Bimbinglah Keluargamu Mendirikan Shalat
Oleh
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
Sebuah perintah ilahi dan arahan Rabbâni yang agung. tetapi disikapi oleh kebanyakan manusia dengan mengabaikannya. Perintah tersebut adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala di akhir Surah Thaha.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa [Thaha/20:132]
Ini merupakan perintah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabinya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan apapun yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada Nabinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti itu juga sekaligus perintah bagi ummatnya selama belum ada dalil yang menunjukkan pengkhususannya bagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah ini, tidak ada yang dalil yang menunjukkan pengkhususannya berdasarkan kesepakatan para Ulama. Oleh karena itu, wajib bagi setiap orang tua untuk benar-benar memperhatikan anak-anak mereka, mengawasi mereka dengan pengawasan yang ketat dalam perkara shalat ini. Karena shalat adalah rukun yang terpenting setelah dua kalimat shahadat. Tentunya, ini dilakukan oleh orang tua setelah dia sendiri menjaga shalatnya dengan penuh perhatian, sabar dan terus berusaha sabar dalam melaksanakannya, hingga dia menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Kemudian setelah itu, dia mulai mengawasi, memberi semangat putra-putri mereka dalam menunaikan dan menjaga shalat tersebut, sebagaimana yang deperintahkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Ayat yang mulia di atas menunjukkan dua maqam (kedudukan) penting yang harus direalisasikan :
1. Maqam memperhatikan diri sendiri yang diwujudkan dengan menjaga shalat dan bersabar dalam melaksanakannya. Karena ada banyak hal di dunia ini yang bisa memalingkan dan menyibukkan orang dari malaksanakan dan menjaga shalat tepat pada waktunya. Ada yang terlalaikan oleh tidurnya, yang lain terkalahkan oleh rasa malas, yang lain lagi tersibukkan oleh permainan dan perbuatan sia-sia lainnya dan banyak lagi contohnya. Intinya, yang melalaikan itu sangatlah banyak sementara untuk menggapai maqam (kedudukan/peringkat) ini diperlukan kesabaran dan keseriusan agar bisa menjadi orang selalu melaksanakan shalat dan selalu menjaganya. Karena maqam ini memerlukan kontinuitas (kebersinambungan) tanpa ada rasa bosan dan lelah, maka tidak banyak orang yang bisa bertahan pada maqam ini. Al-Hâfiz Ibnu Hajar rahimahullah saat menjelaskan hadits :
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلى اللهِ قَالَ: الصَّلاةُ عَلى وَقْتِها قَالَ: ثُمَّ أَيّ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوالِدَيْنِ
Amalan apakah yang paling disukai oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ? Nabi bersabda, 'Shalat pada waktunya.' Shahabat bertanya, 'Kemudian apa ?' Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Kemudian berbakti kepada orang tua.'
Beliau rahimahullah berkata, "… hanya saja kesabaran dalam menjaga shalat dan melaksanakannya tepat pada waktunya, juga kesabaran dalam menjaga bakti kepada orang tua merupakan perkara yang harus terus menerus dilakukan, dan tidak ada yang mampu bersabar dalam melakukannya kecuali orang-orang yang jujur dalam keimanannya."[2]
2. Maqam memperhatian orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya seperti keluarga dan anak-anaknya. Maqam ini diwujudkan dengan mendidik mereka agar menjaga dan memperhatikan shalat, dan selalu memonitor mereka dalam permasalah yang agung ini.
Semakna dengan ayat yang mulia di atas yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud (di dalam Sunannya) dari hadist Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah besabda :
مُرُوا أوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا ، وَهُمْ أبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka saat mereka berumur sepuluh tahun jika mereka meninggalkannya, serta pisahkan mereka (antara laki dan perempuan) ditempat tidur[3] .
Hadist di atas menunjukkan keharusan untuk melakukan pengawasan dan monitoring sejak usia dini dari kehidupan mereka. Semenjak umur tujuh tahun, anak-anak sudah diperintahkan, dianjurkan, serta dimotivasi untuk melaksanakan shalat, dan takala mereka berumur sepuluh tahun apabila mereka melalaikan (meremehkan), dan menyianyiakan shalat maka mereka hendaknya dipukul dengan pukulan yang mendidik bukan pukulan yang menyakiti.
Masalah shalat merupakan masalah yang sangat agung. Apabila kita lihat dan memperhatikan realita yang ada di rumah-rumah kebanyakan orang zaman ini, maka kita dapati kebanyakan orang tua lah yang melalaikan masalah ini. Para bapak meremehkan dan melalaikan shalat, sehingga mereka tidak bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya dalam menjaga shalat. Akhirnya, orang-orang yang berada dibawah tanggung jawabnya tumbuh dan berkembang menjadi generasi yang melalaikan dan meremehkan shalat, karena sesungguhnya anak-anak akan tumbuh dan berkembang berdasarkan contoh yang mereka dapatkan dari orang tua mereka.
Tindakan mengabaikan pendidikan shalat terhadap anak ini termasuk kejahatan yang tidak ada bandingannya. Tindakan jahat dalam masalah shalat ini merupakan kejahatan yang besar.
Perhatikanlah perkataan Imam Ibn Qayyim rahimahullah yang beliau rahimahullah khusus kepada orang tua dalam permasalahan ini. Beliau rahimahullah mengatakan, "Barangsiapa melalaikan pendidikan anak, tidak mengajarkan mereka hal- hal yang bermamfaat baginya serta dia membiarkan anaknya begitu saja, maka sungguh dia telah berlaku sangat buruk pada anaknya. Dan kerusakan pada anak terjadi karena sebab kelalain orang tua mereka dalam mengajarkan kepada mereka hal-hal yang wajib di dalam agama ini dan hal-hal yang sunnah. Mereka (para orang tua-pent) menyianyiakan anak-anak mereka tatkala mereka masih kecil hingga mereka tidak mampu memberi mamfaat kepada diri mereka sendri, serta tidak akan pernah bisa memberi manfaat kepada orang tua mereka tatkala mereka dewasa."[4]
Ini merupakan situasi yang sangat penting (gawat) yang memerlukan kesungguhan, sebuah situasi yang mengharuskan orang tua memperhatikan dirinya peribadi terlebih dahulu kemudian memperhatikan orang yang berada dibawah tanggung jawabnya seperti keluarga dan anak-anaknya, mengajarkan mereka shalat, dan mengajak mereka untuk senantiasa menjaga shalat.
Untukmu Wahai anak-anak !
Wahai anak yang diberi taufik oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala ! Apabila Allâh memuliakanmu dengan memberikan kepadamu orang tua yang selalu memberikan perhatian kepadamu dalam permasalahan shalat, menganjurkan, serta memotivasimu, maka hati-hatilah jangan sampai kamu merasa direpotkan oleh orang tuamu; Janganlah engkau merasa marah karena pengawasannya padamu !
Demi Allâh sesungguhnya orang tuamu itu sedang berusaha untuk menjauhkanmu dari murka Allâh Azza wa Jalla, dan berusaha untuk menghantarkan kamu kepada keridhaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak akan ridha denganmu sampai kamu termasuk dari orang-orang yang melaksanakan dan menjaga shalatnya.
Perhatikanlah pujian Allâh yang sangat harum kepada Nabi-Nya Ismail Alaihissallam.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya. [Maryam/19:55]
Nabi Ismâîl Alaihissallam orang yang diridhai oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , karena dia melakukan segala sebab yang bisa mendatangkan keridhaan Allâh Azza wa Jalla , dan diantara sebab yang paling agung adalah memperhatikan shalat dengan menjaga dan terus menjaganya, serta mengajarkan kepada keluarga kebiasaan menjaga shalat.
Imam Mâlik rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya Muwattha dari Zaid bin Aslam Radhiyallahu anhu dari bapaknya, bahwasanya Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu melakukan qiyâmul lail (shalat malam) sebanyak bilangan yang Allâh Azza wa Jalla kehendaki. Tatkala berada di akhir malam, beliau Radhiyallahu anhu membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat. Beliau Radhiyallahu anhu membacakan kepada mereka firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa [Thaha/20:132]
Kaum Muslimin, perhatikanlah dan renungilah keadan dan sikap para assalafus shalih Radhiyallahu anhum terhadap arahan agung dari Allâh Azza wa Jalla ini ! Kemudian, bandingkanlah realita keadaan ummat manusia yang cendrung melalaikan, menyia-nyiakan arahan ini, serta keengganan mereka untuk menunaikan kewajiban yang agung ini.
Alangkah perlunya kita dalam permasalahan ini untuk menjadi pribadi-pribadi yang menjaga shalatnya, kemudian mengawasi anak-anak kita dalam melaksanakannya !
Alangkah butuhnya kita untuk selalu memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar menjadikan kita dan anak-anak kita termasuk orang-orang yang melaksanakan dan selalu menjaga shalatnya.
Diantara doa yang paling agung dalam permasalah ini adalah doa Nabi Ibrâhîm Alaihissallam:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat ! Ya Rabb kami, perkenankanlah doaku [Ibrâhîm/14:40]
Kita memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar memberikan taufiq kepada kita dalam menjaga shalat, dan memperbaiki keadaan anak-anak kita, serta menjadikan kita dan mereka termasuk dari orang-orang yang mendirikan shalat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari kitab Ta'zhîmus Sunnah, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrazaq, hlm. 35-39
[2]. Lihat Fathul Bâri ( 2/11)
[3]. Riwayat imam Ahmad (no. 6756 ), Abu Daud, no. 495; Hâkim ( 1/311), dan dishahihkan oleh imam al-AlBâni dalam Shahîhul Jâmi’, no. 5868
[4]. Tuhfatul Maudûd, hlm. 229
0 komentar:
Post a Comment