Umat Islam dimanjakan dengan keutamaan-keutamaan sangat agung yang tidak
dinikmati oleh umat-umat sebelumnya. Keistemewaan besar yang mereka
rengkuh dari Allâh Azza wa Jalla berupa kitab suci terbaik, rasul yang
paling utama, ajaran syariat sempurna sekaligus menutup dan menjadi
timbangan bagi ajaran-ajaran para rasul terdahulu. Maka, tidaklah
mengherankan bila umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
umat terbaik sepanjang zaman.
Karunia-karunia besar di atas menjadi menjadi indikator kuat akan
kesempurnaan Islam dengan segenap petunjuk dan ajarannya. Dengan
demikian, bila seseorang komitmen menjalankan petunjuk-petunjuk Allâh
Azza wa Jalla dan petunjuk-petunjuk Rasul-Nya Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka ia pun otomatis berada di atas petunjuk yang
sempurna menuju jalan yang lurus, jalan yang mengantarkan menuju
keridhaan Allâh Azza wa Jalla dan kebahagiaan abadi.
Seiring perjalanan waktu, muncul berbagai macam perkara baru dalam Islam
yang lebih dikenal dengan istilah bid’ah. Sesungguhnya keberadaan
bid’ah-bid’ah hanya menciderai kesempurnaan syariat Islam saja yang
telah disampaikan oleh Nabi akhir zaman, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Bila sifat kesempurnaan sudah melekat kuat dengan syariat
Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengapa ada ajaran,
ritual atau acara-acara baru dalam agama? Bukankah secara logis, terjadi
kontradiksi antara ini dan itu ?!
HADITS PALSU, SALAH SATU SUMBER BID'AH
Salah satu sumber munculnya ‘ibadah baru’ adalah tersebarnya apa yang
dinamakan dengan Hadits Palsu ( الْحَدِيْثُ الْمَوْضُوعُ ) . Meski
menyandang embel-embel kata ‘hadits’ di depannya, namun ia bukanlah
hadits nabawi dari sisi manapun. Sebagaimana kita memahami berita dan
kata yang palsu itu sebagai berita dan kata yang dusta dan tidak pernah
ada. Demikian pula halnya dengan Hadits Palsu, suatu perkataan dusta
yang diada-adakan atas nama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Hadits Maudhu’ (Hadits Palsu) merupakan jenis hadits lemah dan tertolak
yang paling buruk. Imam al-‘Irâqi (wafat 806H ) rahimahullah mengatakan
dalam Alfiyyatul Hadîts :
شَرُّ الضَّعِيْفِ الْخَبَرُ الْمَوْضُوْعُ - الْكَذِبُ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ
Seburuk-buruk hadits lemah adalah hadits palsu
Kedustaan yang diada-adakan lagi dibuat-buat
Maka, membawakan Hadits Palsu kepada orang lain, dengan mengajarkannya,
menyampaikannya atau apalagi mengajak orang untuk mengamalkannya tidak
boleh. Sebab, hakekatnya mengajarkan kedustaan atas nama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya dalam satu kondisi saja, seseorang
boleh menyampaikan Hadits Palsu, yaitu bila ditujukan untuk
memberitahukan kepada orang lain bahwa itu adalah Hadits Palsu, agar
tidak diamalkan.
Bila sudah diketahui bahwa Hadits Palsu, bukan dari Rasulullâh Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang yang mengamalkannya telah
bertaqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla dengan sesuatu yang tidak pernah
disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dengan kata lain, ia tengah melakukan bid’ah.
Karena, cara bertaqarrub kepada Allâh Azza wa Jalla harus mengikuti
petunjuk syariat dalam sisi: (1) adanya dalil yang menunjukkan
pensyariatan ibadah tersebut dan (2) mengikuti tata caranya.
Syarat yang berhubungan erat dengan pembahasan kita kali ini adalah
syarat pertama yang maksudnya adalah ibadah tersebut berlandaskan dalil
syar’i yang shahih. Syaikh Muhammad al-Jîzâni hafizhahullâh menyebut,
pelanggaran terhadap syarat ini di antaranya tampak pada ibadah yang
berdasarkan Hadits yang dusta (Hadits Palsu). [1]
Hal ini berdasarkan kaidah:
كُلُّ عِبَادَةٍ تَسْتَنِدُ إِلَى حَدِيْثٍ مَكْذُوْبٍ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهِيَ بِدْعَةٌ
Setiap ibadah yang bersandar pada hadits yang didustakan terhadap
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hukumnya bid’ah.[2]
Kaedah penting ini berlandaskan satu asas penting dalam Ushuluddin,
yaitu bahwa sesungguhnya prinsip dasar dalam ibadah-ibadah adalah
tauqîf. Pengertiannya, hukum-hukum syariat dan ibadah-ibadah tidak
terbangun kecuali dengan dalil-dalil yang shahih dari al-Qur`ân dan
Sunnah. Sedangkan hadits-hadits yang dipalsukan atas nama Muhammad
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dari Sunnahnya, maka
mengamalkannya membuat si pelaku terjerumus dalam bid’ah, sebab hal itu
merupakan pensyariatan yang tidak diperkenankan oleh Allâh Azza wa Jalla
.
Imam Ibnu Dihyah rahimahullah memperingatkan dalam kitabnya Mâ Jâ`a fî
Syahri Sya’bân, “Wahai hamba-hamba Allâh Azza wa Jalla, berhati-hatilah
terhadap pendusta yang meriwayatkan kepada kalian satu hadits yang ia
kemukakan untuk menerangkan satu kebaikan. Mengamalkan suatu kebaikan
hendaknya merupakan hal yang disyariatkan dari Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apabila telah diyakini (riwayat itu) merupakan
kedustaan, maka keluar dari bingkai perkara yang ditetapkan syariat…”.
[3] .
BEBERAPA CONTOH HADITS PALSU DALAM IBADAH
Al-Khalîl bin Ahmad rahimahullah memaknai kata bid’ah secara bahasa kamus dengan mengatakan:
إِحْدَاثُ شَيْئٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلَا ذِكْرٌ وَلَا مَعْرِفَةٌ
‘(Bid’ah adalah) mengadakan sesuatu yang baru yang tidak pernah dibuat, disebut maupun diketahui sebelumnya’.
Maka, dengan merujuk makna etimologi kata bid’ah sebagaimana disebutkan
oleh al-Khalîl bin Ahmad rahimahullah di atas, maka ibadah-ibadah yang
terkandung dalam Hadits Palsu itu tidak pernah ada sebelumnya, juga
tidak pernah ada yang menyinggung, maupun mengetahuinya sebelumnya.
Berikut Ini Beberapa Contoh Ibadah Yang Berlandaskan Hadits Palsu:
1. Hadits Palsu tentang keutamaan surat-surat al-Qur`an satu persatu.[4]
2. Hadits Palsu tentang shalat raghâib.[5]
3. Hadits Palsu tentang shalat di malam Nishfu Sya’bân.[6]
PENUTUP
Bertolak dari kepalsuan informasi yang dikandung sebuah Hadits Palsu,
maka sudah otomatis jika perintah, larangan, keutamaan dan hakikat yang
termuat di dalamnya tidak boleh dibenarkan dan dipercayai. Sebagaimana
seorang Muslim tidak boleh mempercayai kebenaran satu berita yang telah
diketahui kepalsuannya, apalagi sampai melaksanakan kandungannya.
Wallâhul Hâdi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Qâ’idu Ma’rifati al-Bida’i hlm. 66, 68-69.
[2]. Lihat al-Bâ’its hlm.55-57, al-I’tishâm 1/224-221, Ahkâmul Janâiz
hlm. 242. Nukilan dari Qâ’idu Ma’rifati al-Bida’i DR. Muhammad
al-Jîzâni, ad-Dârul Muttahidah, Cet.I/Th.1423, hlm. 68.
[3]. Dikutip Abu Syâmah dari al-Bâ’its hlm.127. Lihat ‘Ilmu Ushûli al-Bida’i hlm. 155.
[4]. Al-Manâru al-Munîf 113-115.
[5]. Tanzîhu asy-Syarî’ah 2/89-94.
[6]. Al-Manâru al-Munîf 98-99
0 komentar:
Post a Comment