Saat kita menyebut kata "kubur"dihadapan banyak orang, kita akan melihat
respon balik yang berbeda-beda. Ada yang menampak wajah ngeri, takut,
senang dan ada juga yang biasa-biasa. Respon ini, tentu bukan tanpa
sebab dan latar belakang. Kesan "angker" sebuah kuburan mampu mencegah
orang dari sekedar mendekati, apa lagi yang untuk melakukan hal yang
lebih dari itu. Namun terkadang wilayah pekuburan kehilangan kesan itu,
sehingga tidak lagi diperlakukan sebagaimana mestinya. Ada
yangmenjadikannya
sebagai tempat tinggal, ladang gembala untuk hewan
ternaknya dan lain sebagainya. Bagaimana para Ulama Fiqih memandang
permasalahan ini ? Berikut pembahasan ringkas yang kami angkat dari
Ahkamul Maqabir Fis Syari'atil Islamiyah, karya DR Abdullah binUmar bin
Muhammad as-Suhaibani, hlm.507-509
1. MENJADIKAN WILAYAH PEKUBURAN SEBAGAI TEMPAT TINGGAL
Para ahli fiqih dari kalangan Hanafiyyah menyebutkan bahwa menjadikan
kuburan sebagai lahan tempat tinggal sementara hukumnya makruh; dan
menjadikannya sebagai rumah tentu lebih dimakruhkan.[1]
Kemungkinan yang menjadi faktor dimakruhkan adalah karena ada unsur
penghinaan terhadap kubur. Sebagaimana diketahui bahwa kehormatan mayat
di dalam kuburnya sama dengan kehormatan orang yang hidup di dalam
rumahnya. Kubur merupakan rumah untuk mayat; dan perbuatan
-menjadikannya sebagai tinggal- ini juga termasuk hal-hal yang bisa
menghilangkan kewibawaan (kehormatan) serta perilaku yang tidak sopan.
Ulama Hanafiyyah[2] dan Syafi’iyyah[3] menyebutkan makruh tidur di
pekuburan. Mereka beralasan bahwa tidur di pekuburan bisa menyebabkan
rasa cemas dan tidak tenang di hati karena bisa jadi dia melihat dalam
mimpinya sesuatu yang bisa mengganggu akal sehatnya.[4]
Ulama Syafi’iyyah mengecualikan dari hukum makruhnya tidur di pekuburan
yaitu tidur di sisi kubur yang menyendiri; misalnya kubur yang ada di
dalam rumah yang berpenghuni.[5]
Sebagian Ulama Syafi’iyyah juga mengecualikan kemakruhan ini apabila
tidur di pekuburan secara berjama’ah. Mereka berkata, "Sebagaimana
sering dilakukan oleh orang yang sering tidur di pekuburan pada malam
Jum’at untuk membaca al-Qur`ân, atau berziarah; yang seperti ini tidak
dimakruhkan.[6]
Namun pendapat ini terbantah karena perbuatan ini merupakan amalan yang
tidak ada dalilnya sehingga tentu lebih dimakruhkan, bahkan dilarang
karena barangsiapa melakukannya dengan tujuan beribadah maka ini
merupakan perbuatan bid’ah.[7]
Ulama Hanafiyyah berkata, "Dimakruhkan melakukan apapun di kubur kecuali
yang ada tuntunannya dalam as-Sunnah; dan yang didapatkan dari
as-Sunnah hanya ziarah dan berdo’a dengan berdiri sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam [8].
2. MEMANFAATKAN APA YANG ADA DI TANAH KUBUR, SEPERTI RUMPAUT, BUAH DAN LAINNYA.
Ulama Hanafiyyah menyebutkannya makruh hukumnya memotong tanaman yang
hidup di pekuburan. Mereka beralasan, "Selama tumbuhan itu basah (hidup)
ia bertasbih. Tasbihnya ini bisa menenangkan mayat, namun apabila sudah
kering tidak mengapa dipotong"[9].
Yang benar - Wallâhu a’lam- adalah mengambil rumput dari tanah kubur,
begitu juga mengambil kayu bakar darinya dibolehkan terlebih pada waktu
dibutuhkan, karena tidak ada dalil yang melarang hal tersebut. Alasan
memakruhkan memotong tumbuhan di atas merupakan alasan yang lemah,
karena di dalam kubur yang dapat membantu memberi manfaat atau
meringankan mayat adalah amal shalihnya bukan tumbuhan. Adapun hadits
yang menyebutkan dua pelepah kurma basah yang ditancapkan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikubur yang dilewati beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tersebut bertujuan untuk meringankan mayat, ini
dikategorikan sebagai kekhususan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Adapun mengembalakan hewan ternak diantara kubur maka itu tidak
diperbolehkan, karena ada unsur menghinakan penghuni kubur. Jika manusia
dilarang menginjak atau berjalan di atasnya maka hewan tentu lebih
patut untuk dilarang.
Adapun memakan buah dari pohon yang tumbuh di pekuburan, menurut Imam
al-Hannathi[10] -salah seorang Ulama dari kalangan Syâfi’iyyah- berkata,
"Alangkah lebih bagus digunakan untuk kemaslahatan kuburan. Hanabilah
juga memakruhkan memakan buah pohon yang tumbuh di pekuburan".[11] Ada
juga yang berpendapat boleh memakan buah tersebut. Imam Nawawi
rahimahullah berkata, "Yang kami pilih dari hal tersebut adalah
boleh".[12]
Sedangkan yang benar adalah boleh memakannya, kecuali jika pekuburan
membutuhkan buah tersebut untuk perbaikan, maka boleh menjualnya dan
dipergunakan hasilnya untuk kepentingan pekuburan, begitupun tumbuhan
yang tumbuh di sekitar kubur, atau kayu bakar bisa dipergunakan untuk
kemaslahatan kuburan. Yang perlu dipahami di sini, rumput dan pepohonan
yang tumbuh di pekuburan bukan ditanam oleh anak Adam.
Adapun merindangkan kuburan dengan menanam pohon yang berbuah atau
selainnya, tidak diperbolehkan karena perbuatan ini mengandung unsur
menyerupai orang-orang Nashara yang menjadikan pekuburan mereka mirip
taman-taman.[13]
3. MENGAMBIL AIR MINUM DAN BERWUDHU DARI SUMUR YANG ADA DI PEKUBURAN.
(Dalam hal ini) Ibnu Abi Syaibah[14] menyebutkan dari Thâwus
rahimahullah,[15] bahwasannya dimakruhkan mengambil air minum dari
sumur-sumur yang berada di permukaan kuburan.[16]
Ulama dari kalangan Hanabilah juga memakruhkan berwudhu dengan air dari
sumur yang berada di pekuburan. Menurut mereka, karena di kuburan bisa
terdapat najis. Bahkan mereka memakruhkan menggunakan air sumur yang
berada di pekuburan untuk berwudhu, makan, minum dan lainnya.[17]
Alasan kemakruhannya –bisa jadi- juga adanya unsur penghinaan kepada
kuburan dan menggunakan kuburan bukan pada tempatnya, atau karena adanya
bahaya yang bisa menimpa manusia disebabkan oleh kemungkinan
tercemarnya air yang ada diantara pekuburan. Dan alasan ini mirip dengan
alasan Hanabilah yang mengatakan kemungkinan bercampurnya air dengan
najis.
Demikian pembahasan singkat tentang hukum memanfaatkan kuburan atau sesuatu yang ada di wilayah pekuburan. Semoga bermanfaat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVII/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Al-Madkhal, 1/251, 3/278; Mawahibul-Jalil, 2/253.
[2]. Fathul-Qadir, 2/150; Raddul-Mukhtar, 2/245.
[3]. Al-Umm, 1/466; al-Muhazzab dan al-Majmu’ 5/287; al-Hawi al-Kabir, 3/69, Mughni al-Muhtaj, 2/53.
[4]. Al-Umm, 1/466, al-Hawi al-Kabir, 3/69, Mughni al-Muhtaj, 2/53.
[5]. Mughni al-Muhtaj, 2/53; Nihayatul-Muhtaj, 3/30.
[6]. Mughni al-Muhtaj, 2/53; Nihayatul-Muhtaj, 3/30.
[7]. Lihat perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan
berdiri di atas kubur dan syarat bermalam di kubur dalam Majmu’ Fatawa,
13/26-40 dan 41.
[8]. Fathul-Qadir, 2/150.
[9]. Al-Fatawa al-Hindiyyah, 1/167; Fatawa Qadhi Khan, 1/195; Raddul-Mukhtar, 2/245.
[10]. Beliau adalah Abu 'Abdillâh al-Hasan bin Muhammad bin 'Abdillâh
al-Hannati ath-Thabari asy-Syafi’i. Dan al-Hannati merupakan nisbat dari
sebuah kelompok penduduk di Tubrustan, yang diantara mereka imam mulia
ini, atau nisbat kepada sebagian nenek moyangnya yang menjual biji
gandum. Al-Hannati adalah seorang imam agung. Dia memiliki banyak
karangan dan ide cemerlang, hafal buku-buku Syafi’i. Beliau meninggal
setelah tahun empat ratusan. Lihat Thabaqat asy-Syafi’iyyah, karangan
as-Subkhi, 4/367; dan karangan al-Isnawi, 1/301.
[11]. Kayaful-Qina`, 14/28; ar-Raudul-Murbi`, 1/64.
[12]. Raudhatuth-Thalibin, 4/424; Mughnil-Muhtaj, 3/557.
[13]. Bisa dilihat di kitab Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 3/200.
[14]. Beliau adalah Abu Bakr 'Abudullâh bin Muhammad al-Qadhi Abu
Syaibah Ibrahim bin 'Ustman bin Khawasiti al-A’basi al-Kufi, seorang
imam yang alim, tetua para huffazh, pengarang buku agung, al-Musnad,
al-Mushannaf , dan at-Tafsir. Beliau sepadan dengan Imam Ahmad bin
Hanbal, Ishaq ar-Rahawaih, dan Ibnu al-Madini dalam umur, kelahiran, dan
hafalan. Beliau meninggal tahun 235 Hijriyyah. Lihat al-Jarhu wa
Ta’dil, 5/160; Siyar A’lamu Nubala`, 11/122.
[15]. Beliau adalah Abu 'Abdirrahmân Thawuus bin Kisan al-Farisi
kemudian al-Yamani al-Janadi al-Hamzani. Dilahirkan di Yaman pada masa
kepemimpinan 'Utsman. Beliau mendengar hadits dari sebagian sahabat,
diantaranya al-'Ubdalah, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Abu Hurairah, dan
selain mereka. Beliau termasuk pembesar tabi'in, dan beliau adalah
hujjah. Meninggal tahun 106 Hijriyyah. Lihat Siyar A'lamu Nubala, 5/38;
Tahdziib at-Tahdzib, 3/9.
[16]. Dekeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Janaiz, bab yang
dimakruhkan mengambil air minum dari sumur yang berada di pekuburan,
3/269.
[17]. Ar-Raudu al-Murbi’, 1/64; Kasyaful-Qina’, 1/28.
0 komentar:
Post a Comment