Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ اللهُ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ
أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ
بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ،
رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ
الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ
مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ada dua golongan penghuni
Neraka, yang belum pernah aku lihat, yaitu (1) Suatu kaum yang
memegang
cambuk seperti ekor sapi. Mereka mencambuk manusia dengannya. Dan (2)
wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, ia berjalan
berlenggak-lenggok menggoyangkan (bahu dan punggungnya) dan rambutnya
(disasak) seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk Surga
dan tidak akan mencium aroma Surga, padahal sesungguhnya aroma Surga
itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini Shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2128); Ahmad dalam
Musnad-nya (II/356, 440); Ibnu Hibbân (no. 7418-at-Ta’lîqâtul Hisân);
Al-Baihaqi (II/234) dan dalam Syu’abul Îmân (no. 4972 dan 7414);
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2578); (Lihat Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shahîhah (no. 1326).
KOSA-KATA HADITS:
• كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ maknanya adalah:
1. Berpakaian dari nikmat Allâh dan telanjang dari sikap mensyukurinya.
2. Ada juga yang berpendapat bahwa artinya menutupi sebagian badan dan
membuka sebagian lainnya untuk menampakkan kecantikannya dan keindahan
lainnya.
3. Ada pula yang berkata, “Memakai pakaian tipis (tembus pandang) yang menyerupai warna kulitnya.”
4. Atau berpakaian ketat yang menampakkan bentuk dan lekuk-lekuk tubuhnya.
• مُمِيْلَاتٌ maknanya yaitu:
1. Mereka mengajarkan perbuatan tercela kepada orang lain.
2. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya perempuan yang berjalan dengan sombong dan melenggak-lenggokkan bahu mereka.
• مَائِلَاتٌ adalah perempuan-perempuan yang menyimpang dari ketaatan
kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala pada sesuatu yang seharusnya mereka
jaga.
Ada yang mengatakan bahwa mâ-ilât yaitu menyisir rambut seperti sisiran
pelacur, sedangkan mumîlât yaitu perempuan yang menyisirkan (memakaikan)
model pelacur itu kepada perempuan lainnya.
• رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ maksudnya yaitu
rambut mereka disasak dan diperbesar dengan dililiti sorban atau ikat
kepala dan sebagainya. Ada juga yang berpendapat mereka selalu memandang
laki-laki dan tidak menundukkan pandangan mereka.[1]
SYARAH HADITS
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Ada dua
golongan penghuni Neraka, yang belum pernah aku lihat, yaitu suatu kaum
yang memegang cambuk seperti ekor sapi…”
Para Ulama berkata, “Mereka adalah para polisi yang mencambuk manusia tanpa alasan yang benar.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Mereka
mencambuk manusia dengannya…” yaitu cambuk panjang yang ada bulunya.
Mereka mencambuk manusia tanpa alasan yang benar. Jika mencambuk dengan
alasan yang benar, maka tidak apa-apa seperti dalam firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, cambuklah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allâh jika kamu beriman
kepada Allâh dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman.” [An-Nûr/24:2]
Inilah mencambuk yang dibenarkan bahkan dilarang ada berbelas kasihan
saat melaksanakannya. Namun barangsiapa mencambuk manusia tanpa hak,
maka dia (diancam) termasuk penghuni neraka, wal ‘iyâdzu billâh.
Yang kedua dari penghuni Neraka yaitu, “Wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, ia berjalan berlenggak-lenggok dan kepalanya
dicondongkan seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk
Surga dan tidak akan mencium aroma Surga, padahal sesungguhnya aroma
Surga itu tercium sejauh perjalanan sekian dan sekian.”
Ada yang mengatakan, mereka berpakaian dengan pakaian yang sesungguhnya,
tetapi telanjang dari takwa, karena Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, "…Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik…” (Al-A’râf/7:26).
Berdasarkan pendapat ini, maka hadits ini mencakup semua wanita fasik
dan jahat, walaupun mereka memakai pakaian yang lebar. Karena maksud
dari pakaian yaitu pakaian yang tampak seperti baju, tetapi telanjang
dari takwa.
Ada juga yang mengatakan bahwa kâsiyât ‘âriyât yaitu mereka berpakaian
tetapi tidak menutupi auratnya, karena pakaian itu ketat, atau karena
terlalu tipis jadi tidak menutupi auratnya. Atau bisa jadi karena
terlalu pendek. Dan semua wanita yang memakai seperti pakaian yang
disebutkan, maka dia adalah kâsiyât ‘âriyât (berpakaian tetapi
telanjang).
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Mumîlât (Ia berjalan
berlenggak-lenggok). Mumîlaat sebagaimana yang ditafsirkan sebagian
Ulama bahwa itu adalah model sisiran kesamping yang membuat rambutnya
ada di satu sisi. Ini termasuk condong, karena dia mencondongkan
sisirannya. Apalagi sisiran yang condong ini termasuk kebiasaan
orang-orang kafir. Dengan sebab itulah –wal ‘iyâdzu billâh- sebagian
para wanita menjadi fitnah.
Ada yang mengatakan bahwa mumîlât yaitu penggoda orang lain, saat mereka
keluar rumah dengan tabarruj, memakai minyak wangi, dan sebagainya.
Barangkali lafazh ini mengandung dua makna, karena kaidahnya jika sebuah
nash mengandung dua makna, dan salah satunya tidak lebih rajih dari
yang lain, maka dia mengandung dua makna tersebut. Dan di sini tidak ada
yang lebih rajih dan keduanya tidak saling menafikan, maka lafazh ini
mencakup kedua makna tersebut.
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , مَائِلَاتٌ (Mâ-ilât)…”
yaitu yang menyimpang dari yang hak dan menyimpang dari kewajiban
mereka, seperti rasa malu dan sopan. Kita dapati di pasar, sebagian
wanita berjalan dengan tegapnya seperti laki-laki, bahkan mengalahkan
laki-laki. Para wanita itu berjalan seperti tentara, tanpa peduli dengan
orang lain. Begitu juga saat tertawa dengan teman-temannya, dia
meninggikan suaranya sehingga menimbulkan fitnah. Terkadang saat
belanja, tangannya sengaja menyentuh pelayan toko yang laki-laki dan
terkadang sengaja ia julurkan tangannya agar dipasangkan jam tangan oleh
laki-laki, dan lainnya yang termasuk kerusakan dan fitnah. Seperti ini,
tidak diragukan lagi, mereka adalah orang yang menyimpang dari
kebenaran.
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ
الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ (rambut mereka (disasak) seperti punuk unta yang
condong)” Al-bukht yaitu semacam unta, mempunyai punuk yang tinggi yang
miring ke kanan dan kiri. Para wanita itu meninggikan rambutnya sampai
miring ke kanan dan ke kiri seperti punuk unta yang miring. Sebagian
para Ulama berkata, “Bahkan wanita itu menaruh imâmah (sorban) di atas
kepalanya seperti imâmahnya laki-laki, sehingga kerudungnya terangkat
dan meninggi seperti punuk unta. Dia memperindah kepalanya dengan
keindahan yang menimbulkan fitnah.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا
Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga
Yaitu mereka tidak masuk Surga dan tidak mendekatinya. Padahal aroma
Surga itu tercium sejauh perjalanan tujuh puluh tahun atau lebih. Tetapi
wanita tersebut tidak akan mendekati Surga, wal ‘iyâdzu billâh. Karena
dia keluar dari jalan yang lurus, dia berpakaian tapi telanjang, ia
berjalan berlenggak-lenggok dan kepalanya dimiringkan seperti punuk unta
yang miring, yang bisa membuat fitnah. Maka hadits ini menunjukkan
haramnya hal-hal yang semisal dengan yang disebutkan di atas. Karena itu
semua diancam dengan ancaman terhalang dari masuk Surga. Itu juga
menunjukkan bahwa itu semua termasuk dosa besar.[2]
Hadits ini menjelaskan kepada kita tentang fenomena tabarruj (berpakaian
tapi telanjang). Pada asalnya tabarruj adalah berhias dan bersolek.
Ma’mar Radhiyallahu anhu berkata, “Tabarruj yaitu menampakkan kecantikan
dan keindahannya.”[3]
Tabarruj dalam Islam dilarang keras, karena:
1. Tabarruj termasuk tradisi dan kebiasaan orang jahiliyyah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliah dahulu… [Al-Ahzâb/33:33]
2. Tabarruj termasuk dosa besar, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengabarkan bahwa orang yang tabarruj termasuk calon penghuni
Neraka.
3. Orang bertabarruj mendapatkan laknat dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Dalam satu hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
...نِسَاؤُهُمْ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ عَلَى رُءُوْسِهِمْ كَأَسْنِمَةِ
الْبُخْتِ الْعِجَافِ، اِلْعَنُوْهُنَّ فَإِنَّهُنَّ مَلْعُوْنَاتٌ...
…Wanita-wanita mereka berpakaian tapi telanjang, rambut mereka (disasak)
seperti punuk unta yang kurus. Laknatlah mereka, karena sesungguhnya
mereka itu wanita yang terlaknat…[4]
Oleh karena itu, kepada para wanita Muslimah hendaknya kalian takut
kepada Allâh dalam pakaian kalian. Malulah kepada Allâh. Sifat malu
merupakan sifat yang melekat pada wanita. Malu juga bagian dari iman,
bahkan akhlak Islam yang mulia adalah malu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخُلُقُ الْإِسَلَامِ الْـحَيَاءُ.
Sesungguhnya setiap agama mempunyai akhlak dan akhlak Islam adalah malu.”[5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِّىٌ سِتِّيْرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسِّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Pemalu dan Maha tertutup, Dia
menyukai sikap malu dan tertutup. Karenanya jika salah seorang kalian
mandi, hendaklah (di tempat) tertutup[6]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
اَلْحَيَاءُ وَالْإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ.
Malu dan iman itu berhubungan satu sama lain, jika salah satunya hilang, maka yang lainnya juga hilang.[7]
Setiap Muslimah wajib memakai busana, hijab dan jilbab yang syar’i yang
menutup seluruh tubuhnya, supaya mereka dikenal sebagai wanita Muslimah
yang terhormat dan agar tidak diganggu oleh laki-laki, juga agar
terhindar dari ancaman masuk Neraka.
Beberapa syarat yang perlu diperhatikan dalam berpakaian (mengenakan
busana) Muslimah dan hijab yang sesuai dengan syari’at Islam, yaitu
sebagai berikut :
1. Menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
Wahai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu,
dan isteri-isteri orang Mukmin: “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah
untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” [Al-Ahzâb/33:59]
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma’ binti Abi Bakar Radhiyallahu anhuma :
يَا أَسْمَاءُ! إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا
Wahai Asma’! Sesungguhnya apabila seorang wanita telah haidh (sudah
baligh), maka tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ke wajah dan kedua telapak tangan beliau.[8]
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
…Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat…” [An-Nûr/24:31].
Juga berdasarkan sabda Nabi,
ثَلاثَةٌ لَا تَسْأَلْ عَنْهُمْ: ... وَامْرَأَةٌ غَابَ عَنْهَا زَوْجُهَا
وَقَدْ كَفَاهَا مُؤْنَةَ الدُّنْيَا فَتَبَرَّجَتْ بَعْدَهُ، فَلا
تَسْأَلْ عَنْهُمْ.
Ada tiga golongan, jangan engkau tanya tentang mereka (karena mereka
termasuk orang-orang yang binasa): … dan (3) Seorang wanita yang
suaminya sedang tidak ada, padahal suaminya telah mencukupi keperluan
duniawinya, namun setelah itu ia ber-tabarruj (berpakaian tapi telanjang
dan bersolek untuk laki-laki yang bukan mahramnya), maka janganlah
engkau tanya tentang mereka.[9]
3. Kainnya harus tebal, tidak boleh tipis (transparan). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَيَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ عَلَى
رُؤُوْسِهِنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ، اِلْعَنُوْهُنَّ فَإِنَّهُنَّ
مَلْعُوْنَاتٌ.
Pada akhir ummatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakaian namun
(hakikatnya) mereka telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta.
Laknatlah mereka karena sebenarnya mereka itu wanita yang
terlaknat.[10]
4. Harus longgar dan tidak ketat. Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu
berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberiku baju
Qibthiyah yang tebal (yakni biasanya baju tersebut tipis) yang merupakan
baju yang dihadiahkan Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku
pakaikan kepada isteriku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
‘Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qibthiyah?’ Aku menjawab, ‘Aku
pakaikan baju itu pada isteriku.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam, karena aku
khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tubuhnya.’”[11]
5. Tidak memakai wangi-wangian (parfum). Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, yang artinya, "Siapa pun wanita yang memakai
wangi-wangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar tercium aromanya,
maka ia (seperti) wanita pelacur.” [12]
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata :
لَعَنَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ
لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ.
Rasûlullâh melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.[13]
7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir. Sebab dalam syari’at Islam
telah ditetapkan bahwa kaum Muslimin tidak boleh tasyabbuh (menyerupai)
orang-orang kafir, baik dalam ibadah, hari raya, dan berpakaian dengan
pakaian khas mereka.
8. Bukan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas). Ini berdasarkan
hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِيْ الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيْهِ نَارًا
Barangsiapa mengenakan pakaian syuhrah (untuk mencari popularitas) di
dunia, niscaya Allâh mengenakan pakaian kehinaan kepadanya di hari
Kiamat lalu membakarnya dengan api Neraka.[14]
Pakaian syuhrah adalah pakaian yang dipakai untuk meraih popularitas di
tengah-tengah orang banyak, baik karena mahalnya, seperti yang dipakai
oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun
pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk
menampakkan kezuhudan dan bertujuan untuk riya’.[15] Wallahu A’lam.
9. Diutamakan berwarna gelap (hitam, coklat, dan semisalnya). Mengenai
dianjurkannya pakaian berwarna gelap bagi Muslimah adalah berdasarkan
contoh dari para Shahabat. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap agar
lebih bisa menghindarkan fitnah dari pakaian yang mereka kenakan.
Sangat sempurna apabila jilbab yang dikenakan seorang wanita berkain
tebal dan berwarna gelap.
Di antara hadits yang menyebutkan bahwa pakaian wanita pada zaman
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwarna gelap adalah hadits
yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ (يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ) خَرَجَ
نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤُوْسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ
الْأَكْسِيَةِ.
Tatkala ayat ini turun: ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuhnya’ (QS. Al-Ahzâb/33: 59), maka wanita-wanita Anshar
keluar rumah dalam keadaan seolah-olah di atas kepala mereka terdapat
burung gagak karena pakaian (jilbab hitam) yang mereka kenakan.”[16]
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dibawakan juga
dalam ad-Durr (V/221), berdasarkan riwayat ‘Abdurrazzaq: Abdullâh bin
Humaid, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hâtim, dan Ibnu Mardawaih
dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma dengan lafazh:
مِنْ أَكْسِيَةِ سُوْدٍ يَلْبَسْنَهَا.
Karena pakaian (jilbab) hitam yang mereka kenakan[17]
10. Dilarang memakai pakaian yang terdapat gambar makhluk yang bernyawa.
Larangan ini sebenarnya berlaku untuk laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, kepada para wanita hendaknya segera bertaubat kepada
Allâh Azza wa Jalla sebelum datang kematian. Kepada wanita-wanita yang
belum berjilbab dan belum berbusana Muslimah, hendaknya segera berjilbab
dan berpakaian syar’i. Apa yang kalian tunggu ?! Sebentar lagi kematian
akan datang dan kubur menanti. Ingatlah adzab kubur dan siksa Neraka
yang sangat pedih sekali ! Takutlah kepada Allâh ! Takutlah kepada siksa
Allâh yang sangat pedih !
Kemudian kepada yang sudah berjilbab, sempurnakan jilbab kalian !
Pakailah yang sesuai dengan syari’at ! Jilbab bukan hanya sekedar
penutup kepala saja, tetapi jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh
tubuh sesuai dengan tuntunan syari’at, yang boleh terlihat hanya muka
dan kedua telapak tangan saja. Kalau seorang wanita ingin memakai cadar
(penutup muka), maka ini lebih sempurna lagi. Mengenakan cadar, hukumnya
sunnah seperti yang dijelaskan oleh jumhur Ulama dan dijelaskan oleh
Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitabnya.[18]
Seorang suami hendaknya menasihati isterinya, anak perempuannya, dan
saudara perempuannya dalam masalah pakaian ini agar mereka tidak
melanggar ketentuan syari’at dan menyempurnakannya dengan pakaian
terbaik menurut syari’at Islam. Setiap bapak atau suami wajib menyuruh
isterinya dan anak perempuannya untuk memakai jilbab. Jika tidak, maka
dia berdosa dan bertanggung jawab kepada Allâh pada hari Kiamat. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya, "Wahai orang-orang yang
beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; (At-Tahrîm/66: 6)
Setiap wanita wajib memakai jilbab yang syar’i, supaya ia tidak terjebak
pada istilah-istilah busana Muslimah yang modis dan trendi, yang justru
pada hakikatnya merupakan busana yang menyebabkan mendapat laknat dari
Allâh Azza wa Jalla . Sekarang ini banyak sekali mode-mode busana
Muslimah yang tidak syar’i, tabarruj dan berbusana tapi telanjang.
Bagian atasnya pakai kerudung, bawahnya kaos ketat dan celananya ketat
seperti laki-laki. Ada lagi, bagian atasnya pakai kerudung, tapi bajunya
transparan. Atau atasnya pakai kerudung tipis dan bawahnya terbuka
auratnya. Nas-alullâh al-‘âfiyah.
Mudah-mudahan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah untuk
melaksanakan kewajiban syari’at dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
FAWAA-ID HADITS:
1. Hadits ini termasuk mukjizat kenabian n dan itu sungguh terjadi dan sudah tampak apa yang beliau sabdakan.
2. Ancaman terhadap dua golongan ini yang merupakan calon penghuni Neraka.
3. Ancaman keras bagi orang-orang yang zhalim yang suka membawa cambuk untuk memukul manusia.
4. Haram membantu orang-orang zhalim dalam kezhaliman mereka.
5. Adalah dosa besar, wanita yang berpakaian tapi telanjang.
6. Wanita yang sudah tahu tentang wajibnya pakai jilbab, tetapi dia
masih terbuka auratnya dan tidak berjilbab, maka dia telah berbuat
maksiat dan kemungkaran secara terang-terangan.
7. Pakaian adalah nikmat Allâh yang wajib disyukuri, karena itu wajib
menutup aurat sesuai dengan syari’at Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n
.
8. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus
pandang karena dapat menggambarkan aurat atau menampakkan bentuk tubuh.
9. Busana Muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
10. Tabarruj adalah kebiasaan orang-orang jahiliyyah.
11. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
12. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan
terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki menjadi rusak.
13. Wanita yang berpakaian tapi telanjang pada hakikatnya tidak punya rasa malu, padahal malu adalah bagian dari iman.
14. Wajib bagi suami atau bapak menyuruh isterinya, anak perempuannya,
dan saudara perempuannya untuk memakai busana muslimah, jilbab dan hijab
yang sesuai menurut syari’at Islam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Penjelasan Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat th. 676 H) dalam
kitab Riyâdhus Shâlihîn hadits no. 1633 dengan sedikit tambahan dari
penulis. Lihat juga Syarhus Sunnah karya Imam al-Baghawi (X/271-272) dan
Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhis Shâlihîn (III/150-151).
[2]. Syarh Riyâdhis Shâlihîn (VI/372-375), karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahulllah.
[3]. Fat-hul Bâri (VIII/519), cet. Daarul Fikr.
[4]. Shahîh : HR. Ahmad (II/223) dan al-Hâkim (IV/436) dari ‘Abdullah
bin ‘Amr Radhiyallahu anhu. Al-Hâkim menshahihkannya. Syaikh Ahmad
Syâkir rahimahullah juga menshahihkannya dalam Ta’lîq Musnad Imam Ahmad
(VI/490, no. 7083). Dishahihkan juga oleh al-Albani rahimahullah dalam
Silsilah as-Shahîhah (no. 2683).
[5]. Hasan: HR. Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul
Shaghîr (I/13-14, cet. Darul Fikr) dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
. Hadits ini hasan, lihat Silsilah as-Shahîhah (no. 940).
[6]. Shahîh: HR. Abu Dawud (no. 4012) dari Ya’la Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.
[7]. Shahîh: HR. Al-Hakim (I/22), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’
(IV/328, no. 5741), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Îmân (no. 7331) dari
shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Al-Hâkim menshahihkannya dan
disetujui oleh adz-Dzahabi. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam
Shahîh al-Jâmi’is Shaghîr (no. 1603 dan 3200).
[8]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4104) dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Lihat takhrij lengkap hadits ini dalam ar-Raddul Mufhim (hlm. 79-102)
karya syaikh al-Albani.
[9]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 590), Ahmad
(VI/19), al-Hâkim (I/119), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr
(XVIII/no. 788), Ibnu Abi ‘Âshim dalam as-Sunnah (no. 89), dan Ibnu
Hibbân (no. 50-Mawârid dan no. 4541-at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Fadhalah
bin ‘Ubaid Radhiyallahu anhu . Lihat Shahîh al-Jâmi’is Shagîr (no. 3058)
dan Silsilah as-Shahîhah (no. 542).
[10]. Shahîh: HR. At-Thabrani dalam al-Mu’jamus Shaghîr (II/127-128)
dari hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma . Syaikh al-Albani berkata
dalam Jilbâb al-Mar-atil Muslimah (hlm. 125), “Diriwayatkan oleh
at-Thabrani dalam al-Mu’jamus Shaghîr (hlm. 232) dari hadits Ibnu ‘Umar
dengan sanad Shahîh.”
[11]. Hasan: HR. Adh-Dhiyâ’ al-Maqdisi dalam al-Ahâdîts al-Mukhtârah (IV/149, no. 1365).
[12]. Hasan: HR. Ahmad (IV/400, 414, 418), an-Nasa-i (VIII/153), Abu
Dâwud (no. 4173), at-Tirmidzi (no. 2786), dan Ibnu Hibbân (no.
4407-at-Ta’lâqâtul Hisân), dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhuma .
[13]. Shahîh: HR. Abu Dawud (no. 4098), Ibnu Majah (no. 1903), al-Hakim
(IV/194), dan Ahmad (II/325) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma.
Lihat Jilbâb al-Mar-atil Muslimah (hlm. 141).
[14]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4029) dan Ibnu Mâjah (no. 3607) dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Jilbâb al-Mar-atil Muslimah (hlm.
213-215).
[15]. Jilbâb al-Mar-atil Muslimah (hlm. 213).
[16]. Shahîh: HR. Abu Dawud (no. 4101).
[17]. Jilbâb al-Mar-atil Muslimah (hlm. 82-83).
Sebagian ulama membolehkan seorang Muslimah berpakaian selain warna
hitam. Akan tetapi harus diingat bahwa warna selain hitam tersebut bukan
sebagai perhiasan seperti yang dilakukan para Muslimah sekarang ini,
kecuali yang dirahmati Allah; di mana mereka mengenakan pakaian dengan
warna dan model yang beraneka ragam sehingga menarik perhatian orang
banyak.
[18]. Jilbâb al-Mar-atil Muslimah fil Kitâbi was Sunnah dan ar-Raddul
Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamâ’ wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzamal
Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Awjaba wa lam Yaqna’ bi
Qaulihim: Innahu Sunnah wa Mustahab.
0 komentar:
Post a Comment