tentang penetapan sifat-sifat sempurna
bagi Allâh, penetapan hak-hak-Nya dengan ibadah kepada-Nya,
mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, membenarkan atau
mengimani berita-berita yang datang dari Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya, baik tentang kejadian-kejadian yang telah berlalu ataupun
yang akan datang, seperti tentang Rasul-rasul, Kitab-kitab,
Malaikat-malaikat, keadaan-keadaan akhirat, surga, neraka, pahala,
hukuman, dan lain-lain.
Kemudian seorang hamba berusaha melaksanakan yang diwajibkan Allâh,
seperti hak-hak Allâh dan hak-hak makhluk-Nya. Dan dia menyempurnakannya
dengan amalan-amalan yang sunnah, khususnya yang sunnah muakkadah (yang
ditekankan), serta memohon pertolongan kepada Allâh dalam melakukan
amalan tersebut. Juga dia mengerjakannya dengan ikhlas, tanpa dicampuri
syirik, riya, dan tidak juga dengan tujuan-tujuan untuk kepentingan
pribadi.
Begitu juga seorang hamba mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla
dengan meninggalkan perkara-perkara yang haram, khususnya perkara haram
yang disenangi jiwa, kemudian dia mendekatkan diri kepada Rabb-nya dan
meninggalkan perkara tersebut karena Allâh, sebagaimana dia mendekatkan
diri kepada-Nya dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan.
Ketika seorang hamba diberi taufik untuk menempuh jalan ini dalam
beramal dan meminta pertolongan Allâh, maka dia telah beruntung dan
sukses. Dan dia akan bisa meraih kesempurnaan sesuai dengan kadar
perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla yang dikerjakannya dan
larangan-larangan Allâh Azza wa Jalla yang ditinggalkannya.
Itulah dua hal yang bermanfaat dalam masalah agama, sedangkan
perkara-perkara yang bermanfaat di dunia, yaitu seorang hamba wajib
mencari rizki yang halal. Hendaknya dia menempuh jalan-jalan yang paling
bermanfaat sesuai dengan keadaannya. Dia mencari rizki dengan tujuan
untuk menunaikan kewajibannya dan kewajiban orang-orang yang menjadi
tanggungannya. Dia merasa cukup dengan apa yang Allâh Subhanahu wa
Ta’ala berikan dan tidak menggantungkan harapan kepada manusia.
Dalam berusaha dan mencari rizki Allâh Azza wa Jalla , dia juga berniat
untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan bekal beribadah kepada
Allâh, seperti untuk menunaikan ibadah haji, mengeluarkan zakat,
sedekah, infak, dan untuk menolong orang-orang yang susah. Dan dia
melakukannya dari hasil yang baik dan halal, bukan dari hasil-hasil yang
buruk dan diharamkan.
Ketika seorang hamba dalam usaha dan mencari rizkinya dengan tujuan
seperti yang telah disebutkan di atas, dan dia menempuh jalan yang
paling bermanfaat, maka usaha dan semua gerakannya menjadi amal shalih
yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla .
Di antara yang dapat menyempurnakan itu adalah hendaknya seorang hamba
tidak hanya bergantung pada dirinya, kekuatannya, kecerdasannya,
pengetahuannya, kecakapannya dalam mengetahui cara-cara dan tata usaha.
Tetapi hendaknya dia meminta pertolongan kepada Rabb-nya dengan
bergantung kepada-Nya, berharap kepada-Nya agar Allâh Azza wa Jalla
memudahkan baginya perkara yang paling mudah dan paling berhasil, juga
paling cepat membuatkan hasil. Dan meminta kepada Rabb-nya agar
memberkahi rizkinya.
Berkah rizki yang pertama adalah hendaknya mencari rizki itu atas dasar
takwa dan niat yang ikhlas. Dan yang termasuk berkahnya rizki yaitu
seorang hamba diberi taufik (kesuksesan) dalam membelanjakan dan
menginfakkan rizkinya sesuai dengan tempat-tempat yang wajib dan sunnah.
Termasuk dari berkahnya rizki juga seorang hamba tidak lupa akan
kebaikan dalam bermuamalah, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu [al-Baqarah/2:237]
Yaitu dengan membantu orang yang tidak mampu, memberi kesempatan kepada
orang yang sedang dalam kesulitan ekonomi untuk menunda pelunasan hutang
jika dia memiliki berhutang, berkasih sayang sesama kaum Mukminin,
mudah dalam transaksi jual beli dan berbagai kebaikan lainnya. Dengan
ini, seorang hamba akan mendapatkan kebaikan yang banyak.
C. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَلَا تَـعْجَـزْ
Janganlah sekali-kali engkau merasa lemah
Maksudnya lakukanlah segala yang bermanfaat itu dengan kontinyu !
Janganlah lemah dan lambat dalam melakukan amalan itu. Karena
sesungguhnya waktu ini singkat sementara kesibukan-kesibukan sangat
banyak. Jika seseorang terbiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat pada
awal waktu dan meminta pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka
sesuatu yang bermanfaat itu akan lebih bermanfaat baginya.
Janganlah malas dan berlambat-lambat dalam beramal. Jika engkau telah
memulai melaksanakan sesuatu yang bermanfaat, maka lanjutkanlah. Karena
jika engkau tinggalkan amalan ini dan engkau melaksanakan amalan yang
lain, maka pekerjaan itu tidak akan sempurna.
D. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ
كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ،
فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, 'Seandainya
aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu !' Tetapi
katakanlah, 'Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja
yang Dia kehendaki', Karena ucapan "Seandainya" akan membuka (pintu)
perbuatan syaitan.
Kemudian setelah seseorang mencurahkan kesungguhan dan kemampuannya
dalam meraih segala yang bermanfaat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengarahkan agar ridha dengan ketentuan dan takdir Allâh Azza wa
Jalla .
Jika seorang hamba ditimpa sesuatu yang tidak ia sukai atau musibah yang
pahit, maka hendaklah ia sabar dan ridha. Janganlah ia mengatakan,
"Kalau seandainya saya berbuat begini tidak akan terjadi begini."
Hendaklah dia tenang dan sabar dengan ketetapan Allâh dan takdir-Nya,
agar imannya bertambah, hatinya tenang dan jiwanya lapang. Karena
sesungguhnya kata "seandainya" dalam keadaan seperti ini akan membuka
peluang bagi setan dengan sebab berkurangnya keimanannya kepada takdir
Allâh Azza wa Jalla , keberatan dengannya, membuka pintu kesedihan dan
kesusahan yang dapat melemahkan hatinya.
Ketika kaum Muslimin tertimpa musibah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan agar mengucapkan :
قَدَّرَ الله ُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
Allâh sudah takdirkan, dan Allâh berbuat menurut apa yang Dia kehendaki,
Ini termasuk metode efektif dan ampuh untuk meraih ketenangan jiwa,
untuk menghasilkan qana'ah (merasa puas) dan kehidupan yang baik. Dan
kehidupan yang baik ini yaitu semangat dalam perkara-perkara yang
bermanfaat, bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, meminta pertolongan
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa
Ta’ala atas apa yang telah dimudahkan untuknya, ia sabar dan ridha
dengan apa yang terluput darinya dan dengan apa yang belum bisa ia
peroleh.
Ketahuilah, bahwa penggunaan kata "Kalau seandainya" itu berbeda-beda
sesuai dengan tujuannya. Jika digunakan untuk sesuatu yang telah lewat
dan tidak mungkin kembali, maka ini membuka pintu setan bagi seorang
hamba seperti yang telah dijelaskan.
Begitu juga jika digunakan untuk berangan-angan dalam kejelekan dan
maksiat, maka ini tercela, dan pelakunya berdosa walaupun dia belum
melakukannya. Karena sesungguhnya dia berangan-angan untuk melakukannya.
Adapun jika digunakan untuk berangan-angan dalam kebaikan atau
mendapatkan ilmu yang bermanfaat, maka ini terpuji. Karena sesuatu yang
menjadi sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Jika tujuannya
baik, maka angan-angan itu terpuji, begitu sebaliknya.
Dan pokok yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
-(yaitu perintah untuk semangat dalam hal-hal yang bermanfaat dan
menjauhi perkara-perkara yang membahayakan disertai dengan keseriusan
memohon pertolongan kepada Allâh)- pengamalannya meliputi
perkara-perkara khusus yang berkaitan dengan individu seorang hamba,
juga perkara-perkara umum yang berkaitan dengan ummat pada umumnya.
Oleh karena itu, hendaklah kaum Muslimin bersemangat dalam
perkara-perkara yang bermanfaat ! Hendaklah mereka berusaha melaksanakan
semua yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat ! Hendaklah
mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh dengan segenap
kemampuan yang sesuai dengan kekuatan lahir dan bathin ! Hendaklah
mereka mencurahkan kesabaran mereka dalam perkara yang telah ditakdirkan
Allâh untuk mereka, disertai dengan permohonan tolong kepada Allâh Azza
wa Jalla untuk mewujudkannya dan menyempurnakannya, juga melawan semua
yang bertentangan dengan itu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabung dalam hadits ini
antara iman kepada qadha dan qadar dengan amalan yang bermanfaat. Dua
pokok ini telah ditunjukkan oleh al-Qur'ân dan Sunnah dalam banyak
tempat, dan agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan keduanya.
Bahkan tidak sempurna perkara-perkara yang diniatkan kecuali dengan
keduanya, karena sabda Nabi n , yang artinya, "Berkemauan keraslah dan
bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu !" adalah
perintah untuk bersungguh-sungguh dan bersemangat, berniat ikhlas dan
berkemauan tinggi; Sementara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
yang artinya, "Dan mintalah pertolongan Allâh (dalam segala urusanmu) !"
adalah iman kepada qadha dan qadar, juga perintah untuk bertawakkal
kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena Allâh Azza wa Jalla adalah tempat
sandaran yang sempurna dengan segala keadaan dan kekuatan-Nya dalam
usaha meraih kebaikan-kebaikan dan menolak segala keburukan, disertai
dengan keyakinan dan kepercayaan yang sempurna kepada Allâh Azza wa
Jalla untuk mencapai keberhasilan dari usaha tersebut.
Orang yang mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hendaknya dia bertawakkal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara
agama dan dunianya, juga melakukan amalan bermanfaat sesuai dengan
kemampuannya, ilmunya dan pengetahuannya. Allâhul Musta'ân (Allah-lah
tempat meminta pertolongan).
FAIDAH-FAIDAH HADITS
1. Menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allâh Azza wa Jalla ,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, "
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla
daripada Mukmin yang lemah"
2. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mencintai, sesuai dengan nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, dan yang semisalnya. Dia Maha Kuat dan mencintai
Mukmin yang kuat. Dia Maha Esa dan menyukai yang ganjil. Dia Maha Indah
dan menyukai keindahan. Dia Maha Mengetahui dan mencintai Ulama. Dia
Maha Sabar dan menyukai orang-orang yang sabar, dan sebagainya.
3. Bahwasanya kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada orang-orang Mukmin
berbeda-beda. Dia lebih mencintai sebagian kaum Muslimin daripada kaum
Muslimin lainnya.
4. Ada perbedaan antara manusia dalam hal keimanan, ada yang kuat dan ada yang lemah.
5. Iman itu mencakup perkataan dan perbuatan. Iman bisa bertambah dengan
sebab ketaatan dan bisa berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
6. Hendaknya seorang Mukmin berjuang melawan hawa nafsunya agar bisa meraih derajat Mukmin yang kuat imannya.
7. Kuat dan lemahnya iman seseorang sesuai dengan usaha dan
perjuangannya melawan hawa nafsunya dan menjaga ketaatannya kepada Allâh
Azza wa Jalla .
8. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencintai kaum Muslimin yang bersemangat dalam hal-hal yang bermanfaat baginya.
9. Kebahagiaan seseorang sangat tergantung pada kesungguhan-sungguhannya
dalam hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat.
10. Islam datang untuk mewujudkan dan menyempurnakan kebaikan-kebaikan.
11. Janganlah seseorang menghabiskan waktu dan tenaganya pada sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.
12. Hendaknya manusia bersabar atas apa yang telah ditakdirkan Allâh Azza wa Jalla untuknya.
13. Penyesalan atas apa yang telah berlalu tidak akan bisa mengembalikan apa yang telah berlalu itu.
14. Penyesalan atas apa yang telah berlalu termasuk godaan setan.
15. Hendaknya kaum Muslimin ketika ditimpa musibah, mengucapkan ,
قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.
Ini telah Allâh takdirkan, dan apa saja yang Dia kehendaki pasti dikerjakan
16. Beriman kepada takdir Allâh Azza wa Jalla , yang baik maupun yang
buruk. Dan apa yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki pasti terjadi, tidak
ada yang dapat menolak ketetapan-Nya.
17. Setan itu mempunyai pengaruh dan selalu menggoda manusia.
18. Menetapkan masyi-ah (sifat memiliki kehendak) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala
19. Menghukumi dengan sebab-sebab tidak menafikan tawakkal.
20. Haramnya menolak ketetapan dan takdir Allâh Azza wa Jalla
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Bukhâri dalam Adabul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abu
Dâwud (no. 4676), an-Nasâi (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari
Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh Jâmi’ush Shaghîr
(no. 2800). Lihat pembahasan Prinsip Ahlus Sunnah tentang Dien dan Iman
dalam buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hlm.
355-361, cet. 8-Pustaka Imam Syafi’i Jakarta.
[2]. Majmû’ al-Fatâwâ (VI/388, XIII/136) dan Madârijus Sâlikîn (II/488).
[3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf, hlm. 47.
[4]. Miftâh Dâris Sa’âdah (I/511), karya Ibnul Qayyim rahimahullah
0 komentar:
Post a Comment