Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul-Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعيْنَ
Dari Anas, ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah sempurna imannya salah seorang di antara kalian hingga aku
lebih dicintai melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya, dan
seluruh manusia”.[1]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini Shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 15), Muslim (no.
44), Ahmad (III/275), an-Nasâ`i (VIII/114-115), IbnuMajah (no. 67), Abu
‘Awanah (I/33), ad-Darimi (II/307), ‘Abd bin Humaid (no. 1.173), Abu
Ya’la (no. 3039, 3245), Ibnu Hibban (no. 179-at-Ta’lîqâtul-Hisân), Ibnu
Mandah (no. 284, 285), al-Baihaqy dalam Syu’abul-Îmân (no. 1311, 1312),
al-Baghawy dalam Syarhus-Sunnah (no. 22), dan lainnya.
KOSA KATA HADITS
• فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ : demi Allâh, yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Penggalan hadits di atas merupakan dalil dibolehkannya
bersumpah demi menegaskan suatu perkara penting, meskipun tidak ada
permintaan untuk bersumpah.
• لَا يُؤْمِنُ : tidak beriman, maksudnya adalah tidak bisa meraih iman yang sempurna.
• مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ : daripada orang tua dan anaknya sendiri.
SYARH HADITS
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus oleh Allâh Subhanahu wa
Ta’ala untuk menjelaskan syari’at Islam, dan syari’at Islam yang
terbesar adalah syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat
(أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله).
Begitu agung dan mulianya kedudukan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada para hamba-Nya
untuk memenuhi hak-hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
melaksanakan kewajiban atas beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antaranya adalah mengagungkan dan mencintai Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan kepada manusia selain beliau,
bahkan melebihi kecintaan kepada diri hamba itu sendiri.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh,
ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allâh
itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali ‘Imrân/3:31].
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang mengaku mencintai Allâh Ta’ala
wajib mengikuti jalan, syari’at dan agama yang dibawa oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap keyakinan, ucapan, dan
perbuatannya.
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H): “Ayat ini
adalah sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai
Allâh namun tidak mau menempuh jalan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , maka orang itu telah berdusta dalam pengakuannya tersebut
sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya,
sebagaimana terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim,
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak”[2]
Oleh karena itu, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
[Katakanlah (wahai Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allâh,
ikutilah aku, niscaya Allâh mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allâh
itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang]. Kalian akan mendapatkan apa
yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan
Allâh kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama,
sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama: “Yang penting adalah bukan
bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh
Allâh”[3].
Sesungguhnya di sana ada dua masalah. Yang pertama kita mencintai Allâh
dan yang kedua Allâh mencintai kita. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir,
bahwa Allâh mencintai kita itulah yang paling besar, tetapi bagaimana
supaya kita bisa dicintai oleh Allâh? Setiap kita bisa mencintai, namun
tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allâh
adalah dengan ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan ulama Salaf lainnya mengatakan:
“Sebagian manusia mengatakan mencintai Allâh, maka Allâh menguji mereka
dengan ayat ini”.[4]
Al-‘Allamah Ibnul-Qayyim rahimahullah (wafat th.751 H) berkata: “Setiap
kecintaan dan pengagungan kepada manusia hanya dibolehkan dalam rangka
mengikuti kecintaan dan pengagungan kepada Allâh. Seperti mencintai dan
mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sesungguhnya ia
adalah penyempurna kecintaan dan pengagungan kepada Rabb yang
mengutusnya. Ummatnya mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena Allâh telah memuliakannya. Maka kecintaan ini adalah karena Allâh
sebagai konsekuensi dalam mencintai Allâh”.[5]
Mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya adalah
wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar dalam agama. Tidak sempurna
iman seorang hamba melainkan apabila ia telah mencintai Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar. Dan cinta kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan cabang iman dan termasuk
kecintaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Dari ‘Abdullâh bin Hisyam, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، لَأَنْتَ
أَحَبُّ إِلَـيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِيْ ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لَا، وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ حَتَّى
أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ : فَإِنَّهُ
الْآنَ ، وَاللهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَـيَّ مِنْ نَفْسِـيْ ، فَقَالَ
النَّبِـيُّ صلى الله عليه وسلم : اَلْآنَ ، يَا عُمَـرَ.
“Kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau dalam
keadaan memegang tangan ‘Umar bin al-Khaththab. Kemudian ‘Umar berkata
kepada beliau, ‘Wahai Rasûlullâh, sungguh engkau lebih aku cintai dari
segala sesuatu kecuali diriku,’ naka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Tidak! Demi Dzat (Allâh) yang diriku berada di tangan-Nya,
sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri,’ lalu ‘Umar pun
berkata, 'Sekaranglah! Demi Allâh, sungguh engkau lebih aku cintai dari
diriku sendiri,’ kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sekaranglah wahai ‘Umar (engkau benar)’.”[6]
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : مَتَى السَّاعَةُ ،
يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : مَا أَعْدَدْتَ لَـهَا ؟ قَالَ : مَا
أَعْدَدْتُ لَـهَا مِنْ كَثِيْرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ ،
وَلٰكِنِّـيْ أُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ، قَالَ : أَنْتَ مَعَ مَنْ
أَحْبَبْتَ.
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , “Wahai Rasûlullâh, kapan terjadinya hari kiamat?” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau siapkan
untuknya?” Dia pun menjawab, “Aku tidak banyak melakukan (amal-amal
sunat) berupa shalat, puasa, maupun sedekah, melainkan aku mencintai
Allâh dan Rasul-Nya,” maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Engkau bersama siapa yang engkau cintai!”[7]
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata:
فَأَنَا أُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ فَأَرْجُوْ
أَنْ أَكُوْنَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِـهِمْ.
(Sungguh, aku mencintai Allâh dan Rasul-Nya, juga Abu bakar dan ‘Umar.
Aku berharap bisa bersama mereka walaupun aku belum beramal dengan
amalan mereka).[8]
Mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan adanya
ittiba’ (wajib mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), wajib
adanya penghormatan, ketundukan dan keteladanan kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta mendahulukan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk, mengagungkan
sunnah-sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjauhkan
segala macam bentuk syirik dan bid’ah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan
Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. [al-Hujurât/49:1].
Tentang tafsir ayat ini, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th.
1751 H) berkata: “Melalui ayat-ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala
membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman tentang cara bergaul dan
berhubungan dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari cara
menghargai, menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau. Dimana
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ (hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya), maksudnya,
janganlah kalian tergesa-gesa melakukan segala sesuatu sebelum
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tetapi jadilah kalian semua
sebagai pengikutnya dalam segala hal. Sehingga ia masuk ke dalam
keumuman adab syar’i agama ini”.[9]
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata tentang ayat ini, ”Janganlah
kalian berkata sampai iaberkata, janganlah kalian memerintah sampai ia
memerintah, janganlah kalian berfatwa sampai ia berfatwa, dan janganlah
kalian memutuskan suatu perkara sampai ia yang berhukum kepadanya dan
melaksanakannya.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu‘Abbas Radhiyallahu
anhu, “Janganlah kalian berkata menyelisihi al-Kitab (al-qur`ân) dan
as-Sunnah.”
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ
صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih
dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras
sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak
menyadari. [al-Hujurât/49:2]
Jika mengangkat suara di atas suaranya, bisa menyebabkan terhapusnya
amal-amal, lalu bagaimanakah dengan mereka yang mendahulukan
pendapat-pendapat mereka, akal-akal mereka, perasaan mereka,
politik-politik mereka, dan pengetahuan-pengetahuan mereka atas apa yang
sudah datang kepada mereka (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam )
dan mereka mengangkat atasnya ? Bukankah ini yang lebih pantas
menjadikan amal-amal mereka terhapus?[10]
Beliau berkata lagi, “Apabila Allâh melarang mendahulukan di
hadapan-Nya, dan larangan mana yang lebih keras daripada orang yang
mendahulukan akalnya atas wahyu dan apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Berkata ulama Salaf, 'Janganlah kalian
berkata hingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, janganlah
kalian berbuat sehingga beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat.'
Dan diketahui secara pasti bahwa orang yang mendahulukan akalnya dan
akal orang lain dari apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam maka dia adalah manusia yang paling durhaka kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , paling keras dalam mendahulukan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala
melarang mereka untuk mengangkat suara mereka di atas suara beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka bagaimanakah seseorang yang
mengangkat )mendahulukan) akal-akal mereka di atas perkataannya dan apa
yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sudah diketahui secara
pasti bahwa tidak ada yang melakukan perbuatan yang demikian pada zaman
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali orang-orang kafir dan
munafik. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang mereka yang
menentang dengan akal dan ra’yu mereka terhadap apa yang dibawa oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka jadilah penentangan itu
sebagai warisan bagi orang-orang yang seperti mereka".[11]
Wallâhul-Musta’ân.
Oleh karena itu, apabila sudah datang dalil dari al-Qur`ân dan as-Sunnah
yang shahih maka wajib bagi setiap muslim dan muslimah tunduk kepada
dalil. Kita wajib berhukum dengan apa yang diputuskan Allâh dan
Rasul-Nya, tidak boleh menolak dalil dari al-Qur`ân dan as-Sunnah, baik
menolaknya dengan akal, ra’yu, hawa nafsu, perasaan, perkataan seorang
Syaikh, imam atau lainnya.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allâh dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil-Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allâh (al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb-mu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau
(Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
(sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
[an-Nisâ`/4:65].
Apabila sudah dibawakan dalil/hujjah dari al-Qur`ân dan as-Sunnah dan
penjelasan ulama salaf, tetapi mereka masih menolak dengan akalnya, hawa
nafsunya, dan lainnya; maka ketahuilah bahwa mereka pada hakikatnya
mengikuti hawa nafsu.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ
أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى
مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa
mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih
sesat daripada orang yang mengikuti keinginannya tanpa mendapat petunjuk
dari Allâh sedikit pun? Sungguh, Allâh tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zhalim. [al-Qashash/28:50].
FAWÂ-ID
1. Setiap mukmin dan mukminah wajib mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tidak dikatakan beriman, seseorang yang tidak mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Wajib mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan
kepada orang tua, anak, istri, harta dan seluruh manusia.
4. Konsekuensi cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
dengan kita ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan berbuat bid’ah.
5. Konsekuensi cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
dengan mentaati apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
perintahkan, menjauhkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
larang, membenarkan apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sabdakan, danwajib kita beribadah menurut apa yang beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam syari’atkan.
6. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
menjalankan perintah-perintah beliau dan menjauhi larangan-larangannya.
Perintah yang paling besar adalah menjalankan tauhid dan larangan
syirik.
7. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
menjalankan dan menghidupkan sunnah-sunnahnya dan menjauhkan
perbuatan-perbuatan bid’ah.
8. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu
melaksanakan syari’at agama Islam dan membela sunnahnya dari orang-orang
yang menentang Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu dengan
memuliakan isteri-isterinya, keluarganya yang beriman, anak
keturunannya. Tidak boleh mencela isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam karena mereka termasuk Ahlul-Bait dan Ummahâtul-Mukminin.
Mereka adalah isteri-isteri beliau di dunia dan akhirat.
10. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu
mencintai para sahabat c karena Allâh dan Rasul-Nya ridha kepada mereka
dan tidak boleh sekali-kali ada orang yang mencela para sahabat.
Hukumnya dosa besar.
11. Melaksanakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bukan sebagai tanda cinta kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Karena hal ini tidak dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya. Setiap yang bid’ah dibenci oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam .
12. Tanda cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu
membanyakkan shalawat dan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan shalawat dan salam yang sesuai dengan Sunnah.
13. Cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan seseorang merasakan manisnya atau lezatnya iman.
14. Orang yang membenci atau menghina beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka dadanya akan sempit, gelap, dan hidupnya akan sengsara serta
akan disiksa dengan siksa yang pedih.
15. Kebaikan dunia dan akhirat dengan mencintai Allâh dan Rasul-Nya,
mentaati Allâh dan Rasul-Nya, dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.
16. Kerusakan yang terjadi di dunia di sebabkan karena tidak taat kepada Allâh dan Rasul-Nya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1435H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله
عليه وسلم قَالَ: ((فَوَالَّذِيْ نَفْسِـيْ بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ
أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ)).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat (Allâh) yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga
menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya dan anaknya”.
Shahih. HR al-Bukhâri (no. 14), an-Nasa`i (VIII/115), Ibnu Mandah (no. 287), dan lainnya.
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2.697), Muslim (no. 1.718), Abu Dawud
(no. 4.606), dan Ibnu Majah (no. 14), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma.
[3]. Tafsîr Ibnu Katsir (II/32), Daar Thaybah, th. 1428 H.
[4]. Tafsîr Ibnu Katsir (II/32), DaarThaybah, th. 1428 H.
[5]. Jalâ`ul-Afhâm fî Fadhlish-Shalâti was-Salâm ‘alâ Muhammad Khairil-Anâm (hlm. 297-298), tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6.632).
[7]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6.171), Muslim (no. 2639), at-Tirmidzi (no. 2.385), dan ini lafazh al-Bukhâri.
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 2.639 (163)).
[9]. Tafsîr Ibnu Katsir (VII/364), cet. Dâr Thaybah.
[10]. I’lâmul-Muwaqqi’în (II/94), Imam Ibnul-Qayyim, ta’liq dan takhrij: Syaikh Masyhur Hasan Salman.
[11]. Ash-Shawâ’iq al-Mursalah ‘alal Jahmiyyah wal-Mu’aththilah
(III/996-997), Imam Ibnul-Qayyim, tahqiq, takhrij dan ta’liq: Dr. Ali
bin Muhammad ad-Dakhilullâh.
0 komentar:
Post a Comment