Oleh
Syaikh Su’ud bin Mulawwih bin Sulthan Al Anizi
Dakwah merupakan salah satu bentuk ibadah. Dia harus berpijak pada
syari’at Allah dan berjalan sesuai dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin.
وَدَاعِيًا إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
"..dan untuk menjadi juru dakwah yang menyeru pada agama Allah dengan
izinNya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi". [Al-Ahzab : 46].
Asas-asas dakwah ini tidak pernah akan berubah, meski terjadi perubahan
zaman, terjadi perjalanan waktu dan pergantian umat. Kisah-kisah para
nabi, semenjak Nabi Nuh Alaihissallam hingga Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam – meskipun berbeda waktu, tempat dan umatnya- tidak
pernah berubah asas risalah serta titik tolak awal mereka dalam
berdakwah ilallah Azza wa Jalla.
Jadi merubah manhaj (tata cara) dakwah lantaran menuruti apa yang
dianggap baik menurut akal, merupakan bentuk penentangan kepada Allah
dan RasulNya serta tidak mengikuti jalan kaum muslimin. Allah berfirman.
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali". [An Nisa’:115]
Dan itu juga termasuk perbuatan lancang terhadap Allah dan RasulNya. Padahal Allah berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui". [Al Hujurat :1].
Membuat perubahan terhadap manhaj dakwah dengan dalih untuk menghadapi
persoalan-persoalan kontemporer -menurut mereka- adalah dalih yang tidak
benar. Justeru akan membuka peluang untuk meninggalkan
ketentuan-ketentuan syari’at dalam berdakwah menuju Allah Azza wa Jalla.
Diantara manhaj baru dan bid’ah dalam dakwah, ialah apa yang
diada-adakan oleh beberapa jama’ah Islamiyah yang memiliki arah
hizbiyah, serta tenggelam dalam belenggu fanatisme hizbiyah. Yaitu
melakukan pembai’atan terhadap para pengikutnya dan mengharuskan mereka
taat secara mutlak kepada Amir jama’ah serta kepada pedoman-pedoman
dasar jama’ah.
Dalam hal bai’at bid’ah ini, saya mempunyai beberapa catatan. Saya
jelaskan dalam catatan itu hakikat bai’at tersebut supaya tersingkap
belangnya. Sehingga orang yang sudi membuang tabir fanafisme golongan
dari kedua matanya akan dapat melihat keburukan bai’at itu.
Barangsiapa yang pandangan mata hatinya terbuka, tujuan serta puncak
cita-citanya untuk memperoleh kebenaran, maka Allah Azza wa Jalla akan
memudahkan baginya dapat meraihnya dan Allah pun akan memperlihatkan
kepadanya aib-aib (cela-cela) dari manhaj-manhaj yang menyalahi syari’at
Allah. Dengan demikian, dia akan mampu memperbaiki kesalahan yang
pernah diperbuat. Untuk mengawali pembahasan ini saya katakan:
PENGERTIAN BAI’AT
Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji
untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada
pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang
urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya;
serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka
maupun tidak.”
Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu,
anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan
kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang
diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam
keadaan suka maupun tidak. Juga berbaiat untuk melindungi beliau. Kisah
ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah
perjalanan hidup Nabi umat ini.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, bai’at untuk
senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin
berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi
satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.
Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh
yang dapat membentengi pembatalan atau main-main dengan persoalan
bai’at. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan perbuatan
membatalkan bai’at. Beliau bersabda.
مَنْ نَزَعَ يَدَهُ مِنْ طَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُجَّةٌ
"Barangsiapa yang mencabut tangannya dari mentaati imam (tidak mau taat
kepada imam-pent), maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat"
[Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim].
Beliau juga bersabda.
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah".
Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka
Islam mengharamkan berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu
penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau
karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta.
Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang
terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan
memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya. Oleh karenanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا
عُنُقَ الْآخَرِ
"Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan
telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai
dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya,
maka penggallah leher orang itu". [HR Imam Muslim].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
"Jika ada dua khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang dibai’at terakhir". [HR Muslim].
Permasalahan ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas
dari hawa nafsu. Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu
sebagian kelompok kaum muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan
berusaha menerapkan syari’at Allah di negeri kaum muslimin (menurut
persepsi mereka). Akibatnya, mereka keliru dan terjerembab berkaitan
dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan nash-nash supaya sesuai dengan
kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui dua jalan, yaitu
kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada diri
seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.
Pemahaman tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok
orang tersebut, yaitu bai’at yang (seharusnya, pent.) diberikan kepada
penguasa yang berhak untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak
memerintahkan kepada perbuatan maksiat, meskipun penguasa zhalim.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ
وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
"Mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam masalah yang disenangi atau
tidak, merupakan kewajiban seorang muslim, selama tidak disuruh
melakukan perbuatan maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka
tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat". [Mutafaqun ‘alaih].
Itulah bai’at yang merupakan kewajiban agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.
Jadi orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan
dalam memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau
kesepakatan kerja, atau -dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa,
red.)- bai’at yang terjadi di kalangan beberapa individu manusia,
kelompok, atau lembaga untuk kepentingan mengatur kegiatan dakwah,
seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf nahi munkar,
membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Maka
ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada
hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada
keharusan taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar
kegiatan yang telah disepakati.
Bai’at (secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan
mendengar secara mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada
penguasa kaum muslimin. Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin
itu berbuat fasiq atau zhalim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (28/16) berkata,“Tidak
ada seorang pun diantara mereka yang berhak meminta seseorang supaya
berjanji untuk menyepakati semua keinginannya, mencintai orang yang
dicintainya dan membenci orang yang dibencinya. Siapapun yang melakukan
perbuatan ini, maka ia sama dengan Jengis Khan dan sebangsanya, yang
menganggap orang yang menyepakati mereka sebagai teman, dan menganggap
orang yang berbeda dengan mereka sebagai musuh.”
Untuk melaksanakan kegiatan semacam ini, tidaklah harus ada orang
tertentu yang dibai’at, karena tujuannya adalah mengatur kegiatan dan
membagi tugas. Orang yang bergabung ke dalam organisasi ini tidak harus
bergabung terus-menerus, dan ia tidak berhak mendapat hukuman, jika ia
keluar. Juga keluarnya seseorang dari organisasi atau lembaga ini, tidak
boleh dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin, sebagaimana anggapan
sebagian orang yang bergabung dalam suatu jama’ah yang mewajibkan
pengikutnya berbai’at. Dan Sehingga keluarnya dianggap keluar dari
jama’ah kaum muslimin.
Para tokoh jama’ah ini menempatkan hadits-hadits tentang bai’at terhadap
penguasa kaum muslimin atas jama’ah mereka. Padahal yang benar,
bai’at-bai’at bid’ah ini tidak membuktikan kebenaran keinginan mereka,
dan hadits-hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil yang
membolehkan bagi disyari’atkannya bai’at-bai’at bid’ah ini. Karena itu,
wajib bagi orang-orang ini untuk melihat kembali tentang fiqhus sam’i
wat tha’ah [1] dan fiqhus siyasah asy syar’iyah [2] secara menyeluruh,
sesuai ketentuan-ketentuan Kitab dan Sunnah bukan dengan dugaan akal.
Seperti anggapan, maslahat dakwah menuntut adanya bai’at atau anggapan
lainnya yang menggiring mereka kepada perbuatan membesar-besarkan urusan
kepemimpinan yang kecil. Sampai mereka membawakan dasar-dasar dan
pemikiran-pemikiran, yang karenanya mereka menyelisihi para ahlul ilmi
(ulama) yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan para shahabatnya.
Bai’at-bai’at yang dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok ini telah
memecah-belah kaum muslimin dan menjadikan mereka terkotak-kotak.
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
"Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka". [Ar Rum:32].
Sehingga standar pemberlakuan wala’ dan bara’ (kapan memberikan
kasih-sayang dan kapan melakukan permusuhan) tergantung pada para
pengikut jama’ah. Padahal pada asalnya, kaum muslimin adalah umat yang
satu, senasib sepenanggungan dan saling tolong menolong satu sama lain.
Seorang muslim yang mengikuti jalan kaum mukminin (generasi pertama),
dalam hal al wala’ wal bara’ , berangkat dari dua kaidah penting, yaitu:
KAIDAH PERTAMA
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا الَّذِينَ
يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ وَمَن
يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ
هُمُ الْغَالِبُونَ
"Sesungguhnya wali (penolong) kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah,
RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang". [Al
Maidah:55-56].
KAIDAH KEDUA
لاَّتَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخَرِ يُوَآدُّونَ
مَنْ حَآدَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا ءَابَآءَهُمْ أَوْ
أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلاَئِكَ كَتَبَ
فِي قُلُوبِهِمُ اْلإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ
حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan
hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga
pertolongan yang datang daripadaNya. Dan dimasukkanNya mereka ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung".
[Mujadalah:22].
Inilah dua kaidah penting dalam al wala’ wal bara’ (loyal dan benci).
Jika dua kaidah ini difahami oleh para hizbiyyun (fanatik kelompok),
pasti mereka akan mengetahui betapa besar dosa dan kejahatan mereka
kepada umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu dengan
memecah-belah dan memisahkan hati-hati mereka, disebabkan oleh
beragamnya loyalitas (kesetiaan dan kecintaan), banyaknya syi’ar
(slogan) dan saling bertentangannya arah-arah pandang mereka. Hanya
Allah yang dapat memenuhi janji.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (11/92) mengatakan,
“Adapun cikal bakal hizb (golongan), yaitu kelompok orang yang yang
bertahazzub (melakukan kegiatan yang bersifat golongan). Jika mereka
berkumpul atas perintah Allah dan RasulNya tanpa mengadakan penambahan
dan pengurangan, maka mereka itu orang beriman. Mereka berhak
mendapatkan hak mereka dan wajib melaksanakan kewajiban mereka. Jika
mereka menambah atau mengurangi syari’at, seperti bersikap fanatik
terhadap orang yang bergabung dengan golongan mereka tanpa mempedulikan
benar atau batilnya, serta berpaling dari siapa saja yang tidak
bergabung dengan mereka, baik orang itu berada di atas kebenaran atau
tidak, maka ini termasuk pemecah-belah umat yang dicerca oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah dan RasulNya memerintahkan untuk
berjama’ah dan bersatu-padu, serta melarang perpecahan dan perbedaan.
Allah dan RasulNya memerintahkan agar saling tolong-menolong dalam
kebaikan dan taqwa, serta melarang tolong-menolong dalam perbuatan dosa
dan permusuhan.”
Jadi, ikatan ukhuwah merupakan tempat ikatan al wala’ wal bara’. Ketika
ikatan al wala’ wal bara’ itu terjalin bukan karena ukhuwah, maka tali
ukhuwah akan terlepas.
Bai’at-bai’at yang ada pada masa sekarang ini telah merubah pengertian
al wala’ wal bara’. Sehingga al wala’ (loyalitas atau kecintaan)
diberikan kepada siapa saja yang bergabung dalam bai’at terhadap
jama’ah, dan al bara’ (kebencian) dilancarkan kepada orang yang tidak
berbai’at kepada pemimpin jama’ah dan kepada disiplin ajaran jama’ah.
Padahal bisa jadi, orang yang berbai’at kepadanya adalah ahli bid’ah
yang sesat atau orang bodoh.
Dan sangat disayangkan, kebanyakan orang yang tertipu dalam bai’at ini
adalah para pemuda yang memiliki semangat beragama; mereka suka
melaksanakan amal kebaikan dan menegakkan syari’at Allah di tengah
hamba-hamba Allah. Lalu sebagian orang yang memiliki pemikiran
menyimpang memompakan semangat kepada para pemuda ini, sehingga mereka
mau menerima semua yang diinstruksikan kepada mereka, tunduk kepadanya,
bahkan membelanya.
Karena itu hendaklah para pemuda menyadari, betapa berbahaya
bai’at-bai’at ini, yang (sebenarnya) terlahir dari pemikiran orang
Khawarij. Hendaknya mereka menyadari, bahwa bai’at (seperti) itu akan
memperbudak seorang muslim yang merdeka dan mengokohkan loyalitas serta
keanggotaannya (kepada jama’ah itu). Bai’at itu akan membuatkan jalan
baru yang bukan jalan Rasulullah n dalam berilmu, beramal, berdakwah dan
berdzikir. Bai’at (seperti) itu juga akan menjadi penghalang bagi
dirinya dari ilmu syar’i dan dari dakwah yang berdasarkan kejelasan
ilmu, berupa nash-nash Al-Qur’an, Sunnah serta pemahaman para imam.
Dengan berbekal ilmu syar’i, akan menjadi penyelamat bagi para pemuda
–setelah taufiq dari Allah- dari semua pemikiran luar yang masuk ke
dalam manhaj Salafushshalih. Perhatikanlah kisah berikut yang ada
kaitannya dengan pembahasan kita.
Abu Nu’aim meriwayatkan kisah ini dalam Al Hilyah (2/204) dan Imam
Dzahabi dalam As Siyar (4/192) dengan sanadnya sampai kepada Mutharrif
bin Abdullah bin Syikhkhir, ia berkata,”Kami mendatangi Zaid bin Shuhan.
Ketika itu dia berkata,‘Wahai hamba-hamba Allah, muliakanlah dan
berbuat baiklah! Sesungguhnya jalan seorang hamba menuju Allah ada dua,
yaitu: rasa takut dan penuh harapan’.”
Kemudian pada suatu hari aku (Mutharrif) mendatangi Zaid, sedangkan
orang-orang (yang ada di hadapan Zaid, red.) telah menulis sebuah
ketetapan serta merangkainya dalam ungkapan sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami, Muhammad adalah Nabi kami, Al
Qur’an adalah imam kami. Barangsiapa yang ikut bersama kami, maka kami
akan perlakukan demikian... dan demikian … Dan barangsipa yang
menyelisihi kami, maka tangan kami akan ada di atasnya dan kami akan
berbuat demikian dan demikian …
Kemudian ketetapan itu diperlihatkan kepada orang-orang di sekelingnya
satu demi satu. Mereka saling mengatakan,”Ya Fulan, apakah engkau
sepakat?” Sampai akhirnya tiba giliran saya, mereka berkata,”Wahai anak
muda, apakah engkau setuju?” Saya menjawab,”Tidak!”
Zaid berkata,”Jangan terburu-buru dengan anak muda ini. (Zaid langsung
bertanya kepadaku) Bagaimana pendapatmu, wahai anak muda?” Saya
katakan,“Sesungguhnya Allah telah mengikatkan janji pada saya dalam
kitabNya, dan saya tidak akan mengada-adakan perjanjian baru selain
janji yang dibebankan kepada saya.” Mereka saling memandang, tidak ada
seorangpun yang menyetujuinya. Jumlah mereka sekitar 30 orang.
Perhatikanlah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kalian- pemuda yang
terdidik dengan Al Qur’an dan Sunnah ini, bagaimana dia mengingkari satu
masalah yang dianggap baik oleh satu kaum yang lebih tua darinya, dan
mereka menyampaikan ungkapan serta syi’ar-syi’ar (slogan-slogan) yang
dipakai untuk menipu orang yang kurang berilmu? Betapa banyak orang yang
tertipu dengan syi’ar seperti ini?!
Bisa jadi pendahulu mereka adalah kaum Khawarij, ketika mereka
mengatakan,‘Tidak ada hukum kecuali milik Allah’ –sebuah perkataan yang
benar, tetapi dimaksudkan untuk perkara bathil-. Mereka adalah
anjing-anjing ahli neraka (sebagaimana dalam hadits, pent.).
Saya kira belum pernah ada satu zaman pun yang menyaksikan syi’ar-syi’ar
megah dengan polesan-polesan tipu daya bahasa indah, seperti halnya
yang disaksikan pada zaman sekarang. Ini jelas merupakan pemberitaan
tentang perpecahan mengenaskan yang dialami umat kini. Betapa banyak
fitnah yang diakibatkan oleh syi’ar-syi’ar ini. Realita membuktikan
kebenaran semua ini.
Diakhir makalah, saya bawakan dua jawaban dari dua pertanyaan yang berkait dengan tema ini.
SOAL PERTAMA (secara ringkas)
Tentang hukum menetapkan satu pemimpin yang wajib ditaati dalam urusan dakwah?
JAWAB
Fatwa no. 16098 tanggal 5/7/1414 H.
الحمد لله وحده و الصلاة و السلام على من لا نبي بعده ...
Tidak boleh berbai’at, kecuali kepada penguasa kaum muslimin. Tidak
boleh pula berbai’at kepada syaikh tharikat atau yang lainnya. Karena
semua ini tidak datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kewajiban setiap muslim ialah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla
berdasarkan syari’atNya tanpa terikat pada orang tertentu. Juga karena
hal ini termasuk perbuatan orang Nasrani terhadap para pendeta mereka
dan (demikian) itu tidak dikenal dalam Islam.
(Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta. Ketua: Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz; Wakil Ketua: Abdurrazaq Al Afifi; Anggota: Bakar bin
Abdullah Abu Zaid, Abdullah bin Abdurrahman Al Gadayyan, Shalih bin
Fauzan Al Fauzan dan Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh).
SOAL KEDUA
Apakah dalil yang mendasari pembentukan jama’ah khusus? Kemudian, jika
berdiri suatu jama’ah yang memusatkan perhatiannya pada pembatasan
tertentu di tengah umat, apakah bisa dikatakan sebagai jama’ah khusus?
Dan apakah kita boleh mengatakan, bahwa jama’ah-jama’ah ini saling
melengkapi kegiatan satu sama lain?
JAWAB
Yang pertama, merupakan prinsip bagi Ahlu Sunnah, bahwa dalam sebuah
negara Islam tidak boleh berdiri satu jama’ah rahasia (gerakan bawah
tanah, pent.) yang mempunyai target-target rahasia tertentu. Sebab hal
ini akan merongrong kewibawaan imam (penguasa) yang sah.
Dari sisi lainnya, Ahlu Sunnah wal Jama’ah mengakui bolehnya berjama’ah
dalam arti berkumpul. Yaitu berkumpul untuk berdakwah, berbuat baik,
beramar ma’ruf nahi munkar dan memberikan petunjuk serta kebaikan.
Dalam berkumpul menurut cara yang disyari’atkan itu, bentuknya berupa
kegiatan saling membantu dan tidak ada ikatan ketaatan. Di dalamnya ada
keharmonisan, bukan instruksi; perintah maupun larangan. Di dalamnya ada
nizham (tata tertib), bukan tanzhim (disiplin terstruktur). Inilah
prinsip-prinsip dakwah setiap perkumpulan Ahlu Sunnah wal Jama’ah pada
zaman dahulu maupun zaman sekarang.
Syaikhul Islam telah berbicara mengenai jama’ah dalam banyak tempat di
kitab-kitabnya. Ternyata yang beliau maksudkan ialah berkumpul menurut
cara yang disyari’atkan. Yaitu apabila pelaku-pelakunya saling membantu.
Inilah yang telah dinyatakan dalam nash. Ketika Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bersama sahabatnya ke Yaman, beliau
bersabda kepada mereka berdua:“Saling bantu- membantulah kalian dan
jangan saling berselisih.”
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas merupakan
landasan bagi setiap orang yang berkumpul untuk melaksanakan dakwah.
Yakni hendaknya saling membantu di antara mereka. Adapun ketaatan dalam
arti, ‘pengikut mentaati atasannya laksana rakyat taat pada amir
(pimpinan)’, maka dalam negara Islam hal ini tidak diperbolehkan. Sebab
ia merupakan ketaatan khusus yang tidak berdasarkan nash. Nash hanya
menjelaskan masalah keharusan taat dalam safar (bepergian), karena
memang dibutuhkan untuk itu. Sedangkan dalam keadaan tidak bepergian,
maka jika terdapat penguasa yang sah secara syar’i dan bai’at pun
berlangsung padanya, maka tidak diperbolehkan ada ketaatan kepada lain
pemimpin, selain kepadanya. Tetapi di sana bisa terjadi perkumpulan yang
sifatnya saling membantu.
Begitu pula dari sisi tanzhim (disiplin terstruktur). Sesungguhnya
bebarapa jama’ah berkumpul atas dasar tanzhim ini. Dan sebagaimana dapat
dilihat, mereka berhujjah dalam karya-karyanya dengan
perkataan-perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama-ulama lain.
Mereka sebenarnya tidak faham. Sebab Syaikhul Islam rahimahullah hanya
menyebut-nyebut tentang nizham (tata tertib) serta yang dimaksudkan
dengan nizham tersebut. Beliau tidak pernah menyebutkan soal tanzhim.
Sebab tanzhim ini merupakan hal baru.
Tanzhim dalam arti membentuk seorang pemimpin yang ditaati bagi suatu
golongan, sedangkan orang-orang yang ada di bawahnya mendapat segala
instruksi, seperti halnya terjadi pada seorang imam. Maka ini jelas
tidak boleh. Dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tidak
menunjukkan hal yang demikian. Begitu pula perkataan para ulama lainnya.
Dengan demikian, sebagai penegasan dalam masalah ini, maka dibolehkan
membentuk jama’ah dalam arti berkumpul untuk melakukan kebaikan dan
memberi petunjuk. Kita dapat berkumpul dengan dua, tiga, empat atau
sepuluh orang untuk saling menasihati, menjalin persaudaraan, membaca
bersama, memberikan nasihat, pergi bersama-sama mengunjungi seseorang,
berdakwah dan kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi yang ada di antara kita
adalah saling membantu, bukan terjerat dengan ikatan taat. Yang ada di
antara kita adalah tata tertib kerja dan bukan tanzhim.
Inilah prinsip-prinsip dakwah yang sukses. Sedangkan prinsip-prinsip
dakwah selainnya adalah dakwah-dakwah yang keluar dari sebutan Islam.”
[3]
(Diterjemahkan secara bebas oleh Ahmad Nusadi, dari Majalah Al Ashalah, edisi 41/th. VIII/Shafar 1424 H hal 33-42)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VII/1423H/2002M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
________
Footnote
[1]. Yaitu bagaimana cara memahami istilah “wajib mendengar dan taat”
[2]. Yaitu bagaimana caranya memahami politik syar’i
[3]. Dinukil oleh penulis dari Syarh Masa’il Al Jahiliyah, ceramah
Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh, kaset nomor 5, side B, tentang syarah
(penjelasan) yang ke tujuhbelas dan ke delapanbelas.]
0 komentar:
Post a Comment