Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
BEBERAPA PERTANYAAN DAN JAWABANNYA
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya : Bagaimanakah pendapat anda
tentang perkataan Umar bin Khatab Radhiyallahu 'Anhu setelah
memerintahkan kepada Ubay bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami
orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan para jama'ah
sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata : "inilah
sebaik-baik bid'ah .... dst".
Jawabnya.
Pertama : Bahwa tak seorangpun di antara kita boleh menentang sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena
Allah Ta'ala berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut
akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih". [An-Nuur : 63].
Imam Ahmad bin Hambal berkata : "Tahukah anda, apakah yang dimaksud
dengan fitnah ?. Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak
sebagian sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan terjadi pada
hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan binasa".
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata : "Hampir saja kalian dilempar
batu dari atas langit. Kukatakan : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan
Umar".
Kedua : Kita yakin kalau Umar Radhiyallahu 'anhu termasuk orang yang
sangat menghormati firman Allah Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallahu
alaihi wa sallam. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada
ketentuan-ketentuan Allah, sehingga tak heran jika beliau mendapat
julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan
kisah perempuan yang berani menyanggah pernyataan beliau tentang
pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya : " ...
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak ..." [1] bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak
jadi melakukan pembatasan mahar.
Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang keshahihahnya, tetapi
dimaksudkan dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa
berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak melanggarnya.
Oleh karena itu, tak patut bila Umar Radhiyallahu 'anhu menentang sabda
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu
bid'ah : "Inilah sebaik-baik bid'ah", padahal bid'ah tersebut termasuk
dalam kategori sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Setiap
bid'ah adalah kesesatan".
Akan tetapi bid'ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai
bid'ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tersebut. Maksudnya : adalah mengumpulkan orang-orang yang mau
melaksanakan shalat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, di
mana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri.
Sedangkan shalat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyidah
Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam
berturut-turut, kemudian beliau menghentikannnya pada malam keempat, dan
bersabda :
((إِنِي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا))
"Sesungguhnya aku takut kalau shalat tersebut diwajibkan atas kamu,
sedanghkan kamu tidak mampu untuk melaksanakannya". [Hadits Riwayat
Al-Bukhari dan Muslim].
Jadi qiyamul lail (shalat malam) di bulan Ramadhan dengan berjamaah
termasuk sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun disebut
bid'ah oleh Umar Radhiyallahu anhu dengan pertimbangan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam
keempat, ada di antara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri,
ada yang melakukannya secara berjama'ah dengan orang banyak. Akhirnya
Amirul Mu'minin Umar Radhiyallahu 'anhu dengan pendapatnya yang benar
mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh
Umar ini disebut bid'ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan
oleh orang-orang sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid'ah,
karena pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid'ah
untuk menyatakan perbuatan bid'ah mereka sebagai bid'ah hasanah.
Mungkin juga di antara pembaca ada yang bertanya : Ada hal-hal yang
tidak pernah dilakukan pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti; adanya
sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti ini
dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal
kebaikan. Lalu bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan
kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
: "Setiap bid'ah adalah kesesatan ?".
Jawabnya : Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan
bid'ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan
sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana
disebutkan dalam kaedah : "Sarana dihukumi menurut tujuannya". Maka
sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan ; sarana
untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan ;
sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu,
suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah
hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta'ala.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan". [Al-An'aam : 108].
Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang yang musyrik adalah
perbuatan hak dan pada tempatnya. Sebaliknya, mejelek-jelekan Rabbul
'Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun,
karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang
musyrik menyebabkan mereka akan mencaci maki Allah, maka perbuatan
tersebut dilarang.
Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan
bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya
ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun
hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana
dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seseorang membangun
gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka
pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila
bertujuan untuk pengajaran ilmu syar'i, maka pembangunannya adalah
diperintahkan.
Jika ada pula yang mempertanyakan : Bagaimana jawaban anda terhadap sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
"Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat
pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru)
perbuatannya itu ..".
"Sanna" di sini artinya : membuat atau mengadakan.
Jawabnya :
Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang
menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai
orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya,
sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau
ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali.
Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau
karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut,
karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "Man sanna fil
Islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan
bid'ah tidak termasuk dalam Islam ; kemudian menyatkan : "sunnah
hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang
baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.
Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "Man Sanna" bisa diartikan pula :
"Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan
pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah
dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang
telah ditinggalkan.
Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits
diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka
beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari
harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus
uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di
hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu
berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.
((مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَم سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ))
" Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia
mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti
(meniru) perbuatannya itu ..".
Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan
(mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi
arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu
: "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau
mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda
beliau : "Kullu bid'atin dhalaalah".
SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM IBADAH
Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai
dengan syari'at dalam enam perkara.
Pertama. Sebab.
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang
tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid'ah dan tidak
diterima (ditolak). Contoh : Ada orang yang melakukan shalat tahajud
pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu
adalah malam Mi'raj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dinaikkan
ke atas langit). Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan
dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas
sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini -yaitu : ibadah
harus sesuai dengan syari'at dalam sebab - adalah penting, karena dengan
demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk
sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.
Kedua. Jenis.
Artinya : ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika
tidak, maka tidak diterima. Contoh : Seorang yang menyembelih kuda untuk
kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam
jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga. Kadar (Bilangan).
Kalau seseorang yang menambah bilangan raka'at suatu shalat, yang
menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid'ah dan
tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari'at dalam
jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima
raka'at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat. Kaifiyah (Cara).
Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan, lalu muka,
maka tidak sah wudhunya karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan
syari'at.
Kelima. Waktu.
Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama
bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak
menurut ajaran Islam.
Saya pernah mendengar bahwa ada orang bertaqarrub kepada Allah pada
bulan Ramadhan dengan menyembelih kambing. Amal seperti ini adalah
bid'ah, karena tidak ada sembelihan yang ditujukan untuk bertaqarrub
kepada Allah kecuali sebagai kurban, denda haji dan akikah. Adapun
menyembelih pada bulan Ramadhan dengan i'tikad mendapat pahala atas
sembelihan tersebut sebagaimana dalam Idul Adha adalah bid'ah. Kalau
menyembelih hanya untuk memakan dagingnya, boleh saja.
Keenam. Tempat.
Andaikata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah
i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula,
andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di
rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak
sesuai dengan ketentuan syari'at, Contoh lainnya : Seseorang yang
melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam
sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf
adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ
"Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf". [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak
termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama. Ikhlas
Kedua. Mutaba'ah.
Dan Mutaba'ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi.
PENUTUP
Penulis berpesan kepada mereka yang terjerat dalam cobaan bid'ah, yang
kemungkinan mempunyai tujuan baik dan menghendaki kebaikan, apabila anda
memang menghendaki kebaikan maka -demi Allah- tidak ada jalan yang
lebih baik daripada jalan para Salaf (generasi pendahulu) Radhiyallahu
'anhum.
Pegang teguhlah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, ikutilah
jejak para salaf shaleh, dan perhatikanlah apakah hal itu akan merugikan
anda .?
Dan kami katakan, dengan sesungguhnya, bahwa anda akan mendapatkan
kebanyakan orang yang suka mengerjakan bid'ah merasa enggan dan malas
untuk mengerjakan hal-hal yang sudah jelas diperintahkan dan
disunnahkan. Jika mereka selesai melakukan bid'ah, tentu mereka
menghadapi sunnah yang telah ditetapkan dengan rasa engggan dan malas.
Itu semua merupakan dampak dari bid'ah terhadap hati.
Bid'ah, besar dampaknya terhadap hati dan amat berbahaya bagi agama.
Tidak ada suatu kaum melakukan bid'ah dalam agama Allah melainkan mereka
telah pula menghilangkan dari sunnah yang setara dengannya atau
melebihinya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh seorang ulama salaf.
Akan tetapi apabila seseorang merasa bahwa dirinya adalah pengikut dan
bukan pembuat syari'at, maka akan tercapai olehnya kesempurnaan takut,
tunduk, patuh dan ibadah kepada Rabbul 'alamien serta kesempurnaan
ittiba' (keikutsertaan) kepada Imamul Muttaqin, Sayyidul Mursalin,
Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Penulis berpesan kepada saudara-saudara kaum Muslimin yang menganggap
baik sebagian dari bid'ah, baik yang berkenan dengan dzat, asma' dan
sifat Allah, atau yang berkenan dengan pribadi dan pengagungan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hendaklah mereka takut kepada
Allah dan menghindari hal-hal semacam itu. Beramalllah dengan didasari
ikhlas dan sunnah, bukan syirik dan bid'ah ; menurut apa yang diridhai
Allah, bukan apa yang disenangi syaitan. Dan hendaklah mereka
memperhatikan apakah yang dapat dicapai oleh hati mereka, berupa
keselamatan, kehidupan, ketenangan, kebahagian dan nur yang agung.
Semoga Allah menjadikan kita sebagai penunjuk jalan yang mendapat
petunjuk-Nya dan pemimpin yang membawa kebaikan, memerangi hati kita
dengan iman dan ilmu, menjadikan ilmu yang kita miliki membawa berkah
dan bukan bencana. Serta semoga Allah membimbing kita kepada jalan para
hamba-Nya yang beriman, menjadikan kita termasuk para auliya-Nya yang
bertakwa dan golongan-Nya yang beruntung.
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi Kita, Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
[Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalis Syar'i wa Khatharil Ibtidaa',
edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah, karya Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin, penerjemah Ahmad Masykur MZ, penerbit
Yayasan Minhajus Sunnah, Bogor - Jabar]
_______
Footnote
[1]. Surah An-Nisa : 20
0 komentar:
Post a Comment