Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كادَ الفَقْرُ أنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja kefakiran (kemiskinan) itu
menjadi kekafiran.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Imân
(no. 6612), Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Hilyatul Auliyâ’ (3/53 dan
109), al-Qudha-‘i dalam Musnadusy Syihâb (no. 586),
al-‘Uqaili dalam
adh-Dhu’afâ’ (no. 1979) dan Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil (7/236), semuanya
dari berbagai jalur, dari Yazid bin Abân ar-Raqa-syi, dari Anas bin
Mâlik Radhiyallahu anhu , dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Hadits ini adalah hadits lemah, karena dalam sanadnya ada Yazid bin Abân
ar-Raqa-syi. Dia dinyatakan lemah oleh para Ulama ahli hadits, seperti
Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, an-Nasa-i, ad-Daraquthni[1], adz-Dzahabi[2]
dan Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.[3]
Hadits ini dihukumi lemah, karena lemahnya perawi di atas, oleh Imam
Ibnul Jauzi[4] , al-‘Iraqi[5] dan as-Sakhawi[6] . Sedangkan Syaikh
al-Albani, beliau menghukuminya sebagai hadits palsu, karena dalam sanad
yang beliau nukil ada rawi yang suka memalsukan hadits.[7] Di tempat
lain, beliau menghukumi hadits ini sebagai hadits yang lemah.[8]
Hadits ini juga diriwayatkan dari jalur lain, dari Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
dengan redaksi yang senada. Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul Ausath (4/225, no. 4044).
Tapi hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama
‘Amr bin ‘Utsmân al-Kilâbi yang dinyatakan lemah oleh Imam
adz-Dzahabi[9] dan Ibnu Hajar[10] , bahkan Imam al-Haitsami mengatakan
bahwa dia ditinggalkan (riwayat haditsnya karena kelemahannya yang
fatal).[11] Hadits ini dinyatakan lemah oleh Imam al-‘Iraqi[12] dan
al-Haitsami[13] .
Hadits ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Umar bin
al-Khattab Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Dikeluarkan oleh Imam ath-Thabrani dalam ad-Du’â’ (hlm.
319-320, no. 1048) dan al-‘Uqaili dalam adh-Dhu’afâ’ (no. 1978). Namun,
hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama
Ma’mar bin Zaidah. Seorang rawi yang lemah dan riwayat haditsnya tidak
didukung dengan riwayat lain, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam
al-‘Uqaili. Dengan sebab inilah beliau menghukumi hadits ini sebagai
hadits yang lemah[14].
Hadits ini juga diriwayatkan dari Shahabat lain, yaitu ‘Ali bin Abi
Thâlib Radhiyallahu anhu dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, tapi kedua
hadits ini sangat lemah dan palsu.[15]
Kesimpulannya, hadits ini lemah dari semua jalur periwayatannya[16] ,
bahkan sebagiannya sangat lemah dan palsu, sebagaimana penjelasan di
atas.
Karena hadits ini lemah maka tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil
(argumentasi) untuk menetapkan bahwa miskin harta itu tercela dan mudah
menyeret kepada kekafiran.
Syaikh al-Qari berkata tentang hadits ini, “Hadits ini sangat lemah,
kalaupun dianggap shahih, maka maknanya dibawa kepada arti miskin hati
(hati yang tidak qana’ah yaitu tidak puas dengan pemberian Allâh Azza wa
Jalla ). Hati yang ini akan melahirkan sifat berkeluh kesah dan takut
(miskin). Ini juga menimbulkan sifat tidak ridha dengan ketentuan takdir
Allâh dan menolak pembagian (rezki dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala) Yang
maha menguasai langit dan bumi. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya
kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah
kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[17]
Bertolak belakang dengan hadits di atas, hadits shahih dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan orang miskin
dan tidak punya harta dengan syarat dia bersabar dalam kemiskinannya dan
selalu bersangka baik kepada Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana juga
banyak hadits shahih yang menyebutkan keutamaan orang kaya dan memiliki
banyak harta dengan syarat dia bersyukur dan menggunakan hartanya di
jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, "Telah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan kebanyakan (Ulama) jaman sekarang tentang
siapakah yang lebih utama: orang kaya yang bersyukur ataukah orang
miskin yang bersabar ? Sebagian Ulama dan ahli ibadah menguatkan
pendapat pertama (kaya bersyukur lebih utama), sementara Ulama dan ahli
ibadah lainnya menguatkan pendapat kedua (miskin yang bersabar lebih
utama). Kedua pendapat ini (juga) dinukil dari Imam Ahamad.
Adapun para Shahabat dan Tabi'in Radhiyallahu anhum, maka tidak ada satupun nukilan dari mereka tentang masalah ini.
Sekelompok ulama lainnya berkata, "Masing-masing dari keduanya tidak ada
yang lebih utama dibanding yang lain kecuali dengan ketakwaan.
Inilah pendapat yang paling benar, karena dalil-dalil dari al-Qur’ân dan
hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa keutamaan
manusia di sisi Allâh Azza wa Jalla diraih dengan iman dan takwa. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا
Jika ia kaya atau miskin, maka Allâh lebih tahu (keadaan) keduanya [an-Nisâ'/4:135]
Di antara para Nabi Alaihissallam dan para Shahabat Radhiyallahu anhum
yang terdahulu dan pertama-tama masuk Islam, ada orang-orang kaya yang
keutamaannya di sisi Allâh lebih besar dibandingkan kebanyakan
orang-orang miskin setelah mereka. Namun ada juga orang miskin yang
keutamaannya lebih besar dibandingkan kebanyakan orang-orang kaya
setelah mereka.
Orang-orang yang bagus iman dan takwanya akan mampu menegakkan dua sifat
agung yaitu syukur dan sabar secara sempurna (dalam semua kondisi),
seperti gambaran yang ada pada diri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan pada diri (dua Sahabat) Abu Bakar Radhiyallahu anhu dan
‘Umar Radhiyallahu anhu.
Terkadang seseorang lebih jika diberi kemiskinan (namun dalam keimanan),
sementara orang lain lebih baik jika mendapatkan kekayaan, sebagaimana
kesehatan lebih baik bagi sebagian manusia dan penyakit lebih baik bagi
yang lain…”[18]
Pendapat inilah yang dipilih oleh dua murid Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, yaitu Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah[19] dan Imam Ibnu Muflih
al-Maqdisi[20].
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVII/1435H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Semuanya dinukil oleh Imam Ibnu Hajar dalam Tahdzîbut Tahdzîb (32/67-69).
[2]. Kitab al-Kâsyif (2/380).
[3]. Kitab Tahdzîbut Tahdzîb (hlm. 599).
[4]. Kitab al’Ilalul Mutanâhiyah (2/804).
[5]. Takhrîju Ahâdîtsil Ihya’ (no. 3152).
[6]. Kitab al-Maqâshidul Hasanah (hlm. 497).
[7]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (4/377, no. 1905).
[8] Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (9/77, no. 4080).
[9]. Kitab al-Kâsyif (2/83).
[10]. Kitab Tahdzîbut Tahdzîb (hlm. 424).
[11]. Kitab Majma’uz Zawâ-id (8/149).
[12]. Takhrîju Ahâdîtsil Ihya’ (no. 3152).
[13]. Kitab Majma’uz Zawâ-id (8/149).
[14]. Kitab adh-Dhu’afâ’ (no. 1978).
[15]. Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah (9/78).
[16]. Lihat kitab Faidhul Qadîr (4/542)
[17]. HR al-Bukhâri (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[18]. Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim t dalam Uddatush Shâbirîn (hlm. 149-150).
[19]. Dalam kitab Uddatush Shâbirîn (hlm 146 dan 149).
[20]. Dalam kitab al-Âdâbusy Syar'iyyah (3/468-469).
0 komentar:
Post a Comment