Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Istilah “jilbab gaul”, atau “jilbab modis” ataupun “jilbab keren” tentu
tidak asing di telinga kita, karena istilah-istilah ini sangat populer
dan ngetrend di kalangan sebagian wanita Muslimah. Bahkan tidak sedikit
dari mereka merasa bangga dengan mengenakan jilbab model ini dan
beranggapan ini lebih sesuai dengan situasi dan kondisi untuk jaman
sekarang. Ironisnya lagi, sebagian justru menganggap jilbab yang sesuai
dengan syariat adalah kuno, kaku dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Padahal, Allâh Azza wa Jalla yang mensyariatkan hukum-hukum dalam Islam
lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi
hamba-hamba-Nya, dan Dialah yang mensyariatkan bagi mereka hukum-hukum
agama yang sangat sesuai dengan kondisi pada setiap jaman dan tempat.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Bukankah Allâh yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha
mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
[al-Mulk/67:14]
Bukankah Allâh Azza wa Jalla maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga
tidak ada satu kebaikan pun yang luput dari pengetahuan-Nya, dan tidak
mungkin ada satu keutamaan pun yang lupa disyariatkan-Nya dalam
agama-Nya? Maha suci Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:
لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى
Rabb-ku (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. [Thâhâ/20:52].
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan Rabb-mu (Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tidak mungkin lupa. [Maryam/19:64].
Maha benar Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي
الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ
يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allâh memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an-Nahl/16:90].
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang oleh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Islam pasti mengandung keburukan dan
kerusakan, sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti
membawa manfaat.
Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdis Salam memaparkan keindahan agama Islam ini sebagai berikut :
"…, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya
melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segala
kebaikan dan kemaslahatan, serta melarang mereka dari segala dosa dan
permusuhan. Demikian pula Dia Azza wa Jalla memerintahkan kepada mereka
untuk meraih segala kebaikan (dengan) memenuhi (perintah) dan
mentaati-Nya, serta menjauhi segala keburukan (dengan) berbuat maksiat
dan mendurhakai-Nya, sebagai kebaikan dan anugerah (dari-Nya) kepada
mereka, karena Dia Maha Kaya (dan tidak butuh) kepada ketaatan dan
ibadah mereka. Dia Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan kepada mereka (dalam
Islam) segala hal yang membawa kebaikan dan petunjuk bagi mereka agar
mereka mengerjakannya, serta hal-hal yang membawa keburukan dan
kesesatan bagi mereka agar mereka menjauhinya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menyampaikan kepada mereka bahwa setan adalah musuh bagi mereka agar
mereka memusuhi dan tidak menurutinya. Sehingga Dia Azza wa Jalla
menjadikan segala kebaikan di dunia dan akhirat hanya dicapai dengan
mentaati perintah(-Nya) dan menjauhi perbuatan maksiat (kepada)-Nya”.[1]
Oleh karenanya, berdasarkan keterangan di atas, maka setiap Muslim yang
beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib
meyakini bahwa semua aturan yang ditetapkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala
merupakan kemaslahatan, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan
pakaian dan perhiasan wanita Muslimah adalah untuk kemaslahatan,
kebaikan dan penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan.
Demikian pula dengan pensyariatan jilbab (pakaian yang menutupi semua
aurat secara sempurna)[2] bagi wanita ketika berada di luar rumah dan
hijab atau tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki
yang bukan mahramnya; keduanya bertujuan sangat mulia, yaitu untuk
kebaikan dan menjaga kesucian kaum perempuan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan
isteri-isteri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak
diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[al-Ahzâb/33:59].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kewajiban memakai
jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/ atau
disakiti”.
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa
gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan
timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan
syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh
jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang 'afifah (terjaga
kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya
akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan
merendahkan/melecehkannya. Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai
dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk)
terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”.[3]
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53].
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh berkata, “(Dalam ayat ini)
Allâh mensifati hijab atau tabir sebagai kesucian bagi hati orang-orang
yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau
tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab
atau tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu,
dalam kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak
timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab atau tabir
benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari
orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya”.[4]
Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua perbuatan yang menyelisihi
ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini akan menimbulkan berbagai
kerusakan dan keburukan bagi kaum perempuan bahkan kaum muslimin secara
keseluruhan. Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang
keras perbuatan tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan ketika
berada di luar rumah)[5] bagi kaum perempuan dan menyerupakannya dengan
perbuatan wanita seperti pada jaman Jahiliyah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah
kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan
berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah
yang dahulu. [al-Ahzâb/33:33].
APAKAH WARNA PAKAIAN WANITA TERMASUK PERHIASAN?
Pembicaraan jilbab modis, tentu tak pernah lepas dari pilihan warna
pakaian. Karena antara jilbab dan pakaian hakikatnya merupakan satu
kesatuan dalam hal berpakaian dan berhias. Lantas, apakah warna pakaian
wanita itu juga termasuk dalam kategori perhiasan ?
Dalam hal ini Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:
Ketahuilah, sedikit pun bukan termasuk perhiasan jika pakaian wanita
yang dipakainya berwarna selain putih atau hitam, sebagaimana
persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang (dengan syariat
Islam), hal ini karena dua alasan:
1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya,
“Parfum wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya,”[6]
2. Perbuatan para wanita pada jaman para sahabat Radhiyallahu anhum …,
Kemudian Syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang menjelaskan
bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan di
antara mereka adalah isteri-isteri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam …”[7] .
Dari penjelasan Syaikh al-Albâni rahimahullah di atas, jika digabungkan
dengan pendapat para Ulama lainnya, -beberapa di antaranya telah
dinukilkan- dapat disimpulkan bahwa warna pakaian wanita bukan termasuk
perhiasan yang tidak boleh dinampakkan, dengan syarat warna tersebut
tidak terang dan tidak menyolok sehingga menarik perhatian bagi
laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, Syaikh al-Albani
rahimahullah sendiri menyampaikan keterangan seperti di atas pada
pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat,
yaitu pada syarat kedua bahwa pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan
(bagi wanita yang memakainya) pada zatnya.[8]
Dengan demikian, pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam,
misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang
tidak terang dan menyolok. Meski begitu, sebagian Ulama menegaskan bahwa
warna hitam untuk pakaian wanita itu lebih utama karena lebih menutupi
perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm juga berkata, “Sungguh
pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan
lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian isteri-isteri Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disebutkan dalam hadits
(riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhu
melihatnya (dari kejauhan). Dalam hadits tersebut disebutkan, “…maka
Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam, (yaitu) orang yang sedang tidur
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma )”.
Dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma lainnya, ia
menyebutkan bahwa para wanita Anshâr Radhiyallahu anhum keluar rumah
(dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung
gagak.[9]
SYUBHAT (KERANCUAN/PENGKABURAN) SEPUTAR MASALAH HIASAN PADA PAKAIAN WANITA
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian
kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan
lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya sebagi berikut.
Syubhat Pertama.
Hadits Ummu Khâlid bintu Khâlid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam
Shahîh Imam al-Bukhâri,[10] bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang
bermotif hijau atau kuning dari Negeri Habasyah. Kemudian Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu
Khâlid Radhiyallahu anha , dan beliau bersabda, “Wahai Ummu Khalid, baju
ini sanaah (bagus)”.
Jawaban:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’ân dan hadits Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para Ulama salaf
dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni
rahimahullah,[11] maka kita tidak mendapatkan seorang Ulama pun yang
mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan
pakaian berhias atau bermotif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena
ternyata Ummu Khâlid Radhiyallahu anha yang memakai baju ini pada saat
itu masih kecil. Bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khâlid
Radhiyallahu anha sendiri berkata, “(Waktu itu) aku adalah gadis yang
masih kecil…” Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa
pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam. Sebagaimana yang kita
pahami, bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian
seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa.
Syubhat Kedua.
Atsar yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri[12] dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di Ka’bah.
‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempatnya
tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup. Tidak ada
pembatas antara kami dengannya Radhiyallahu anhuma kecuali penutup itu.
Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian muwarradan
(berwarna mawar/merah)”.
Sebagian orang yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan
‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut, "Aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban:
Sebagaimana hadits yang pertama, maka untuk memahaminya secara benar
harus dikembalikan kepada penjelasan para Ulama yang menerangkan makna
hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah [13] menjelaskan makna ucapan
‘Atha’ Radhiyallahu anhu di atas yaitu “Pakaian gamis yang berwarna
mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ Radhiyallahu anhu bisa
melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena
waktu itu ‘Atha’ Radhiyallahu anhu masih kecil, sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat Imam ‘Abdurrazzaq ash-Shan’âni rahimahullah
bahwa ’Atha’ Radhiyallahu anhu berkata, “(Waktu itu) aku masih kecil”.
Dia juga menjelaskan ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini, maka jelaslah kisah di atas sama sekali
tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan
pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena
alasan-alasan berikut :
• ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda
tempat beliau tinggal sementara waktu dan bukan di luar rumah.
• Pakaian yang dikenakan beliau berwarna merah dan bukan bercorak mawar.
Kalaupun dikatakan bercorak mawar, maka pakaian seperti itu boleh
dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
• ‘Atha’ Radhiyallahu anhu melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai
pakaian tersebut ketika ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu
diperbolehkan.
• Ada kemungkinan ‘Atha’ Radhiyallahu anhu melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan Imam Ibnu Hajar.
Syubhat Ketiga.
Ucapan sebagian orang yang membolehkan hiasan berupa bordiran, renda,
motif dan lain-lain pada pakaian wanita, yang mengatakan bahwa pakaian
seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf
(kebiasaan) masyarakat setempat. Sedangkan pakaian hitam atau berwarna
gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di
Indonesia. Para Ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi
‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban:
Memang benar agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat
tetapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan secara
terperinci dalam syariah. Termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf
dalam syariat adalah, bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi
dalil-dalil shahih dalam syariat.[14]
Syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat
yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian
wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain. Lagipula,
kalau sekiranya ucapan atau syubhat di atas diterima tanpa syarat, maka
ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan
menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan
biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian
mini yang banyak tersebar di masyarakat. Bahkan dengan alasan ini,
akhirnya seseorang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama
sekali, karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih
banyak daripada yang berjilbab; maka ini jelas merupakan kekeliruan yang
nyata.
NASIHAT DAN PENUTUP
Seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari
Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk berpegang teguh dengan agama ini,
hendaklah ia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya.
Karena dengan itu, ia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan hakiki di
dunia dan akhirat. Dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada
semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allâh
dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang
dikumpulkan (oleh manusia)”. [Yûnus/10:58]
Kalimat “karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli
tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “rahmat Allâh”
ditafsirkan dengan “al-Qur'ân”.[15]
Dalam ayat lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allâh, milik
Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui. [al-Munâfiqun/63:8].
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu
berkata, “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allâh
Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita
mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allâh Subhanahu
wa Ta’ala akan menjadikan kita hina dan rendah”.[16]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai
nasihat bagi para wanita Muslimah untuk kembali kepada kemuliaan yang
sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Qawâ'idul Ahkâm, hlm. 2
[2]. Lihat Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 53.
[3]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 489.
[4]. Al-Hijâbu wa Fadha-iluhu, hlm. 3.
[5]. Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang bukan mahram wanita tersebut.
[6]. HR at-Tirmidzi, no. 2788 dan an-Nasa-i, no. 5118; dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[7]. Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 121-123.
[8]. Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 119.
[9]. Kedua hadits di atas riwayat Imam Muslim, no. 2770 dan no. 2128.
[10]. Hadits no. 3661 dan no. 5485.
[11]. Fathul-Bâri, 10/280.
[12]. Hadits no. 1539.
[13]. Fathul Bâri, 3/481.
[14]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel Pedoman
Penggunanaan ‘Urf”, oleh al-Ustadz Anas Burhanuddin, MA, dimuat di
Majalah As-Sunnah, Edisi 09, Th. XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[15]. Lihat keterangan Imam Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/227.
[16]. Riwayat al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 1/130; dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
0 komentar:
Post a Comment