Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah
dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia
berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah.
[1]
Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat
keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui
bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya,
ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu
Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia
tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan
mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat
Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta
berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka
orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang
yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]
"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap
syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang
hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh
Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin.
Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan."
[3]
Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah
disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi
melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, meng-hendaki, dan
menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar
mentaati-Nya dan melarang bermaksiat kepada-Nya, lalu ia melakukan
ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik
kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka
hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya
dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia
melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia
beristighfar dan bertaubat.
Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan
duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan
ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika
berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah
ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang
diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu
semua terjadi dengan qadar Allah Azza wa Jalla, dan bahwa apa yang
menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya
tidak akan pernah menimpanya.
"Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang
diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal
ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali
bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah
Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan
kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya." [4]
Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui detil
pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keima-nan secara global
ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama'ah -sebagaimana yang
dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang
diwajibkan atas orang yang mampu.
Alhamdulillaah, selesailah pembahasan kita mengenai dalil-dalil
syari'at, fitrah, akal, dan secara inderawi, yang tidak ada kontradiksi
di dalamnya dan tidak ada kesamaran.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat, Jaami'ur Rasaa-il, Ibnu Taimiyyah, (II/341) dan lihat, Dar' Ta'aarudhil 'Aql wan Naql, (VIII/405).
[2]. Lihat, al-Fataawaa, (VIII/64) dan Thariiqul Hijratain, hal. 170.
[3] At-Tuhfah al-Mahdiyyah fii Syarh ar-Risaalah at-Tadmuriyyah, Syaikh
Falih bin Mahdi, (II/140) dan lihat, Taqriib at-Tadmuriyyah, Syaikh Ibnu
'Utsaimin, hal. 119.
[4]. Majmuu'ul Fatawaa, (VIII/97).
0 komentar:
Post a Comment