Oleh
Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA
Para pembaca yang dirahmati Allâh Azza wa Jalla ! Semoga kita senantiasa
diberi taufiq oleh Allâh untuk mempelari dan mengamalkan agama yang
kita cintai ini. Shalawat dan salam kita ucapkan untuk nabi yang paling
mulia, yaitu nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk
untuk keluarga dan para sahabat beliau, serta orang-orang yang setia
mengikuti ajaran beliau sampai akhir zaman.
Para pembaca yang budiman! Berikut ini kita akan membahas tentang topik
ilmu perdukunan dalam tinjauan Islam. Sisi-sisi pembahasan meliputi:
1. Hakikat dukun dan perdukunan.
2. Perdukunan dahulu dan sekarang.
3. Hukum pedukunan dalam Islam.
4. Cara menangkal perdukunan.
Hal yang melatarbelakangi pembahasan ini antara lain adalah:
Pertama, sebagian kaum Mmuslimin banyak terjebak dengan perdukunan, baik
yang sakit maupun yang sehat, yang miskin maupun yang kaya, yang sukses
maupun yang gagal, orang berpangkat maupun orang biasa, pejabat maupun
rakyat jelata.
Kedua, tersebarnya perdukunan berkedok Islami, yang menambah persoalan
ini semakin runyam di tengah masyarakat. Betapa banyak orang tertipu
dengan secarik surban yang bertonggok di kepala sang dukun, kemudian
ditambah tasbih yang melingkat di leher atau yang dalam genggaman
tangan. Sekedar bermodalkan surban dan tasbih, sang dukun menjadi
kepercayaan sebagian masyarakat yang kurang ilmu dan iman.
Ketiga, sangat sedikit kaum Muslimin yang mengetahui solusi cara
menangkal perdukunan, alih-alih mereka melawan perdukunan dengan
perdukunan pula. Maka dalam bahasan ini kita mencoba memberikan solusi
syar'i dalam menangkal perdukunan tersebut.
HAKIKAT DUKUN DAN PERDUKUNAN
Ada beberapa istilah yang memiliki konotasi dengan perdukunan. Terkadang
istilah tersebut dipakai untuk makna yang sama, namun sering kali
dipakai dalam makna berbeda. Istilah tersebut ialah: kâhin (dukun),
'arrâf (peramal), rammal (tukang tenung), munajjim (ahli nujum), sâhir
(ahli sihir) dan hipnotis.
Pemakaian istilah tersebut dalam makna yang sama lantaran kesamannya
dalam beberapa hal. Pertama, dari sisi pengakuan mengetahui hal-hal yang
ghaib. Kedua, dalam sisi penerimaan info tentang hal yang ghaib
tersebut dengan mempergunakan bantuan setan atau Jin.
Adapun pengunaannya untuk makna yang berbeda, hal ini lebih ditentukan
oleh asal kalimat tersebut secara etimologi, serta proses dan cara yang
digunakan oleh si pelaku dalam praktek perdukunannya. Misalnya ada
dengan cara mantra-mantra, atau dengan cara memakai alat bantu seperti
huruf-huruf abjadiyah, melihat garis-garis yang ada pada telapak tangan,
atau peredaran bintang, atau menulis dengan tongkat di pasir, dan
sebagainya.
Ada dua kalimat yang sangat dekat maknanya dari istilah-istilah yang
sebutkan di atas, yaitu: kâhin (dukun) dan 'arrâf (peramal). Berikut ini
beberapa penjelasan ulama tentang makna dua kalimat tersebut.
Pertama : Makna Kâhin.
Syaikh Shâlih Fauzan hafizhâhullah menjelaskan,[1] kâhin (dukun) adalah
orang yang mengaku mengetahui tentang hal-hal ghaib pada masa yang akan
datang dengan cara melalui setan (Jin). Yaitu setan (Jin) tersebut
memberitakan sesuatu yang tidak diketahui oleh manusia. Karena setan
bisa dapat mengetahui sesuatu yang susah untuk diketahui manusia. Setan
(Jin) ini memberitahu manusia dengan imbalan atau syarat manusia itu mau
tunduk kepadanya. Sehingga manusia melakukan hal-hal kesyirikan dan
kekufuran kepada Allâh Azza wa Jalla . Mereka berusaha mendekatkan diri
kepada setan (Jin) tersebut. Apabila manusia sudah mau tunduk kepada
setan (Jin) sesuai permintaan mereka, maka setan akan membantu mereka
untuk mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian Syaikh Shâlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti
dari kâhin (dukun), adalah orang yang mengaku mengetahui apa yang
tersembunyi dalam hati. Padahal tidak ada yang mengetahui apa yang ada
dalam hati seseorang kecuali Allâh Azza wa Jalla , akan tetapi setan
bisa mengetahui perkataan hati seseorang melalui bisikan-bisikan yang
dilakukan setan kepadanya. Karena setan berjalan dalam diri manusia
seperti mengalirnya darah dalam tubuh manusia. Maka setan dapat
mengetahui tentang seseorang hal yang tidak bisa diketahui oleh orang
lain.[2]
Kedua : Makna 'Arrâf.
Adapun arti 'arrâf (peramal) menurut Imam Baghawi rahimahullah, adalah
orang yang mengaku mengetahui peristiwa dengan cara-cara tertentu untuk
mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang yang hilang dan
semisalnya.[3] Sedangkan menurut Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, 'arrâf
(peramal) adalah nama untuk dukun, ahli nujum dan rammal (tukang
tenung).[4]
Syaikh Shâlih Fauzan menjelaskan perkara orang yang mengaku mengetahui
peristiwa dengan cara-cara tertentu untuk mengetahui barang yang dicuri,
tempat barang hilang dan semisalnya melalui setan (jin). Setan memang
memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Pada zhahirnya sang peramal
akan terlihat melakukan sesuatu yang biasa menurut banyak orang, akan
tetapi itu hanya sebagai kedok belaka. Pada hakikatnya ia bekerjasama
dengan setan. Kalau tidak, darimana ia dapat megetahui tentang dimana
tempat benda yang dicuri atau benda yang hilang? Kalau bukan dengan cara
bekerjasama dengan setan (Jin).
Berikutnya Syaikh Shâlih Fauzan menyebutkan pendapat lain tentang arti
'arrâf (peramal), bahwa artinya sama dengan kâhin (dukun). Karena
keduanya sama-sama mengaku mengetahui perkara-perkara ghaib melalui
perantara setan (Jin). Keduanya sama-sama merupakan anak buah setan.
Walaupun berbeda dari segi nama, namun memiliki arti dan profesi sama,
yaitu sama-sama mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib.[5]
Kesimpulan
Syaikh Shâlih Âlu Syaikh berusaha menyimpulkan pandangan ulama tentang makna kâhin dan 'arrâf sebagaimana berikut.
Pendapat pertama, kâhin adalah orang yang mengaku mengetahui perkara
ghaib yang akan datang berkerjasama dengan setan. Dan 'arrâf adalah
orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib yang tersembunyi dan tidak
terlihat oleh manusia juga berkerjasama dengan setan.
Pendapat kedua, kâhin lebih bersifat umum, sedangkan 'arrâf lebih
bersifat khusus. Kâhin termasuk didalamnya adalah setiap orang yang
mengaku mengetahui perkara ghaib yang akan datang maupun yang telah
berlalu yang tidak diketahui oleh manusia. Juga termasuk didalamnya
adalah ahli nujum dan semacamnya. Seperti tukang tenung, mengundi nasib
melalui huruf abjadiyah, melalui biji-biji tasbih, melalui mengukir di
pasir dan sebagainya. Dan bahkan sebagian ulama kontemporer mengatakan
bahwa ilmu hipnotis termasuk di dalamnya [6].
CARA JIN MENDAPATKAN BERITA GHAIB DAN BEKERJA SAMA DENGAN DUKUN
Terjalinya kerja sama antara jin dan dukun tentu memiliki kensekwensi
dan komitmen yang mesti dipenuhi oleh kedua belah pihak. Di antara
bentuk komitmen dan kensekwensi tersebut, sang dukun harus menuruti
persyaratan yang diminta oleh Jin. Setelah hal itu dilakukan sang dukun
maka kemudian jin membantu sang duku dalam praktek profesinya sebagai
dukun. Biasanya persyaratan itu tidak rumit, cukup melakukan salah satu
bentuk kesyirikan atau kekufuran saja, meskipun sang dukun tetap
melakukan amalan ibadah yang zhahir seperti shalat, puasa dan lain
sebagainya. Dan kadang kala yang menjadi persyaratan itu melakukan
ibadah yang menyelisihi Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga dengan demikian, tanpa disadari sang dukun terjebak dalam
sebuah dosa yang selalu dilakukan dalam hidupnya. Dia tidak menyadari
itu sebagai sebuah dosa dan kesalahan. Yang lebih populer dalam istilah
ulama, yaitu amalan-amalan bid'ah.
Ketika telah terjalin kerjasama yang erat, maka jin berupaya membantu
sang dukun dalam mengetahui berita-berita ghaib. Bagaimana cara jin
mendapatkan berita-berita ghaib tersebut? Jawabannya terdapat pada
hadits berikut ini:
عن أبي هريرة رَضِيَ اللهُ عَنْهَ إن نبي الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قال: ((إِذَا قَضَى اللَّهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتْ
الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ
سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا { فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا
مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا } لِلَّذِي قَالَ { الْحَقَّ وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ } فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ وَمُسْتَرِقُ
السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ
فَحَرَفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ
فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ
تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوْ الْكَاهِنِ
فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا
أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ
فَيُقَالُ أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا
فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنْ السَّمَاءِ)). رواه
البخاري
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Apabila Allâh memutuskan sebuah perintah di langit,
para malaikat menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut,
bagaikan suara rantai yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah
hilang rasa takut dari hati mereka, mereka bertanya: 'Apa yang
dikatakakan oleh Tuhan kalian?' Jibril menjawab: 'Tentang kebenaran dan
Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar'. Lalu para pencuri berita langit (setan)
mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit tersebut seperti ini,
sebahagian mereka di atas sebagian yang lain -Sufyan (rawi hadits)
mencontohkan dengan jari-jarinya- maka yang paling di atas mendengar
sebuah kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya, kemudian
selanjutnya ia membisikan lagi kepada yang di bawahnya dan begitu
seterusnya sampai ia membisikannya kepada tukang sihir atau dukun.
Kadang-kadang ia disambar oleh bintang berapi sebelum menyampaikannya
atau ia telah menyampaikannya sebelum ia disambar oleh bintang berapi.
Maka setan mencampur berita tersebut dengan seratus kebohongan. Maka
dikatakan orang: bukan ia telah berkata kepada kita pada hari ini dan
ini… maka ia dipercaya karena satu kalimat yang pernah ia dengan langit
tersebut'."[7]
Dalam hadits di atas ada berapa point yang dapat kita jelaskan.
Pertama, dalam hadits tersebut diterangkan bagaimana proses jin dalam
mencari berita-berita ghaib. Yaitu dengan bertengger satu di atas yang
lainnya seperti pertunjukkan orang memanjat pinang atau seperti seni
olah raga yang dilakukan di sekolah-sekolah. Yaitu dengan cara lima
orang di bawah, lalu pada tingkat kedua naik empat orang, kemudian pada
tingkat berikut tiga orang, dan begitu seterusnya.
Kedua, berita ghaib yang mereka dapatkan itu berasal dari perkataan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada para malaikat untuk melakukan tugas
tertentu, lalu para malaikat saling berkomunikasi antara satu dengan
yang lainnya. Melalui percakapan malaikat tersebut, jin mencuri dengar
dan menyampaikannya kepada mitranya dari kalangan dukun.
Ketiga, bahwa para jin tidak senantiasa dapat mencuri berita langit
tersebut karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sebagian bintang
untuk melempar mereka yang berusaha mencuri dengar berita langit
tersebut.
Keempat, jika jin selamat dari lemparan bintang yang berapi, barulah
mereka berhasil mencuri satu kalimat dari berita langit. Artinya, jin
tidak mengetahui secara detail atau seutuhnya tentang berita langit
tersebut. Lalu berita tersebut mereka campur dengan seratus kedustaan.
Kelima, bahwa sebab adanya manusia yang mempercayai dukun adalah
gara-gara tidak melihat kebohongan jin dan hanya mengingat satu kalimat
yang terdapat seratus kebohongan. Lalu kalimat yang satu tersebut
diekspos kemana-mana, namun tidak mengekspos kebohongannya yang begitu
banyak.
Dalam hadits yang lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسٌ عَنْ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَيْسَ
بِشَيْءٍ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَا
أَحْيَانًا بِشَيْءٍ فَيَكُونُ حَقًّا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْحَقِّ يَخْطَفُهَا
مِنْ الْجِنِّيِّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ فَيَخْلِطُونَ مَعَهَا
مِائَةَ كَذْبَةٍ -رواه البخاري
Diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu anha, saat para sahabat bertanya
kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dukun. Jawab
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Tidak perlu percaya," lalu
sahabat bertanya lagi: "Wahai, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Sesungguhnya mereka kadang-kadang memberitahu kita sesuatu yang benar
terbukti?" Jawab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Itu adalah
sebuah kalimat yang benar yang dicuri oleh Jin, lalu ia bisikkan ke
telinga pembantunya (dukun), kemudian ia campur dengan seratus
kebohongan".[8]
Dalam lafazh yang lain berbunyi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَنْزِلُ فِي الْعَنَانِ
وَهُوَ السَّحَابُ فَتَذْكُرُ الْأَمْرَ قُضِيَ فِي السَّمَاءِ
فَتَسْتَرِقُ الشَّيَاطِينُ السَّمْعَ فَتَسْمَعُهُ فَتُوحِيهِ إِلَى
الْكُهَّانِ فَيَكْذِبُونَ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ- رواه البخاري
Dari Aisyah Radhiyallahu anha, bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya malaikat turun ke awan,
mereka menceritakan tentang urusan yang telah diputuskan Allâh di
langit. Kemudian setan-setan mencuri dengar lalu mereka mendengar urusan
tersebut, setelah itu mereka sampaikan kepada para dukun. Mereka
mencampurinya dengan seratus kebohongan dari diri mereka sendiri".[9]
Dalam hadits ini juga terdapat penjelasan bahwa yang dikatakan sang
dukun bisa saja terbukti, namun bila dibanding dengan kebohongannya
sungguh lebih banyak, yaitu satu berbanding seratus. Adapun kebenaran
yang pernah terbukti dalam perkataan dukun tidak bisa dijadikan alasan
untuk menerima dan mempercayai semua berita yang dikatakannya. Karena
kalau semua perkataannya bohong pasti tidak ada yang percaya dukun.
Beginilah cara setan melakukan tipu dayanya untuk menyesatkan manusia.
Yaitu dengan menyamarkan antara yang hak dengan yang batil, antara yang
benar dengan yang salah.
PERDUKUNAN DAHULU DAN SEKARANG
Berikut ini penjelasan sekilas tentang sisi-sisi kesamaan dan perbedaan antara dukun zaman dulu dan zaman moderen sekarang ini.
Perdukunan Zaman Dulu
Pada zaman dulu para dukun lebih banyak beroperasi di daerah pedalaman
yang minim ilmu pengetahuan serta kurangnya pusat pelayanan kesehatan
masyarakat. Umumnya masyarakat yang mendatangi dukun adalah golongan
yang tidak berilmu dan bertempat tinggal jauh dari pusat pelayanan
kesehatan medis atau kurangnya biaya untuk berobat ke pusat kesehatan.
Tujuan mendatangi dukun terbatas pada urusan tertentu saja, seperti
berobat atau minta ilmu tangkal dan pelet.
Dukun pada zaman dulu amat mudah dikenal oleh masyarakat melalui
penampilannya secara fisik atau zhahir. Mereka tidak telalu antusias
untuk mendapatkan harta dari para pasiennya. Pemberian atau imbalan yang
mereka terima sangat sederhana. Bahkan kadangkala hanya menerima
sebatang rokok atau uang sekedarnya tanpa ada tarif tertentu.
Dukun zaman dulu tidak menjadikan profesi perdukunan sebagai sumber mata
pencarian atau penghasilan pokok untuk biaya kehidupan sehari-hari.
Disamping itu, mereka sangat memperhatikan norma-norma adat dan
nilai-nilai kesusilaan dalam praktek perdukunanya, dan tidak menyamar
dalam prateknya sebagai seorang yang shalih.
Perdukunan Zaman Sekarang
Dukun zaman moderen melakukan prakteknya di kota-kota besar, bahkan
membuka pusat perdukunannya dengan izin resmi. Ilmu perdukunan mereka
didukung oleh ilmu pengetahuan moderen. Para pasienya orang-orang yang
berpendidikan dan memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Tujuan
mendatangi dukun tidak terbatas pada urusan klasik, seperti urusan untuk
berobat, akan tetapi lebih meluas lagi hingga ke dalam masalah profesi
dan pekerjaan yang sedang mereka geluti. Ada yang mendatangi dukun untuk
mendongkrak kepopuleran, untuk menjadi lebih cantik, agar menang dalam
pilkada, agar bisa bertahan dalam posisi jabatan yang sedang dipegang,
atau naik ke tingkat yang lebih tinggi dan sebagainya.
Dukun zaman moderen amat sulit untuk dikenal sebagai dukun secara fisik
maupun zhahirnya, karena bernampilan rapi dan mungkin menaiki kendaraan
mewah serta berteman dengan orang-orang terpandang. Dalam prakteknya,
dukun zaman moderen menetapkan tarif tertentu, mungkin bisa mencapai
jutaan rupiah. Perdukunan pada zaman moderen menjadi sebuah profesi
resmi, sebagai sumber mata pencaharian atau penghasilan pokok untuk
biaya kehidupan sehari-hari. Para dukun zaman moderen lebih gila dan
lebih bejat, tidak lagi memperhatikan norma-norma adat dan nilai-nilai
kesusilaan dalam praktek perdukunanya. Mereka kadangkala mencabuli para
pasiennya, bahkan mungkin meminta untuk mensetubuhi isteri pasiennya
sampai menikahi gadis-gadis tanpa batas. Disamping itu, dalam prakteknya
mereka menyamar sebagai seorang yang shâlih, dan mungkin mengaku
sebagai seorang wali, habib atau mengaku keturunan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
HUKUM PERDUKUNAN DALAM ISLAM
Berikut ini beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum perdukunan
dalam Islam. Perdukunan bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan
manusia, ia sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diutus oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menyanggah tuduhan orang-orang kafir Quraisy
terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
Maka tetaplah memberi peringatan, dengan sebab nikmat Rabb-mu engkau
bukanlah seorang dukun dan bukan pula seorang gila. [ath-Thûr/52:29].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala membantah tuduhan bohong kaum
musyrikin terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia
seorang dukun (tukang tenung) atau orang gila. Karena Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka tentang hal-hal
yang akan datang pada hari kiamat melalui perantaraan wahyu yang
diwahyukan Allâh Azza wa Jalla kepadanya. Mereka ingin menyamakan antara
seorang nabi dengan seorang dukun yang suka meramal kejadian-kejadian
yang akan datang, sebagai alasan untuk menolak ajaran Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
Dari ayat di atas juga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang memberitakan kabar yang akan datang itu ada tiga jenis.
Pertama, seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ
Demikianlah dari berita-berita ghaib yang Kami (Allâh) wahyukan kepadamu. [Ali Imran/3:44].
Kedua, dukun, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tentang hakikatnya.
Ketiga, orang gila yang berbicara di luar kesadaran.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menperingatkan umatnya
untuk tidak mendatangi dan mempercayai dukun ataupun membuka praktek
perdukunan. Berikut ini beberapa hadits berkenaan dengan hal tersebut.
1. Larangan tentang mendatangi dukun.
Telah ditegaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أُمُورًا كُنَّا نَصْنَعُهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ كُنَّا نَأْتِى
الْكُهَّانَ. قَالَ «فَلاَ تَأْتُوا الْكُهَّانَ». رواه مسلم
Dari Mu'awiyah bin Hakam Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Ada beberapa hal yang biasa kami
lakukan pada masa jahiliyah, kami terbiasa datang ke dukun?" Jawab
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Jangan kalian datang ke
dukun".[10].
2. Larangan bertanya kepada dukun.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « مَنْ أَتَى
عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ
لَيْلَةً ». رواه مسلم
Diriwayatkan lagi oleh sebagian isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : "Barangsiapa yang
mendatangi tukang tenung untuk bertanya tentang sesuatu, maka tidak
diterima darinya shalat selama empat puluh malam".[11]
Dalam hadits ini dijelaskan tentang besarnya dosa mendatangi dukun untuk
sekedar bertanya tentang sesuatu, menyebabkan pahala amalan shalatnya
selama empat puluh malam atau hari hilang. Ini menunjukkan betapa besar
dosa mendatangi dukun.
3. Larangan mempercayai dukun.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ
فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ -رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Barangsiapa yang mendatangi dukun lalu mempercayainya,
sungguh ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ".[12]
Dalam hadits di atas Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan
antara hukum mendatangi dukun dengan hukum mempercayainya. Hukum
mendatangi dukun berisiko tidak diterima shalat bagi pelakunya selama
empat puluh hari. Adapun hukum mempercayai perkataan dukun tentang hal
yang ghaib berisiko membuat seseorang tersebut telah terjatuh kepada
perbuatan kufur, meskipun Ulama berbeda pendapat tentang maksud kata
kufur tersebut. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah kufur akbar (besar). Namun sebagian mereka berpendapat
bahwa yang dimaksud adalah kufur asghar (kecil). Sebagian lagi lebih
memilih tidak merinci kepada akbar maupun asghar, karena konteksnya
berbicara tentang ancaman.[13]
Sebahagian Ulama mengomentari tentang ancaman yang terdapat dalam hadits
di atas.[14 Jika demikian ancaman bagi orang yang mendatangi dan
mempercayai dukun, bagaimana dengan si dukun itu sendiri ? Tentu ancaman
dan adzabnya lebih berat lagi.
4. Larangan meminta perdukunan dan membuka praktek perdukunan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس منَّا من تَكَهَّنَ أو تُكُهِّنَ له رواه الطبراني وصححه الألباني في "السلسلة الصحيحة"
Bukanlah termasuk golongan kami orang yang mencari perdukunan atau melakukan perdukunan.[15]
Sangat jelas dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencela orang yang meminta bantuan dukun atau memberi bantuan
perdukunan.
5. Hukum harta hasil perdukunan.
Berikut ini hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan tentang hukum harta yang diperoleh melalui praktek
perdukunan :
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ
وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ متفق عليه
Dari Abu Mas'ud Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang (memakan) hasil jual anjing, upah pelacur dan upah
dukun".[16]
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,[17] "Ketahuilah bahwa perdukunan,
mendatangi dukun, mempelajari perdukunan, ilmu nujum, meramal dengan
pasir, gandum dan batu kerikil, termasuk mengajarkan semua hal ini
adalah haram dan mengambil upah atasnya juga haram berdasarkan dalil
yang shahîh".
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu
anhu pernah diberi makanan oleh hamba sahayanya. Setelah makanan itu
ditelan Abu Bakar ash-Shidîq Radhiyallahu anhu, hamba sahaya tersebut
bertanya kepadanya, "Tahukah Anda dari mana makanan ini?" Abu Bakar
menjawab, "Tidak!" Jawab hamba sahaya, "Dulu semasa jahiliyah aku pernah
berpura-pura jadi dukun, lalu ini upahnya," maka Abu Bakar Radhiyallahu
anhu memasukkan anak jarinya ke kerongkongannya hingga ia memuntahkan
apa yang ada dalam perutnya.[18]
Adapun sisi-sisi kemungkaran yang dilakukan oleh para dukun, secara ringkas ada tiga jenis.
1. Mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, hal ini adalah syirik dalam
tauhid rububiyyah, karena mengaku dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Padahal ini adalah kekhususan bagi Allâh semata, sebagaimana dalam
firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
Katakanlah, "Tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang dapat mengetahui yang ghaib kecuali Allâh". [an-Naml/27:65].
2. Bermitra dengan jin atau setan. Kerjasama ini memiliki konsekwensi
agar seseorang tersebut memberikan sebagian ketaatan kepada jin atau
setan. Hal ini adalah syirik dalam tauhid ulûhiyyah.
3. Telah berbuat kebohongan di tengah-tengah masyarakat dan memakan harta mereka dengan cara batil atau haram.
BAGAIMANA CARA MENANGKAL PERDUKUNAN?
Tidak diragukan lagi bahwa cara paling ampuh untuk menangkal perdukunan
adalah dengan banyak berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla . Terutama
do'a dan dzikir yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk kita baca pada pagi dan sore hari. Demikian pula dzikir dan
do'a yang berhubungan dengan berbagai aktifitas sehari-hari.
Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan keutamaan beberapa dzikir yang dapat menangkal perdukunan atau gangguan setan.
1. Membaca ayat Kursy pada pagi dan sore, setiap selesai sholat fardhu dan saat akan tidur.
Hal ini dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
beberapa hadits. Diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhâri dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang kisah
ketika Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ditugaskan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga zakat fitrah. Di akhir kisah
tersebut setan membongkar rahasia yang dapat menyelamatkan seorang
Muslim dari gangguannya, yaitu membaca ayat Kursy saat akan tidur. Lalu
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu memberitahu Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut.
فَقَالَ : إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ
لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ
حَتَّى تُصْبِحَ وَكَانُوا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ
وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ - رواه البخاري
Setan berkata: "Bila kamu mau berbaring di tempat tidurmu, maka bacalah
ayat Kursy, niscaya engkau senantiasa akan dijaga oleh Allâh dan engkau
tidak akan didekati oleh setan sampai pagi hari!" Jawab Rasûlullûh
Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ia telah jujur padamu (tentang hal
tersebut), dan ia (pada hakikatnya) adalah pembohong yang ulung, ia itu
setan".[19]
2. Membaca بسم الله ketika membuka pakaian dan ketika mau masuk WC.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan, apabila kita
membuka pakaian saat akan mandi atau untuk berganti pakaian atau dan
sebagainya, hendaklah kita membaca: بسم الله . Barangsiapa yang membaca
بسم الله saat membuka pakaiannya sesungguhnya setan tidak akan bisa
melihat auratnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbada :
سِتْرُمَا بَيْنَ أَعْيُنِ الجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ - إِذَا دَخَلَ أَحدُهُمُ الْخَلاَءَ - أَنْ يَقُوْلَ : بِسْمِ اللهِ
رواه الترمذي وصححه الألباني
Penghalang antara pandangan jin dengan aurat bani Adam adalah apabila
salah seorang kalian akan masuk WC, ia membaca بسم الله .[20]
3. Membaca do'a ketika masuk WC.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila akan memasuki WC beliau membaca:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَالْخَبَائِثِ
Ya Allâh, lindungilah aku dari gangguan jin laki-laki dan jin wanita.[21]
Tidakkah selayaknya kita mencontoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , meskipun beliau hamba yang ma’shûm dan terjaga dari sisi Allâh,
akan tetapi beliau tetap memohon lindungan Allâh dari gangguan
setan/Jin.
4. Membaca do'a saat akan berhubungan suami isteri.
Begitu sempurnanya agama Islam sampai adab berhubungan suami-isteri
mendapat perhatian dan tuntunan pula. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajarkan kepada umatnya ketika mereka akan menggauli isteri
hendaklah membaca :
«بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ
الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ
فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا». متفق عليه
"Dengan nama Allâh, ya Allâh jauhkanlah setan dari kami dan dari rizki
yang engkau berikan kepada kami," jika ditakdirka antara keduanya
mendapat anak saat itu, niscaya ia tidak akan diganggu setan
selamanya.[22]
5. Menghiasi rumah dengan sering membaca surat al-Baqarah di dalamnya.
Banyak rumah kita bangunannya mentereng tetapi tidak merasa nyaman dan
tenteram di dalamnya. Bahkan terkadang terdapat hal-hal yang menakutkan
bagi penghuninya. Mengapa begitu? Karena kebanyakan rumah kita dihiasi
dengan hiasan yang merangsang untuk kedatangan makhluk halus, seperti
foto dan patung. Dan yang lebih fatal lagi para penghuni jarang
melakukan shalat-shalat sunnah dan membaca al-Qur`ân di dalamnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ
سُورَةُ الْبَقَرَةِ». رواه مسلم
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: "Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti
kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya
surat al-Baqarah".[23]
6. Membaca do'a ketika masuk rumah.
Disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersbada:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّه رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ
النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا دَخَلَ
الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ
قَالَ الشَّيْطَانُ لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ
فَلَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ
الْمَبِيتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ
أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ- رواه مسلم
Dari Jabir bin Abdillâh Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila seseorang memasuki
rumahnya menyebut nama Allâh ketika saat masuknya dan ketika saat akan
menyantap hidangannya, maka Setan berkata: 'Tidak ada jatah tempat
tinggal untuk kalian dan tidak pula jatah makan'. Apabila ia masuk tanpa
menyebut nama Allâh saat ketika masuk, Setan berkata: 'Kalian mendapat
jatah tempat tinggal'. Dan apabila ia tidak menyebut nama Allâh lagi
ketika saat menyantap hidangannya, Setan berkata: 'Kalian mendapat jatah
tempat tinggal dan jatah makan'."[24]
7. Membaca do'a ketika singgah di sebuah tempat atau memasuki daerah baru.
Diriwayatkan dari Khaulah binti Hukim, ia berkata: Aku mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang
singgah di sebuah tempat, kemudian ia membaca:
«أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ
يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ ». رواه مسلم
Aku memohon lindungan Allâh dari kejahatan makhluk yang telah
diciptakan-Nya, maka tidak satupun yang akan membahayakannya sampai ia
meninggalkan tempat tersebut"[25].
Dan masih banyak lagi do'a dan dzikir-dzikir yang dapat menghindarkan
kita dari gangguan setan/Jin. Para ulama, banyak yang sudah mengumpulkan
do'a dan dzikir-dzikir tersebut ke dalam satu kitab kumpulan do'a dan
dzikir, dan mudah dicari di toko-toko buku. Tetapi perlu berhati-hati
dalam memilih buku-buku do'a yang beredar di pasaran, sebab tidak
sedikit pula buku-buku do'a yang dijual penuh dengan hadits-hadits palsu
dan dhaif. Dianatara buku do'a yang ringkas, disusun dengan sistematis
serta sesuai dengan Sunnah, dan harganya pun sangat terjangkau, yaitu
buku do'a Hisnul-Muslim, disusun oleh Syaikh Sa'id bin Ali al-Qahthany.
Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dicetak oleh
banyak percetakan. Penulis sangat mengajurkan para pembaca untuk memilki
dan menghafalnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat I'ânatul-Mustafîd, Fauzan, hlm. (2/171).
[2]. Ibid.
[3]. Lihat Syarah as-Sunnah, 12/182.
[4]. Lihat al-Fatâwâ al-Kubrâ, 1/63.
[5]. Ibid.
[6]. Lihat Syarah Thahâwiyah, 703.
[7]. HR al-Bukhâri, 4/1804 (4522).
[8]. HR al-Bukhâri, 5/2173 (5429).
[9]. HR al-Bukhâri, 3/1175 (3038).
[10]. HR Muslim, 7/35 (5949).
[11]. HR Muslim, 7/37 (5957).
[12]. HR Abu Dawud, no. (3004), Tirmidzi, no. (135), Ibnu Mâjah, no. (639).
[13]. Lihat Syarah Thahâwiyah, Shâlih Alu Syaikh, 704.
[14]. Ibid.
[15]. HR Thabrani, al-Mu'jam al-Kabîr, 18/162 (355); al-Mu'jam al-Awsath, 4/302 (4262).
[16]. HR al-Bukhâri, 5/2172 (5428); Muslim, 5/35 (4092).
[17]. Lihat Raudhah ath-Thâlibîn, 9/346.
[18]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, 3/1395 (3629).
[19]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, 3/1194 (3101).
[20]. Lihat Sunan Tirmidzi, 2/503 (606).
[21]. HR al-Bukhâri, 1/66 (142); Muslim, 1/195 (857).
[22]. HR al-Bukhâri, 5/2347 (6025); Muslim, 4/155 (3606).
[23]. HR Muslim, 2/188 (1860).
[24]. HR Muslim, 6/108 (5381).
[25]. HR Muslim, 8/76 (7053).
0 komentar:
Post a Comment