Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ
السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ
غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ
اللهُ
Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di
atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang
yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang
dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya. Barangsiapa menjaga
kehormatan dirinya maka Allâh akan
menjaganya dan barangsiapa yang
merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.”
TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri (no. 1427) dan Muslim no.1053 (124)
KOSA KATA HADITS.
• اَلْيَدُ الْعُلْيَا : Tangan yang di atas (Orang yang memberi)
• اَلْيَدُ السُّفْلَى : Tangan yang di bawah (orang yang menerima)
• بِمَنْ تَعُوْلُ : Orang yang menjadi tanggunganmu, yaitu isteri, orang
tua, anak-anak yang masih menjadi tanggungan orang tua dan pelayan
(pembantu).
• خَيْرٌ : Lebih baik.
• ظَهْرُ غِنًى : Tidak membutuhkannya, lebih dari keperluan.
• يَسْتَعْفِفْ : Menjaga kehormatan diri atau menahan diri dari meminta-minta.
• يَسْتَغْنِي : Merasa cukup (dengan karunia Allâh).
SYARH HADITS.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah
Yaitu orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima, karena
pemberi berada di atas penerima, maka tangan dialah yang lebih tinggi
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Al-Yadus Suflâ (tangan yang dibawah) memiliki beberapa pengertian:
Makna Pertama, artinya orang yang menerima, jadi maksudnya adalah orang
yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Namun ini bukan
berarti bahwa orang yang diberi tidak boleh menerima pemberian orang
lain. Bila seseorang memberikan hadiah kepadanya, maka dia boleh
menerimanya, seperti yang terjadi pada Shahabat yang mulia ‘Umar bin
Khaththab Radhiyallahu anhu ketika beliau Radhiyallahu anhu menolak
pemberian dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
Ambillah pemberian ini! Harta yang datang kepadamu, sementara engkau
tidak mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka
ambillah. Dan apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan
memperturutkan hawa nafsumu (untuk memperolehnya).”[1]
Demikian juga jika ada yang memberikan sedekah dan infak kepada orang
miskin dan orang itu berhak menerima, maka boleh ia menerimanya.
Makna kedua, yaitu orang yang minta-minta, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، اَلْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Tangan di
atas yaitu orang yang memberi infak dan tangan di bawah yaitu orang yang
minta-minta[2].
Makna yang kedua ini terlarang dalam syari’at bila seseorang tidak
sangat membutuhkan, karena meminta-minta dalam syari’at Islam tidak
boleh, kecuali sangat terpaksa. Ada beberapa hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang melarang untuk meminta-minta, di antaranya sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّىٰ يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan
datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sepotong daging pun di
wajahnya[3].
Hadits ini merupakan ancaman keras yang menunjukkan bahwa meminta-minta
kepada manusia tanpa ada kebutuhan itu hukumnya haram. Oleh karena itu,
para Ulama mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang meminta sesuatu
kepada manusia kecuali ketika darurat.
Ancaman dalam hadits di atas diperuntukkan bagi orang yang meminta-minta
kepada orang lain untuk memperkaya diri, bukan karena kebutuhan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ
Barangsiapa meminta-minta (kepada orang lain) tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api.’”[4]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا ، فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا ، فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
Barangsiapa meminta harta kepada orang lain untuk memperkaya diri, maka
sungguh, ia hanyalah meminta bara api, maka silakan ia meminta sedikit
atau banyak.[5]
Adapun meminta-minta karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak, maka boleh karena terpaksa. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardiknya.” [Adh-Dhuhâ/93:10]
Dan juga seperti dalam hadits Qâbishah yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1044) dan lainnya.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu
Yaitu saat ingin memberikan sesuatu, hendaknya manusia memulai dan
memprioritaskan orang yang menjadi tanggungannya, yakni yang wajib ia
nafkahi. Menafkahi keluarga lebih utama daripada bersedekah kepada orang
miskin, karena menafkahi keluarga merupakan sedekah, menguatkan
hubungan kekeluargaan, dan menjaga kesucian diri, maka itulah yang lebih
utama. Mulailah dari dirimu! Lalu orang yang menjadi tanggunganmu.
Berinfak untuk dirimu lebih utama daripada berinfak untuk selainnya,
sebagaimana dalam hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ
Mulailah dari dirimu, bersedekahlah untuknya, jika ada sisa, maka untuk keluargamu[6]
Dalam hadits di awal rubrik ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyuruh umatnya untuk memulai pemberian nafkah dari keluarga.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ
فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ،
وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعَظَمُهَا أَجْرًا الَّذِيْ
أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allâh, satu dinar yang engkau
infakkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), satu dinar yang
engkau infakkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau infakkan
untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya ialah satu dinar
yang engkau infakkan untuk keluargamu[7]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى
Dan sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya
Artinya sedekah terbaik yang diberikan kepada sanak keluarga, fakir
miskin dan orang-orang yang membutuhkan adalah sedekah yang berasal dari
kelebihan harta setelah keperluan terpenuhi. Artinya, setelah dia
memenuhi keperluan keluarganya secara wajar, baru kemudian kelebihannya
disedekahkan kepada fakir miskin.
Hadits yang serupa dengan pembahasan ini yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا يَكُنْ عِنْدِيْ مِنْ خَيْرٍ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ،وَمَنْ
يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ، وَمَنْ
يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا
وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ
Apa saja kebaikan yang aku punya, aku tidak akan menyembunyikannya dari
kalian. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka
Allâh akan menjaganya. Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh)
maka Allâh akan mencukupinya. Barangsiapa melatih diri untuk bersabar,
maka Allâh akan menjadikannya sabar. Dan tidaklah seseorang diberi
sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada anugerah
kesabaran.[8]
Hadits ini mengandung empat kalimat yang bermanfaat dan menyeluruh yaitu:
Kalimat Pertama :
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ
Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari kejelekan, maka Allâh akan menjaganya
Kalimat Kedua :
ومَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
Barangsiapa merasa cukup (dengan karunia Allâh) maka Allâh akan mencukupinya
Kedua kalimat di atas saling berkaitan, karena kesempurnaan penghambaan
diri seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla terletak dalam
keikhlasannya kepada Allâh, takut, harap, dan bergantung kepada-Nya,
tidak kepada makhluk. Oleh karena itu, wajib baginya untuk berusaha
merealisasikan kesempurnaan tersebut, mengerjakan semua sebab dan
perantara yang bisa mengantarkannya kepada kesempurnaan tersebut.
Sehingga dia menjadi hamba Allâh yang sejati, bebas dari perbudakan
seluruh makhluk. Dan itu didapat dengan mencurahkan jiwanya pada dua
perkara;
1. Meninggalkan ketergantungan pada seluruh makhluk dengan menjauhkan
diri dari apa-apa yang ada pada mereka. Tidak meminta kepada mereka
dengan perkataan maupun keadaannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada ‘Umar Radhiyallahu anhu :
خُذْهُ، وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ
سَائِلٍ، فَخُذْهُ، وَمَا لَا، فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ.
Ambillah pemberian ini. Harta yang datang kepadamu, sedang engkau tidak
mengharapkan kedatangannya dan tidak juga memintanya, maka ambillah! Dan
apa-apa yang tidak (diberikan kepadamu), maka jangan memperturutkan
hawa nafsumu (untuk memperolehnya)[9]
Maka menghilangkan ketamakan dari dalam hati serta menjauhkan lisan dari
meminta-minta demi menjaga diri dan menjauhkan diri dari pemberian
makhluk serta menjauhkan diri ketergantungan hati terhadap mereka,
merupakan faktor yang kuat untuk memperoleh ‘iffah (kesucian diri dan
dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal atau tidak baik).
2. Merasa cukup dengan Allâh Azza wa Jalla , percaya dengan
kecukupan-Nya, karena barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla
, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya. Inilah yang dimaksudkan
oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allâh, niscaya Allâh akan mencukupkan (keperluan)nya...” [Ath-Thalâq/65:3]
Potongan kalimat yang pertama yaitu sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang artinya, " Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka
Allâh akan menjaganya," merupakan wasîlah (cara) untuk sampai kepada hal
ini. Yaitu barangsiapa menjaga kehormatan dirinya dari apa-apa yang ada
pada manusia dan apa-apa yang didapat dari mereka, maka itu mendorong
dirinya untuk semakin bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , berharap,
semakin menguatkan keinginannya dalam (meraih) kebaikan dari Allâh Azza
wa Jalla , dan berbaik sangka kepada Allâh serta percaya kepada-Nya.
Allâh Azza wa Jalla bersama hamba-Nya yang berprasangka baik kepada-Nya;
jika hamba tersebut berprasangka baik, maka itu yang dia dapat. Dan
jika ia berprasangka buruk, maka itu yang dia dapat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits bahwa Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ
Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap-Ku[10]
Masing-masing dari dua hal tersebut saling membangun dan saling
menguatkan. Semakin kuat ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla ,
maka akan semakin lemah ketergantungannya kepada seluruh makhluk. Begitu
juga sebaliknya, semakin kuat ketergantungan manusia kepada makhluk,
maka semakin lemah ketergantungannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Di
antara do’a Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى
Ya Allâh, sesungguhnya aku memohon kepadamu petunjuk, ketakwaan,
kesucian (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal dan tidak baik), dan
aku memohon kepada-Mu kecukupan[11]
Doa yang singkat ini telah mencakup seluruh kebaikan, yaitu:
• Petunjuk : Yaitu memohon hidayah ilmu yang bermanfaat.
• Ketakwaan : Takwa kepada Allâh yaitu dengan mengerjakan amal-amal
shalih dan meninggalkan segala hal yang haram. Inilah kebaikan agama.
Yang menyempurnakan itu semua adalah keshalihan hati dan ketenangannya
yang dapat diraih dengan menjauhkan diri dari makhluk dan merasa cukup
dengan Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa merasa cukup dengan Allâh Azza
wa Jalla , maka dia adalah orang kaya yang sesungguhnya, walaupun
penghasilannya sedikit. Karena kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta,
tetapi kekayaan yaitu kekayaan hati. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
(Hakikat) kaya bukanlah dengan banyaknya harta benda, namun kaya (yang
sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang
dikaruniakan)[12]
Dengan iffah (kesucian diri) dan merasa berkecukupan maka akan terwujud
kehidupan yang baik bagi seorang hamba, nikmat dunia, dan qanâ’ah
(merasa puas) atas apa yang Allâh berikan padanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup,
dan dia merasa puas dengan apa yang Allâh berikan kepadanya[13]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الْإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا، وَقَنِعَ
Berbahagialah orang yang mendapat petunjuk untuk memeluk Islam, dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas (qana’ah)[14]
Orang yang merasa cukup dan qanâ’ah (merasa puas dengan apa yang Allâh
karuniakan) –meskipun dia hanya mempunyai bekal dan makanan hari itu
saja– maka seolah-olah ia memiliki dunia dan seisinya.
Kalimat ketiga:
وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ
Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar, maka Allâh akan menjadikan dia sabar
Kemudian disebutkan dalam kalimat keempat bahwa jika Allâh Azza wa Jalla
memberikan kesabaran kepada seorang hamba, maka pemberian itu merupakan
anugerah yang paling utama dan pertolongan yang paling luas serta
paling agung. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan sabar dan shalat...” [Al-Baqarah/2:45], yaitu dalam setiap perkara kalian.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan
pertolongan Allâh dan janganlah engkau bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya
yang mereka rencanakan.”[An-Nahl/16:127]
Sabar, seperti halnya akhlak-akhlak terpuji lainnya, membutuhkan
kesungguhan jiwa dan latihan. Karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barang siapa yang melatih diri untuk bersabar,” yaitu
orang yang mencurahkan jiwanya untuk bersabar, “Maka Allâh Azza wa Jalla
akan menjadikannya sabar,” yaitu Allâh akan menolongnya agar ia bisa
bersabar.
Sabar itu merupakan pemberian yang paling agung, karena ia berkaitan
dengan semua urusan seorang hamba dan sebagai penyempurnanya. Seorang
hamba membutuhkan kesabaran dalam segala keadaan selama hidupnya.
Seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam segala hal, di antaranya:
1. Dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh sampai dia bisa mengerjakan dan menunaikannya
2. Sabar dalam menjauhkan maksiat kepada Allâh sampai dia bisa meninggalkannya karena Allâh Azza wa Jalla
3. Sabar atas takdir-takdir Allâh yang menyakitkan sampai dia tidak marah karenanya,
4. Bahkan seorang hamba membutuhkan sabar atas nikmat-nikmat Allâh dan
hal-hal yang dicintai oleh jiwa, sehingga dia tidak membiarkan jiwanya
tenggelam dalam kesenangan dan kegembiraan yang tercela, tetapi dia
terus menyibukkannya dengan bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
Kesimpulannya, seorang hamba membutuhkan kesabaran dalam setiap
keadaannya. Dengan kesabaran, seorang hamba akan mendapat kemenangan.
Allâh Azza wa Jalla menyebutkan tentang penghuni surga dalam firman-Nya :
وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
“...Sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua
pintu;(sambil mengucapkan), ‘Selamat sejahtera atasmu karena
kesabaranmu.’ maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu.”
[Ar-Ra’du/13: 23-24]
Begitu juga firman-Nya :
أُولَٰئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا
Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka... [Al-Furqân/25:75]
Mereka mendapatkan surga berserta kenikmatannya dan mendapatkan
tempat-tempat yang tinggi karena kesabaran. Seorang hamba harus meminta
kepada Allâh Azza wa Jalla agar diselamatkan dari cobaan yang tidak
diketahui akibatnya, namun jika cobaan itu datang kepadanya, maka
kewajibannya adalah bersabar.
Dalam al-Qur'ân dan lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Allâh Azza wa Jalla telah berjanji akan memberikan perkara-perkara yang
tinggi dan mulia bagi orang-orang yang bersabar. Di antara
perkara-perkara tersebut:
• Allâh Azza wa Jalla berjanji akan menolong mereka dalam semua urusan. [Al-A’râf/7:137]
• Allâh Azza wa Jalla bersama mereka dengan pertolongan, taufik, dan kelurusan dari-Nya [Al-Anfâl/8: 46]
• Allâh Azza wa Jalla mencintai orang-orang yang bersabar. [Ali ‘Imrân/3:146]
• Allâh Azza wa Jalla menguatkan hati dan kaki mereka, memberi
ketenangan kepada mereka, memudahkan mereka untuk melakukan ketaatan dan
menjaga mereka dari perselisihan.
• Allâh Azza wa Jalla mengaruniakan kepada mereka shalawat, rahmat, dan
hidayah ketika musibah menimpa mereka. [Al-Baqarah/2:155-157]
• Allâh Azza wa Jalla meninggikan derajat mereka di dunia dan akhirat.
• Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kemenangan buat mereka, akan memberikan kemudahan, dan menjauhkan mereka dari kesulitan.
• Allâh Azza wa Jalla menjanjikan kebahagiaan, keberuntungan, dan kesuksesan buat mereka. [Ali ‘Imrân/3:200]
• Allâh Azza wa Jalla memberi mereka ganjaran tanpa perhitungan. [Az-Zumar/39:10]
Sabar itu awalnya sangat sulit, tetapi akhirnya mudah dan terpuji. Sebagaimana dikatakan:
وَالصَّبْرُ مِثْلُ اسْمِهِ مُرٌّ مَذَاقَتُهُ لَكِنْ عَوَاقِبُهُ أَحْلَى مِنَ الْعَسَلِ
Sabar itu pahit rasanya seperti namanya
Tetapi akhirnya lebih manis daripada madu
FAWAA-ID.
1.Orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima.
2. Dianjurkan bersedekah dan berinfak kepada kaum Muslimin yang membutuhkan.
3. Minta-minta hukumnya haram dalam Islam.
4. Bila seseorang diberi sesuatu tanpa diminta, maka ia boleh menerimanya.
5. Seorang Muslim wajib memberi nafkah kepada orang yang berada dalam
pemeliharaan, seperti isteri, anak, orang tua dan pembantu.
6. Dimakruhkan menyedekahkan apa yang masih dibutuhkan atau
menyedekahkan seluruh apa yang dimilikinya, sehingga dia tidak terpaksa
meminta-minta kepada orang lain.
7. Sebaik-baik sedekah yaitu sedekah yang diambilkan dari kelebihan harta setelah kebutuhan kita terpenuhi.
8.Memelihara diri dari meminta-minta dan merasa cukup dengan pemberian
Allâh Azza wa Jalla dapat membuahkan rezeki yang baik dan jalan menuju
kemuliaan.
9. Orang yang menjaga kehormatan dirinya (‘iffah), maka Allâh Azza wa Jalla akan menjaganya.
10. Orang-orang yang tidak meminta-minta kepada manusia, maka dia akan mulia.
11. Orang yang qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh Azza wa Jalla karuniakan), dia adalah orang yang paling kaya.
12. Orang yang merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya, maka Allâh Azza wa Jalla akan mencukupinya.
13. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib menghilangkan
ketergantungan hatinya kepada makhluk. Dia wajib bergantung hanya kepada
Allâh Azza wa Jalla .
14. Orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla wajib bertawakkal
hanya kepada Allâh dan merasa cukup dengan rezeki yang Allâh karuniakan.
15. Seorang Mukmin wajib melatih dirinya untuk sabar.
16. Wajib sabar dalam melaksanakan ketaatan, sabar dalam menjauhkan dosa
dan maksiat, serta sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian.
17. Pemberian yang paling baik yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seorang hamba adalah kesabaran.
MARAJI’.
1. Kutubussittah.
2. Musnad Imam Ahmad bin Hanbal.
3. Bahjatun Nâzhiriin Syarh Riyâdhis Shâlihîn.
4. Syarh Riyâdhis Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
5. Bahjatu Qulûbil Abrâr fii Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
6. ‘Idatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVIII/1436H/2014.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110))
[2]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1429) dan Muslim (no. 1033), dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.
[3]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan
ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6281), dari Hubsyi bin Junadah
Radhiyallahu anhu
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 1041), Ahmad (II/231), Ibnu Majah (no.
1838), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 10767), al-Baihaqi
(IV/196), Abu Ya’la (no. 6061), dan Ibnu Hibbân (no. 3384-at-Ta’lîqâtul
Hisân).
[6]. Shahih: HR. Muslim (no. 997), dari Jâbir Radhiyallahu anhu
[7]. Shahih:HR. Muslim(no. 995), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[8]. Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhâri (no. 1469, 6470) dan Muslim (no. 1053 (124)) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[9]. Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri (no. 1473) dan Muslim (no. 1045 (110)).
[10]. Muttafaq ‘alaih: HR.Al-Bukhâri (no. 7405, 7505) dan Muslim (no. 2675) dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu
[11]. Shahih: HR. Muslim (no. 2721), at-Tirmidzi (no. 3489), Ibnu Majah
(no. 3832), dan Ahmad (I/416, 437), dari ‘Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu
[12]. Shahih: HR. Ahmad (II/243, 261, 315), Al-Bukhâri (no. 6446),
Muslim (no. 1051), dan Ibnu Majah (no. 4137), dari Abu Hurairah
Radhyallahu anhu
[13]. Shahih: HR. Muslim (no. 1054) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu
[14]. Shahih: HR. Ahmad (VI/19), at-Tirmidzi (no. 2349), al-Hâkim (I/34,
35), ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (XVIII/786, 787), dan
selainnya dari Fadhâlah bin ‘Ubaid al-Anshâri Radhiyallahu anhu
0 komentar:
Post a Comment