Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: رِضَا الرَّبِّ فـِيْ رِضَا
الْوَالِدِ وسَخَطُ الرَّبِّ فِـيْ سَخَطِ الْوَالِدِ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu,dari Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ridha Allâh tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka
Allâh tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini hasan. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad,
no. 2; at-Tirmidzi, no. 1899; al-Bazzar dalam Musnad-nya, no. 2394; Ibnu
Hibbân (no. 2026–al-Mawârid dan no. 430-at-Ta’lîqâtul Hisân); al-Hâkim,
IV/151-152; al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3423 dan 3424
Lihat Shahîh al-Adabil Mufrad (no. 2) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 516).
KOSA KATA HADITS:
• رِضَا : Yaitu rela, lawan dari murka. Keridhaan Allâh adalah salah
satu sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang sesuai dengan kemuliaan-Nya
dan kita meyakini dan menetapkan bahwa sifat tersebut memiliki hakikat
yang sesuai dengan keagungan-Nya (bukan sekedar sifat yang kosong dari
hakikat-red). (Kita meyakininya-red) tanpa memikirkan bagaimana
hakikatnya. kita menetapkan hakikatnya yang sesuai dengan kemuliaan-Nya
serta tidak memikirkan kaifiyat(cara)nya.
• سَخَطٌ : Yaitu murka. Kemurkaan Allâh adalah salah satu sifat Allâh
Azza wa Jalla yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan. Oleh
karena itu, kita meyakini dan menetapkan dengan sebenar-benarnya bahwa
sifat Allâh Azza wa Jalla ini memiliki hakikat, dan kita serahkan
(pengetahuan-red) tentang hakikat sifat tersebut kepada Allâh Azza wa
Jalla. kita menetapi hakikatnya untuk Allâh Ta’ala dengan penetapan yang
hakiki dan menyerahkan urusan dan kaifiyatnya kepada Allâh Ta’ala. [1]
• اَلْوَالِد : Arti makna asalnya adalah bapak, namun dalam hadits di
atas, yang dimaksud adalah kedua orang tua, sebagaimana disebutkan dalam
riwayat lain dengan kata al-wâlidain (kedua orang tua).
SYARH HADITS
Hadits ini menunjukkan keutamaan dan kewajiban berbakti kepada kedua
orang tua, yang menjadi sebab mendapatkan ridha Allâh Azza wa Jalla .
Hadits ini juga mengandung peringatan keras dan keharaman durhaka kepada
keduanya, yang bisa menyebabkan Allâh Azza wa Jalla murka.
Tidak diragukan lagi, ini merupakan wujud kasih sayang Allâh Azza wa
Jalla kepada kedua orang tua dan anak-anak. Karena dengan ini, terjalin
hubungan yang sangat erat. Tidak ada satupun hubungan yang serupa
dengannya. Kebaikan orang tua tidak bisa disamai oleh kebaikan makhluk
manapun. dan juga kebutuhan anak-anak untuk berbakti kepada keduanya
adalah hak yang pasti, sebagai balasan atas kebaikan keduanya, untuk
memperoleh ganjaran, dan pembelajaran untuk keturunan mereka agar
memperlakukan mereka seperti perlakuan mereka terhadap orang tua mereka.
Inilah sebab-sebab yang menjadikan keridhaan kedua orang tua berkaitan
erat dengan keridhaan Allâh Azza wa Jalla , begitu juga dengan kemurkaan
orang tua sangat berkaitan dengan kemurkaan Allâh.[2]
ORANG TUA RIDHA APABILA ANAKNYA TAAT KEPADANYA
Taat kepada kedua orang tua adalah hak orang tua atas anak sesuai dengan
perintah Allâh dan Rasul-Nya selama keduanya tidak memerintahkan kepada
perbuatan maksiat atau hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan atau
syari’at Allâh dan Rasul-Nya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ لِأَحَدٍ فِـيْ مَعْصِيَةِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Tidak boleh taat kepada seorang pun dalam berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla (Yang Mahasuci dan Mahatinggi)[3]
Berbakti dan taat kepada orang tua terbatas pada perkara yang ma’rûf
(perbuatan baik) saja. Adapun apabila orang tua menyuruh kepada
kekafiran atau kesyirikan, maka anak tidak boleh taat kepada keduanya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) ke-baikan kepada kedua orang
tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya …” [Al-‘Ankabût/29: 8]
Yang dimaksud dengan birrul wâlidain (berbakti kepada kedua orang tua)
yaitu menyalurkan setiap kebaikan kepada keduanya semampu kita dan bila
memungkinkan mencegah gangguan terhadap keduanya. Menurut Ibnu Athiyyah
Radhiyallahu anhu, kita wajib mentaati keduanya dalam hal-hal yang
mubah, harus mengikuti apa-apa yang diperintahkan keduanya dan menjauhi
apa-apa yang dilarang.
Di dalam al-Qur'ân, Allâh Azza wa Jalla mewajibkan seorang anak agar
berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebagaimana firman Allâh Azza wa
Jalla :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ
إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ
كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا
قَوْلًا كَرِيمًا﴿٢٣﴾وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan Rabb-mu telah memerintahkan kepadamu jangan-lah kamu beribadah
melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang
tua dengan sebaik-baiknya. Dan jika salah satu dari keduanya atau
kedua-duanya telah berusia lanjut di dalam pemeliharaanmu maka
sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’
dan janganlah engkau membentak keduanya. Dan katakanlah kepada keduanya
perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan
penuh kasih sayang dan ucapkanlah,‘Wahai Rabb-ku!Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu
kecil.’”[Al-Isrâ'/17:23-24]
Dan firman-Nya:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Danberibadahlah kepada Allâh dan janganlah menye-kutukan-Nya dengan
sesuatu, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapak…” [An-Nisâ'/4:36]
Apabila ayat-ayat yang menjelaskan tentang berbakti kepada kedua orang
tua diperhatikan, kita akan mengetahui bahwa berbakti kepada kedua orang
tua adalah masalah yang penting setelah mentauhidkan Allâh Azza wa
Jalla . Bila selama ini yang dikaji adalah masalah tauhid, masalah
‘aqidah AhlusSunnahwalJama’ah, ‘aqidah Salaf, maka selanjutnya wajib
pula bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk mengkaji masalah berbakti
kepada kedua orang tua. Tidak boleh terjadi pada seorang yang bertauhid
kepada Allâh Azza wa Jalla tetapi ia durhaka kepada kedua orang tuanya,
wal ‘iyyâdzubillâh.
Bagi seorang Muslim, terutama bagi seorang thalibul ‘ilmi (penuntut ilmu), wajib baginya berbakti kepada kedua orang tuanya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur-an, penyebutan tentang bertauhid kepada Allâh
Azza wa Jalla selalu diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tua.
Para Ulama telah menjelaskan hikmah dari hal ini, yaitu:
1. Pertama: Allâh Azza wa Jalla yang menciptakan manusia dan Allâh yang
memberikan rezeki kepadanya, maka Allâh Azza wa Jalla sajalah yang
berhak untuk diibadahi. Sedangkan kedua orang tua adalah sebab adanya
anak, maka keduanya berhak untuk diperlakukan dengan baik. Oleh karena
itu, kewajiban seorang anak untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla
harus diiringi dengan berbakti kepada kedua orang tuanya.
2. Kedua: Allâh-lah yang telah memberikan semua nikmat yang diperoleh
para hamba-Nya, maka hanya Allâh Azza wa Jalla saja yang wajib
disyukuri. Kemudian kedua orang tualah yang telah memberikan segala yang
kita butuhkan seperti makan, minum, pakaian dan yang lainnya sehingga
wajib bagi kita untuk berterima kasih kepada keduanya. Oleh karena itu,
kewajiban seorang anak atas nikmat yang diterimanya adalah bersyukur
kepada Allâh Azza wa Jalla dan bersyukur kepada kedua orang tuanya.
3. Ketiga: Allâh adalah Rabb yang membina dan mendidik manusia di atas
manhaj-Nya, maka Allâh-lah yang berhak untuk diagungkan dan dicintai.
Demikian juga kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil, maka
kita harus bersikap tawâdhu’ (merendah hati), tauqîr (menghormati),
ta`addub (beradab), dan talaththuf (berlaku lemah lembut) dalam
perkataan dan perbuatan kepada keduanya.
Inilah hikmah mengapa dalam al-Qur'ân, Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan tentang berbakti kepada-Nya kemudian diiringi dengan
berbakti kepada kedua orang tua.[4]
Bentuk-bentuk berbuat baik kepada kedua orang tua di antaranya bergaul
bersama keduanya dengan cara yang baik, berkata kepada keduanya dengan
perkataan yang lemah lembut, tawâdhu’ (rendah hati), tidak sombong dan
angkuh kepada orang tua, memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang
tua, mendo’akan kedua orang tua, dan lainnya.
Sebaliknya, orang tua murka apabila anaknya durhaka. Maka kita dilarang
durhaka kepada kedua orang tua karena hal itu termasuk dosa besar yang
paling besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ -ثَلَاثًا- قُلْنَا: بَلَى
يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوْقُ
الْوَالِدَيْنِ. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ: أَلَا وَقَوْلُ
الزُّوْرِ، وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ، فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى
قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ.
"Maukah aku beritahukan kepadamu dosa besar yang paling besar?” – Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tiga kali–. Kami (para Shahabat)
menjawab, “Tentu, wahai Rasûlullâh.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Menyekutukan Allâh dan durhaka kepada kedua orang
tua.”Awalnya Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar kemudian
duduk dan bersabda, “Serta camkanlah, juga perkataan bohong dan saksi
palsu.”Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengulanginya
sehingga kami berkata (dalam hati kami), “Semoga Beliau diam.”[5]
Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa seseorang tidak masuk surga
apabila durhaka kepada kedua orang tuanya. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْـجَنَّةَ مَنَّانٌ وَلَا عَاقٌّ وَلَا مُدْمِنُ خَمْرٍ
Tidak masuk Surga: (1) orang yang suka mengungkit-ungkit
(menyebut-nyebut) kebaikan (yang sudah diberikan), (2) orang yang
durhaka kepada kedua orang tuanya, dan (3) pecandu khamr[6]
Uqûqul wâlidain adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap
kedua orang tuanya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contoh
gangguan dari seorang anak kepada kedua orang tuanya yang berupa
perkataan yaitu dengan mengatakan ‘ah’ atau ‘cis’, berkata dengan
kalimat yang keras atau menyakitkan hati, menggertak, mencaci, dan yang
lainnya. Sedangkan yang berupa perbuatan adalah berlaku kasar seperti
memukul dengan tangan atau kaki bila orang tua menginginkan sesuatu atau
menyuruh untuk memenuhi keinginannya, membenci, tidak mempedulikan,
tidak bersilaturahim atau tidak memberikan nafkah kepada kedua orang
tuanya yang miskin.
Di antara bentuk durhaka (‘uqûq) adalah:
1. Menimbulkan gangguan terhadap orang tua, baik berupa perkataan
(ucapan) ataupun perbuatan yang membuat orang tua sedih atau sakit hati.
2. Berkata ‘ah’ dan tidak memenuhi panggilan orang tua.
3. Membentak atau menghardik orang tua.
4. Melaknat dan mencaci kedua orang tua.
5. Bakhil (pelit), tidak mengurusi orang tuanya bahkan lebih
mementingkan yang lain daripada mengurusi orang tuanya padahal orang
tuanya sangat membutuhkan. Seandainya memberi nafkah pun, dilakukan
dengan penuh perhitungan.
6. Bermuka masam dan cemberut di hadapan orang tua, merendahkan orang tua, mengatakan bodoh, ‘kolot’ dan lain-lain.
7. Menyuruh orang tua, misalnya menyapu, mencuci atau menyiapkan
makanan. Pekerjaan tersebut sangat tidak pantas bagi orang tua, terutama
jika mereka sudah tua atau lemah. Tetapi jika ‘si Ibu’ melakukan
pekerjaan tersebut dengan kemauannya sendiri, maka tidaklah mengapa dan
karena itu anak harus berterima kasih.
8. Menyebutkan kejelekan orang tua di hadapan orang banyak atau mencemarkan nama baik orang tua.
9. Memasukkan kemungkaran ke dalam rumah misalnya alat musik, menghisap rokok, dan lain-lain.
10. Mendahulukan taat kepada istri daripada taat kepada orang tua.
Bahkan ada sebagian orang dengan teganya mengusir ibunya demi menuruti
kemauan istrinya, na’ûdzubillâh.
11. Malu mengakui orang tuanya. Sebagian orang merasa malu dengan
keberadaan orang tua dan tempat tinggalnya ketika status sosialnya
meningkat. Tidak diragukan lagi, sikap semacam ini adalah sikap yang
amat tercela, bahkan termasuk kedurhakaan yang keji dan nista.
Semuanya itu termasuk bentuk-bentuk kedurhakaan kepada kedua orang tua.
Oleh karena itu kita harus berhati-hati dan membedakan dalam berkata dan
berbuat kepada orang tua dengan selain keduanya.
Akibat dari durhaka kepada kedua orang tua akan dirasakan di dunia.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam al-Adabul
Mufrad, Abu Dâwud dan at-Tirmidzi dari Shahabat Abu Bakrah Radhiyallahu
anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ
الْعُقُوبَةَ فِـي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِـي الْآخِرَةِ
مِنَ الْبَغْيِوَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ .
Tidak ada dosa yang Allâh cepatkan adzabnya kepada pelakunya di dunia
ini di samping adzab yang telah disediakannya di akhirat daripada
berlaku zhalim dan memutuskan silaturahim.[7]
Dalam hadits lain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَابَانِ مُعَجَّلَانِ عُقُوْبَتُهُمَا فِـي الدُّنْيَا: اَلْبَغْيُ وَالْعُقُوْقُ.
“Dua perbuatan dosa yang Allâh cepatkan adzabnya (siksanya) di dunia:
berbuat zhalim dan al-‘uquq (durhaka kepada orang tua).”[8]
Keridhaan orang tua harus kita dahulukan daripada keridhaan istri dan
anak. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa anak
yang durhaka akan diadzab di dunia dan di akhirat serta tidak akan masuk
surga dan Allâh Azza wa Jalla tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يَدْخُلُوْنَ الْـجَنَّةَ وَلَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ: اَلْعَاقُّ بِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ
الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ بِالرِّجَالِ والدَّيُّوْثُ...
Ada tiga golongan yang tidak akan masuk Surga dan Allâh tidak akan
melihat mereka pada hari Kiamat: (1) anak yang durhaka kepada kedua
orang tuanya, (2) perempuan yang menyerupai laki-laki, dan (3) kepala
rumah tangga yang membiarkan adanya kemungkaran (zina dan selainnya)
dalam rumah tangga-nya ... ”[9]
Jadi, diantara penyebab seseorang tidak masuk surga adalah durhaka kepada kedua orang tuanya.
Terlihat dalam kehidupan nyata, orang yang durhaka kepada orang tuanya,
hidupnya tidak berkah dan selalu mengalami berbagai macam kesulitan.
Kalaupun orang tersebut kaya maka kekayaannya tidak akan menjadikannya
bahagia.
Seandainya ada seorang anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
kemudian kedua orang tuanya tersebut mendo’akan kejelekan, maka do’a
kedua orang tua tersebut akan dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla .
Sebab, dalam hadits yang shahih Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ، لَا شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ
الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى
وَلَدِهِ
Ada tiga do’a yang dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla yang tidak
diragukan tentang do’a ini: (1) do’a orang yang dizhalimi, (2) do’a
musafir (orang yang sedang dalam perjalanan), dan (3) do’a kedua orang
tua terhadap anaknya.[10]
Hendaklah memperhatikan kedua orang tua seumur hidup dan jangan merasa
lelah, capek, maupun letih dalam berbakti kepada keduanya, sebagaimana
kita tidak merasa capek dan letih dalam taat kepada Allâh Azza wa Jalla.
Jika selama ini kita pernah durhaka kepada orang tua, segeralah minta
maaf dan berbuat baik kepada keduanya. Jangan mengulangi lagi dan
bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya, baik laki-laki maupun
perempuan. Mohon ampunlah dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla ,
kemudian rubah lah sikap. Seandainya kedua orang tua sudah meninggal,
mohonkanlah ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla untuk keduanya, do’akan
mereka dan jalinlah silaturahim dengan teman-teman kedua orang tua.
Kalau ingin bahagia dan mendapat berkah dari Allâh Azza wa Jalla dan
diluaskan rizki serta dipanjangkan umur dan dimudahkan segala urusan dan
dimasukkan ke dalam surga maka harus terus berbuat baik kepada orang
tua. Jangan lupakan semua yang pernah diberikan kedua orang tua karena
semua kebaikan mereka tidak dapat dihitung dengan apa pun juga.
Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang shalih dan shalihah,
berbakti kepada kedua orang tua, dan mudah-mudahan anak-anak kita
menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, yang taat kepada Allâh dan
Rasul-Nya serta berbakti kepada kedua orang tua.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
... Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, dari pasangan kami dan
dari keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. [Al-Furqân/25:74]
FAWAA-ID:
1.Hadits ini menjelaskan tentang wajibnya birrul wâlidain (berbakti
kepada kedua orang tua) dan haramnya durhaka kepada keduanya.
2. Hak kedua orang tua sangat besar, Allâh Azza wa Jalla mengiringi
penyebutan hak-Nya dengan hak kedua orang tua, sebagaimana dalam surat
Luqmân ayat ke-14.
3. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ridha-Nya tergantung dari ridha
orang tua, murka-Nya tergantung dari murka orang tua. Siapa yang orang
tuanya ridha kepadanya, maka Allâh pun ridha kepadanya, begitu pula
sebaliknya.
4. Wajibnya mendapat ridha dari kedua orang tua, karena mendapat keridhaan dari keduanya termasuk hal yang wajib
5. Haramnya membuat murka keduanya, karena mendapat murka dari keduanya merupakan hal yang diharamkan.
6. Taat kepada kedua orang tua hanyalah pada perkara yang ma’rûf saja,
tidak ada ketaatan kepada keduanya dalam hal maksiat kepada Allâh Azza
wa Jalla .
7. Tidak boleh taat kepada orang tua dalam hal yang Allâh murkai,
misalnya: orang tua menyuruh berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla ,
berbuat bid’ah, melanggar syari’at, maka tidak boleh taat.
8. Tidak boleh mentaati larangan orang tua dalam hal yang Allâh ridhai. Misalnya:
• melarang menuntut ilmu syar’i, karena menuntut ilmu syar’i wajib.
• melarang shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki, karena shalat berjamaah wajib bagi laki-laki.
• melarang anak perempuannya yang sudah baligh untuk memakai jilbab,
karena memakai jilbab wajib bagi wanita. Dan contoh-contoh lainnya.
MARAAJI’:
1. Kutubussittah.
2. Al-Adabul Mufrad.
3. Musnad Al-Bazzar.
4. At-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.
5. Syarhus Sunnah, al-Baghawi.
6. Shahîh al-Adabil Mufrad.
7. Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah
8. Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm.
9. Bahjatu Qulûbil Abrâr.
10. Bahjatun Nâzhirin Syarh Riyâdish Shâlihîn, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali.
11. Birrul Walidain Berbakti kepada Kedua Orang Tua, cet. 10, Pustaka at-Taqwa-Bogor.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVIII/1436H/2014M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taudhîhul Ahkâm min Bulûghil Marâm (VII/371)
[2]. Bahjatu Qulûbil Abrâr (hlm. 414).
[3]. Shahih: HR. Ahmad (V/66). Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah, no. 179
[4]. Bahjatun Nâzhirin Syarh Riyâdish Shâlihiin (I/391), oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali حَفِظَهُاللهُ.
[5]. Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 2654, 5976; Muslim, no. 87; Ahmad,
V/36, 38; dan at-Tirmidzi, no. 1901, 2301, 3019 dari Abu Bakrah
Radhiyallahu anhu .
[6]. Shahih: HR. An-Nasâ-i (VIII/318), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
Radhiyallahu anhu. Lihat Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 7676.
[7]. Shahih: HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (Shahîh al-Adabul
Mufrad (no. 23); Abu Dawud, no. 4902; at-Tirmidzi, no. 2511; Ibnu Majah,
no. 4211; Ahmad, V/36, 38; al-Hâkim (II/356 dan IV/162-163).
At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih,” al-Hâkim berkata, “Shahih
sanadnya,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[8]. Shahih: HR. Al-Bukhâri dalam Târîkh dan ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul Kabîr dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan juga
oleh al-Hâkim (IV/177) dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah (no. 1120) dan Shahîh al-Jâmi’ish
Shagîr (no. 137, 2810).
[9]. Shahih: HR. Ahmad (II/134), al-Hakim, I/72 dan al-Baihaqi, X/226
dari Ibnu ‘Umar c . Al-Hâkim berkata, “Shahih sanadnya.” Dan disetujui
oleh Imam adz-Dzahabi. Syaikh al-Albani menshahihkannya dalam Jilbâb
al-Mar-atil Muslimah (hlm. 145-146).
[10]. Shahih: HR. Al-Bukhîri dalam al-Adabul Mufrad (Shahîh al-Adabil
Mufrad , no. 24, 372; Ahmad, II/258, 348, 478, 517, 523; Abu Dawud, no.
1536; at-Tirmidzi, no. 1905, 3448; Ibnu Mâjah, no. 3862; Ibnu Hibbân,
no. 2406; dan ath-Thayâlisi, no. 2517 dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah, no. 596.
0 komentar:
Post a Comment