Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Jika ditanyakan: Bagaimana (penjelasan mengenai) Allah menghendaki suatu
perkara, dan dalam waktu yang sama Dia tidak meridhainya dan tidak
menyukainya? Bagaimana mengompromikan antara kehendak-Nya kepada hal
tersebut dan kebencian-Nya?
Jawabannya: Apa yang dikehendaki itu ada dua macam: apa yang memang
dikehendaki dan apa yang dikehendaki untuk selainnya. Apa yang memang
dikehendaki, maka itulah yang dituju lagi dicintai, dan
di dalamnya
mengandung kebaikan. Inilah yang dimaksud dengan iraadatul ghaayah wal
maqaashid (tujuan yang dikehendaki). Sedangkan apa yang dikehendaki
untuk selainnya, adakalanya bukan tujuan yang dikehendaki-Nya dan tidak
ada kemaslahatan di dalamnya, apabila melihat dzatnya -meskipun sebagai
sarana menuju tujuan dan apa yang dikehendaki-Nya. Hal ini adalah tidak
disukai oleh-Nya dari segi dzatnya, tetapi dikehendaki dari segi
qadha'-Nya dan dihubungkannya kepada kehendak-Nya. Maka berhimpunlah dua
perkara: kebencian-Nya dan kehendak-Nya, dan keduanya tidak saling
bertentangan. Jadi, Dia tidak menyukai dari satu segi tapi menyukainya
dari segi lainnya.
Ini adalah perkara yang sudah dimaklumi oleh manusia. (Contohnya) obat
yang tidak disukai, baik rasa maupun baunya, jika manusia mengetahui
bahwa di balik obat itu terletak kesembuhan-nya (dengan izin Allah),
maka ia membencinya dari satu segi dan menyukainya dari segi yang lain.
Jadi, ia tidak menyukainya dari segi kepahitan yang dirasakannya, namun
ia menyukainya dari segi bahwa obat itu akan membawanya kepada apa yang
disukainya (kesehatan).
Seperti itu juga mengenai anggota tubuh yang digerogoti penya-kit, jika
ia tahu bahwa dengan mengamputasinya akan menyelamatkan tubuhnya. Juga
seperti menempuh jarak yang berat, jika diketahui bahwa hal itu akan
mengantarkan kepada apa yang dikehendakinya dan disukainya. Dan juga
seperti orang yang melintasi gurun pasir yang tandus dan sunyi untuk
menuju Baitul ‘Atiq (Baitullah/ Ka’bah).
Dari sini jelas bagi kita bahwa sesuatu itu apabila di dalamnya
berhimpun dua perkara: dibenci dari satu sisi dan disukai dari sisi
lainnya, maka keduanya tidak saling menafikan. Ini adalah dalam urusan
makhluk, lalu bagaimana halnya dengan al-Khaliq Yang tidak tersembunyi
bagi-Nya sesuatu yang tersembunyi dan Yang mempunyai hikmah yang
mendalam? Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai sesuatu, dan itu tidak
kontradiksi dengan kehendak-Nya kepadanya, karena adanya tujuan yang
lain, dan karena hal itu menjadi sebab menuju perkara yang disukai.
Saya tunjukkan kepadamu sebagian contoh atas hal itu:
CONTOH PERTAMA : PENCIPTAAN IBLIS DAN HIKMAH DARI PENCIPTAAN TERSEBUT.
Allah Azza wa Jalla menciptakan iblis yang merupakan materi perusak yang
melakukan segala kerusakan di muka bumi ini, dalam agama, keyakinan,
syahwat, dan syubhat. Ia adalah penyebab kesengsaraan para hamba dan
perbuatan mereka yang dibenci oleh Allah Azza wa Jalla. Kendati itu
semua, ia adalah sarana menuju berbagai perkara yang dicintai dan
berbagai hikmah yang besar.
Sebelum membicarakan tentang hikmah-hikmah tersebut kami perlu
mengingatkan tentang perkara yang penting. Yaitu, bukan suatu keharusan
bagi orang yang menetapkan alasan perbuatan-perbuatan Allah dengan
adanya berbagai hikmah dan kemaslahatan, mengetahui alasan semua
perbuatan dan perintah-Nya. Bahkan, dia harus meyakini bahwa Allah Azza
wa Jalla tidak memperlihatkan kepada makhluk-Nya semua hikmah-Nya,
tetapi memberitahukan kepada mereka apa yang dikehendaki-Nya, dan apa
yang disembunyikan dari mereka lebih banyak dari apa yang mereka
ketahui. Oleh karena itu, setiap muslim wajib meyakini bahwa
perbuatan-perbuatan Allah dan perintah-perintah-Nya tidak kosong dari
berbagai hikmah yang agung yang mencengangkan akal, meskipun tidak
diketahui secara terperinci, karena ketidakadaan ilmu tentang sesuatu
bukanlah sebagai dalil atas ketidakadaannya. Kedokteran –misalnya- dan
operasi bedah, tidaklah diketahui kecuali oleh orang-orang khusus.
Demikian pula arsitektur dan selainnya. Ketidakadaan ilmu pada selain
mereka tentang perkara tersebut bukanlah menunjukkan atas
ketidakadaannya.
Jika keterangan ini sudah memuaskan, maka saya tunjukkan kepada Anda
tentang sebagian hikmah yang dikumpulkan para ulama, mengenai hikmah
dari penciptaan iblis:
1. Agar tampak kepada para hamba kekuasaan Rabb Ta’ala dalam menciptakan hal-hal yang berlawanan.
Dia menciptakan zat ini -iblis- yang merupakan dzat yang paling buruk
dan penyebab segala keburukan, tapi Dia menciptakan -sebagai lawannya-
Jibril, yang merupakan dzat yang paling mulia, paling suci, dan
merupakan materi segala kebajikan. Mahasuci Allah yang menciptakan ini
dan itu. Demikian pula kekuasaan-Nya tampak dalam penciptaan malam dan
siang, panas dan dingin, air dan api, penyakit dan obat, kematian dan
kehidupan, serta baik dan buruk. Sebab, sesuatu itu akan nampak
keindahannya dengan lawannya. Dan ini adalah bukti paling kuat atas
kesempurnaan kekuasaan, keperkasaan, dan kekuasaan-Nya. Dia menciptakan
hal-hal yang berlawanan ini, mempertentangkan sebagiannya dengan yang
lainnya, menguasakan sebagiannya atas sebagian yang lain, serta
menjadikannya sebagai tempat tindakan, pengaturan, dan hikmah-Nya.
Kekosongan wujud dari sebagiannya secara umum adalah dapat meniadakan
hikmah, kesempurnaan tindakan, dan pengaturan kerajaan-Nya.
2. Agar Allah menyempurnakan tingkatan-tingkatan ‘ubudiyyah bagi para kekasih-Nya.
Yaitu dengan memerangi iblis dan bala tentaranya, membuatnya murka
dengan cara mentaati Allah, memohon perlindungan kepada Allah darinya,
dan berlindung kepada Allah untuk melindungi mereka darinya dan dari
tipu dayanya. Akibat dari hal itu mereka mendapatkan berbagai
kemaslahatan duniawi dan ukhrawi yang tidak akan diperoleh dengan tanpa
hal itu.
Kemudian cinta, taubat, tawakkal, sabar, ridha dan sejenisnya adalah
jenis-jenis ibadah yang paling dicintai Allah. Semua ini hanya dapat
terealisir dengan jihad, mengorbankan jiwa, dan lebih men-cintai Allah
Azza wa Jalla atas segala sesuatu selain-Nya. Maka penciptaan iblis
adalah menjadi sebab adanya perkara-perkara ini.
3. Mendapatkan ujian.
Diciptakannya iblis adalah untuk menjadi ujian bagi manusia, agar dengannya menjadi jelas yang buruk dari yang baik.
4. Menunjukkan berbagai pengaruh Asma Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsekuensi, dan keterkaitannya.
Di antara nama-Nya adalah ar-Raafi’ (Yang meninggikan derajat),
al-Khaafidh (Yang merendahkan derajat), al-Mu’izz (Yang memuliakan),
al-Mudzill (Yang menghinakan), al-Hakam (Yang Mahabijaksana), dan
al-‘Adl (Yang Mahaadil).
Nama-nama ini memerlukan kaitan-kaitan yang di dalamnya hukum-hukumnya
akan nampak. Dengan demikian, penciptaan iblis adalah faktor untuk
menampakkan berbagai pengaruh nama-nama ini. Seandainya makhluk
seluruhnya patuh dan beriman, niscaya berbagai pengaruh nama-nama ini
tidak akan nampak.
5. Mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat manusia berupa kebaikan dan keburukan.
Tabiat manusia itu mencakup kebaikan dan keburukan, dan hal itu
tersembunyi di dalamnya seperti api dalam sekam. Allah menciptakan
syaitan untuk mengeluarkan apa yang terdapat dalam tabiat pelaku
keburukan, berupa potensi untuk berbuat, dan para Rasul diutus untuk
mengeluarkan apa yang ada dalam tabiat pelaku kebaikan berupa potensi
untuk berbuat. Kemudian Hakim Yang paling bijaksana (Allah) mengeluarkan
apa yang terdapat dalam diri mereka, berupa kebaikan yang tersembunyi
di dalamnya, agar pengaruh-pengaruh-Nya tampak padanya, dan mengeluarkan
apa yang ada dalam diri mereka berupa keburukan, agar pengaruh-pengaruh
dan hikmah-Nya tampak pada kedua golongan itu, dan juga hikmah-Nya
terlaksana pada keduanya, serta nampaklah apa yang telah diketahui-Nya
sebelumnya, yang selaras dengan ilmu-Nya yang terdahulu.
6. Menampakkan banyak tanda-tanda kekuasaan Allah dan keajaiban ciptaan-Nya.
Disebabkan kekafiran dan kejahatan dari jiwa-jiwa yang kafir serta
zhalim, muncul banyak sekali tanda-tanda kekuasaan dan berbagai
keajaiban, seperti badai, angin, kebinasaan kaum Tsamud dan Luth,
berubahnya api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim
(Alaihssallam), berbagai mukjizat yang ditampakkan Allah lewat tangan
Nabi Musa (Alaihisallam), dan tanda-tanda kekuasaan lainnya. Seandainya
bukan karena takdir kekafiran kaum kafir dan pengingkaran orang-orang
yang ingkar, niscaya tanda-tanda kekuasaan yang luar biasa, yang
dibicarakan oleh manusia, generasi demi ge-nerasi hingga akhir masa ini
tidak pernah muncul.
Adapun, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menangguhkan iblis hingga hari
Kia-mat, maka hal itu bukan penghormatan untuknya, tetapi penghinaan
untuknya, agar dosanya bertambah, sehingga hukumannya semakin berat dan
adzabnya berlipat ganda. Di samping itu, Allah menjadikannya sebagai
ujian untuk memilah yang buruk dari yang baik -sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya- selama masih ada makhluk hingga hari Kiamat, maka
hal ini menuntut terhadap keberadaannya, selagi manusia masih ada.
Wallahu a’lam.
CONTOH KEDUA ; DICIPTAKANNYA MUSIBAH DAN KEPEDIHAN SERTA HIKMAH DARI HAL ITU
Demikian pula diciptakannya kepedihan dan musibah yang berisikan
berbagai hikmah yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla, yaitu
hikmah-hikmah yang berisikan karunia, keadilan, dan rahmat-Nya. Di
antara hikmah-hikmah tersebut:
1. Melahirkan ‘ubudiyyah (ibadah) pada saat kesulitan, yaitu berupa kesabaran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
"…Dan Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu
dikembalikan." [Al-Anbiyaa'/21: 35]
Terhadap ujian (dari Allah) yang berupa kegembiraan dan kebaikan, maka
harus disikapi dengan syukur, sedangkan terhadap ujian berupa kesusahan
dan keburukan, haruslah disikapi kesabaran.
Semua ini tidak terjadi, kecuali bila Allah membalikkan keadaan atas
para hamba, sehingga terlihatlah kejujuran pengabdian kepada Allah
Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ
ذَاكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ. إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ.
“Menakjubkan urusan orang yang beriman itu, sesungguhnya seluruh
urusannya adalah kebaikan, dan itu tidak terjadi pada seorang pun
kecuali pada orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia
bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya, dan jika ia mendapatkan
kesusahan, ia bersabar, maka hal itu pun adalah baik baginya.”[2]
2. Kebersihan hati dan terbebas dari sifat-sifat yang buruk.
Sebab, sehat itu adakalanya mendorong kepada keburukan, kesombongan, dan
kagum dengan diri sendiri, karena seseorang merasa giat, kuat, tentram
keadaannya, dan hidupnya menyenang-kan.
Jika dibatasi dengan ujian dan sakit, maka jiwanya menangis, hatinya
menjadi lembut, dan bersih dari noda-noda akhlak yang tercela serta
sifat-sifat yang buruk, seperti sombong, congkak, ‘ujub (kagum dengan
diri sendiri), dengki, dan sifat lainnya. Sebagai gantinya ialah
ketundukan kepada Allah, menangis di hadapan-Nya, tawadhu’ (rendah hati)
kepada manusia, dan tidak congkak terhadap mereka.
Al-Munbaji rahimahullah berkata, “Orang yang tertimpa musibah hendaknya
mengetahui bahwa seandainya tidak ada ujian dunia dan berbagai
musibahnya, niscaya manusia tertimpa penyakit sombong, ‘ujub, congkak,
dan keras hati, yang merupakan sebab kebinasaannya, segera maupun
tertunda. Di antara rahmat sebaik-baik Dzat Yang Maha Penyayang ialah,
Dia memberikan kepadanya -kadangkala- berbagai macam obat berupa
musibah, yang akan menjadi pelindung baginya dari penyakit-penyakit ini,
memelihara kebenaran ibadahnya, serta mengenyahkan berbagai unsur yang
merusak, hina, dan membinasakan. Mahasuci Allah yang memberi rahmat
dengan ujian-Nya (berupa bencana), dan menguji dengan berbagai
kenikmatan-Nya. Sebagaimana dikatakan:
Adakalanya Allah memberi nikmat dengan bencana, meskipun besar
dan Allah pun menguji pula sebagian kaum lainnya dengan ber-bagai kenikmatan
Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengobati hamba-hamba-Nya
dengan obat berupa ujian dan cobaan, niscaya mereka melampaui batas,
lalim, angkuh, congkak di muka bumi, dan membuat kerusakan. Karena di
antara kebusukan jiwa, jika telah mendapatkan kekuasaan (memerintah dan
melarang), kesehatan, peluang, dan bebas mengatakan apa saja tanpa ada
penghalang syar’i yang menghalanginya, maka ia merajalela dan berjalan
di muka bumi dengan membawa kerusakan, meskipun mereka mengetahui apa
yang dialami orang-orang sebelum mereka, maka apa jadinya seandainya
mereka -dengan perbuatannya itu- dibiarkan?
Tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki kebaikan pada
hamba-Nya, Dia meminumkan obat cobaan dan ujian menurut kadar
keadaannya, yang akan mengeluarkan penyakit-penyakit berbahaya darinya.
Sehingga ketika Dia telah membersihkan dan menjernihkannya, maka Dia
menempatkannya pada derajat dunia yang paling mulia, yaitu beribadah
kepada-Nya, dan menaikkan pada pahala akhirat yang tertinggi, yaitu
melihat-Nya.[3]
3. Menguatkan orang yang beriman.
Sebab, musibah itu berisi latihan untuk orang mukmin, ujian bagi kesabarannya, dan menguatkan keimanannya.
4. Menyaksikan kekuasaan rububiyyah dan ketundukan ‘ubu-diyyah.
Karena seseorang tidak bisa lari dari Allah dan qadha'-Nya serta dari
hikmah-Nya yang berlaku dan ujian-Nya. Kita adalah hamba Allah, Dia
memperlakukan kita sebagaimana yang disukai dan dikehendaki-Nya, dan
kita kembali kepada-Nya dalam segala urusan kita. Kepada-Nya tempat
kembali, Yang mengumpulkan kita untuk kebangkitan kita.
5. Meraih keikhlasan dalam berdo’a dan kejujuran dalam bertaubat.
Sebab, musibah itu membuat manusia dapat merasakan kelemahan dan
kefakiran dirinya dihadapan Rabb-nya. Kemudian hal itu mendorongnya
kepada keikhlasan dalam berdo’a kepada-Nya, ketundukan yang sangat dan
kebutuhan kepada-Nya serta jujur dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.
Seandainya bukan karena musibah-musibah ini, niscaya ia tidak pernah
terlihat di depan pintu perlindungan dan kehinaan. Allah Azza wa Jalla
mengetahui kelalaian manusia kepada-Nya, lalu Dia menguji mereka melalui
nikmat-nikmat tersebut dengan berbagai gangguan yang mendorong mereka
untuk menuju pintu-Nya dan meminta pertolongan kepada-Nya. Jadi, ini
adalah kenikmatan yang terbungkus ujian. Sedangkan ujian yang murni
ialah apa-apa yang melalaikanmu dari Rabb-mu.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Apa yang tidak disukai hamba
adalah lebih baik baginya daripada apa yang disukainya. Karena apa yang
tidak disukainya mendorongnya untuk berdo’a, sedangkan apa yang
disukainya akan melenakannya.”[4]
6. Menyadarkan orang yang diuji dari kelalaiannya.
Betapa banyak orang yang diuji dengan hilangnya kesehatan, mendapatkan
taubat yang menyelamatkan. Betapa banyak orang yang diuji dengan
kehilangan hartanya, bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah
kepada Allah dengan keadaannya yang lebih baik. Betapa banyak orang
yang lalai terhadap dirinya serta berpaling dari Rabb-nya, lalu
mendapatkan ujian dari Rabb-nya, maka hal itu membangunkannya dari
tidurnya, menyadarkannya dari kelalaiannya, dan memotifasinya untuk
memperbaharui ke-adaannya bersama Rabb-nya.
7. Mengetahui nilai kesehatan.
Karena sesuatu itu tidak diketahui kecuali dengan lawannya, lalu dengan
hal itu akan diperoleh rasa syukur yang menyebabkan bertambahnya
kenikmatan, karena apa yang dikaruniakan Allah berupa kesehatan itu
lebih sempurna, lebih menyenangkan, lebih banyak, dan lebih besar
ketimbang ujian dan sakit yang dideritanya. Kemudian diperolehnya
kesehatan dan kenikmatan, setelah kepedihan dan kesusahan itu adalah
lebih besar nilainya bagi manusia.
8. Di antara kepedihan itu kadangkala ada yang menjadi faktor kesehatan.
Adakalanya seseorang tertimpa suatu penyakit dan ternyata itu menjadi
sebab kesembuhan dari penyakit lainnya. Adakalanya seseorang mendapat
suatu penyakit lalu ia pergi untuk mengobatinya, maka tersingkaplah
bahwa ternyata dirinya mempunyai penyakit kronis yang tidak tersingkap,
kecuali karena sebab penyakit yang datang tiba-tiba ini. Abu ath-Thayyib
al-Mutanabbi berkata:
Mungkin kecacatanmu itu terpuji akibatnya
dan mungkin badan menjadi sehat dengan adanya penyakit
9. Diperolehnya belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah.
Orang yang diuji dengan suatu hal, ia akan mendapati dalam dirinya rasa
belas kasih kepada orang-orang yang tertimpa musibah. Belas kasih ini
menyebabkan belas kasih Allah dan karunia yang banyak. Sebab barangsiapa
yang berbelas kasih kepada siapa yang berada di muka bumi ini, maka
yang berada di langit (Allah dan para Malaikat) akan menyayanginya pula.
10. Memperoleh shalawat (keberkahan yang sempurna), rahmat, dan hidayah dari Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ
الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ
وَرَحْمَةٌ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.’ Mereka itulah yang mendapatkan
keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-Baqarah/2: 155-157]
11. Memperoleh pahala, dicatatnya amal-amal kebaikan, dan dihapusnya kesalahan-kesalahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ شَيْئٍ يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ، حَتَّى الشَّوْكَةِ تُصِيْبُهُ،
إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً، أَوْ حُطَّتْ عَنْهُ بِهَا
خَطِيْئَةٌ.
“Tidak ada sesuatu pun yang menimpa seorang mukmin, meskipun duri yang
menusuknya, melainkan Allah mencatat baginya satu kebajikan karenanya
atau menghapuskan satu kesalahan darinya karenanya.”[6]
Sebagian Salaf berkata, “Seandainya bukan karena musibah-musibah dunia,
niscaya kita datang pada hari Kiamat dalam keadaan bangkrut yang
hakiki.”[7]
Bahkan pahala tidak hanya dikhususkan untuk orang yang mendapatkan ujian
semata, tetapi juga didapat oleh selainnya. Seorang dokter muslim
ketika mengobati orang yang sakit dan diniatkan untuk mencari pahala,
maka dituliskan pahala untuknya, dengan seizin Allah. Sebab, barangsiapa
yang meringankan dari orang yang beriman suatu kesusahan dari
kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah akan meringankan darinya suatu
kesusahan dari kesusahan-kesusahan pada hari Kiamat.
Demikian pula orang yang mengunjungi orang yang sedang sakit, maka dituliskan pahala baginya, juga bagi orang yang mera-watnya.
12. Mengetahui tentang hinanya dunia.
Musibah terkecil yang menimpa manusia akan menjernihkan dirinya,
memantapkan hidupnya, dan dapat membuatnya lupa akan kelezatan dunia.
Orang yang pintar tidak akan tertipu dengan kenikmatan dunia, akan
tetapi dia akan menjadikan dunia sebagai ladang bagi akhirat.
13. Pilihan Allah untuk hamba adalah lebih baik daripada pili-han hamba untuk dirinya.
Ini merupakan rahasia yang mengagumkan, yang sebaiknya hamba
memahaminya. Hal itu karena Allah Azza wa Jalla adalah sebaik-baik
Penyayang dan Hakim Yang paling bijaksana, Dia lebih tahu berbagai
kemaslahatan hamba-hamba-Nya, dan lebih sayang kepada mereka
dibandingkan diri mereka dan kedua orang tua mereka.
Jika datang kepada mereka sesuatu yang tidak mereka sukai, maka itu
lebih baik bagi mereka dibandingkan bila tidak datang kepada mereka,
sebagai bentuk perhatian dari-Nya, kebaikan, dan kasih sayang kepada
mereka.
Seandainya mereka memungkinkan memilih untuk diri mereka, niscaya mereka
tidak mampu melakukan hal-hal yang bermaslahat bagi mereka. Tetapi
Allah Azza wa Jalla yang mengatur urusan mereka sesuai dengan ilmu,
keadilan, hikmah, dan rahmat-Nya, baik mereka suka maupun tidak suka.
14. Manusia tidak mengetahui akibat urusannya.
Mungkin ia mencari sesuatu yang tidak terpuji akibatnya, dan mungkin ia
tidak menyukai sesuatu yang bermanfaat baginya. Allah Azza wa Jalla
lebih tahu tentang akibat suatu urusan.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Qadha'-Nya bagi hamba yang beriman
adalah karunia, meskipun dalam bentuk halangan, dan merupakan suatu
kenikmatan, meskipun dalam bentuk ujian, serta ujian-Nya adalah
keselamatan, meskipun dalam bentuk bencana.
Tetapi karena kebodohan hamba dan kezhalimannya, ia tidak menganggapnya
sebagai anugerah, kenikmatan, dan keselamatan, kecuali apa yang dapat
dinikmatinya dengan segera dan sesuai dengan tabiatnya.
Seandainya ia dikaruniai pengetahuan yang banyak, niscaya ia menilai
halangan sebagai kenikmatan, dan bencana sebagai rahmat, serta ia
merasakan ujian jauh lebih lezat dibandingkan dengan lezatnya
keselamatan, merasakan kefakiran jauh lebih lezat dibandingkan kekayaan,
dan dalam keadaan sedikit ia jauh lebih bersyukur dibandingkan dalam
keadaan banyak.”[8]
15. Masuk dalam kelompok orang-orang yang dicintai Allah Azza wa Jalla.
Orang-orang beriman yang mendapatkan ujian akan masuk dalam rombongan
orang-orang yang dicintai lagi dimuliakan dengan kecintaan Rabb semesta
alam. Jika Dia mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka. Disebutkan
dalam as-Sunnah (hadits), yang mengisyaratkan bahwa ujian itu bukti
kecintaan Allah kepada hamba-Nya, di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ عِظَـمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَـمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ
سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.
“Sesungguhnya besarnya balasan itu sesuai dengan besarnya ujian, dan
jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia menguji mereka. Barangsiapa
yang ridha, maka dia mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang marah
(tidak ridha), maka dia mendapatkan kemurkaan.”[9]
16. Sesuatu yang tidak disukai adakalanya mendatangkan se-suatu yang dicintai, begitu pula sebaliknya.
Jika pengetahuan hamba tentang Rabb-nya benar, maka ia mengetahui secara
yakin bahwa hal-hal yang tidak disukai yang menimpanya dan berbagai
ujian yang datang kepadanya itu berisikan berbagai kemaslahatan dan
kemanfaatan yang tidak terhitung oleh ilmunya dan tidak diketahui
semuanya oleh pikirannya.
Bahkan kemaslahatan hamba pada apa yang tidak disukainya lebih besar
ketimbang pada apa yang disukainya, sebab kemaslahatan jiwa pada umumnya
terletak dalam hal-hal yang tidak disukainya, sebagaimana halnya
kemudharatannya dan sebab-sebab kehancurannya pada umumnya terletak
dalam hal-hal yang disukainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"…Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [An-Nisaa': 19]
Dia juga berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ
تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ
لَا تَعْلَمُونَ
"…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu,
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." [Al-Baqarah/2: 216]
Jika hamba mengetahui bahwa perkara yang tidak disukai adakalanya
mendatangkan hal yang dicintai, dan perkara yang dicintai adakalanya
mendatangkan hal yang tidak disukai. Maka ia tidak merasa aman karena
kesusahan bisa datang kepadanya dari sisi kesenangan, dan ia pun tidak
berputus asa, karena kegembiraan bisa datang kepadanya dari sisi
kesusahan.[10]
Dan hikmah-hikmah lainnya yang mungkin diketahui ataupun tidak diketahui manusia.
Dari sini, nampak jelas kepada kita bahwa tidak ada kontradiksi antara
kehendak Allah kepada suatu perkara dengan kebencian-Nya kepadanya,
karena Dia memiliki berbagai hikmah yang besar dan agung.
“Banyak manusia -bahkan kebanyakan mereka- yang berusaha menyingkap
hikmah-hikmah Allah dalam segala sesuatu, tetapi hal tersebut tidaklah
bermanfaat bagi mereka, bahkan mungkin merugikan mereka. Dia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)
hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu… ."
[Al-Maa-idah: 101]
Masalah ini, yaitu masalah tujuan perbuatan-perbuatan Allah dan akhir
dari hikmah (kebijaksanaan)-Nya adalah masalah yang besar, bahkan
mungkin merupakan masalah ketuhanan yang paling agung.”
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, “Pernyataan yang adil mengenai qadar
ialah, hendaklah Anda mengetahui bahwa Allah itu Mahaadil. Tidak boleh
bertanya, ‘Bagaimana Dia menciptakan?’ Bagaimana Dia menakdirkan?
Bagaimana Dia memberi? Dan bagaimana Dia menghalangi? Tidak ada sesuatu
pun yang keluar dari kekuasaan-Nya, tidak ada dalam kerajaan-Nya, yaitu
langit dan bumi, melainkan apa yang dikehendaki-Nya, tidak ada hutang
bagi seorang pun atas-Nya, dan tidak ada hak bagi seorang pun
sebelum-Nya. Jika Dia memberi, maka hal itu adalah dengan anugerah dan
jika meng-halangi, maka hal itu adalah dengan keadilan.”[12]
Dengan ini menjadi jelas bagi kita tentang berkumpulnya dua perkara
dalam hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu: kehendak-Nya kepada sesuatu
disertai kebencian-Nya kepadanya, dan tidak ada kontradiksi dalam hal
itu.
Demikianlah (pembahasan kita ini), dan akan ada tambahan penjelasan
mengenai masalah ini dalam pembahasan berikutnya, ketika membicarakan
tentang hikmah diciptakan dan ditakdirkannya kemaksiatan.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat perincian hal itu dalam Syifaa-ul-‘Aliil, hal. 364-412 dan
445-460. Lihat pula, Thariiqul Hijraatain, hal. 181-183, al-Fawaa-id,
hal. 136-140, Muqaddimah Miftaah Daaris Sa’aadah, hal. 3 dan sesudahnya
dari muqaddimah tersebut, Madaarijus Saalikiin, (I/264-269 dan
II/190-198), Syarh al-‘Aqiidah at-Thahaa-wiyyah, hal. 252-256, al-Hikmah
wat Ta’liil fii Af’aalillaah, hal. 205-210, dan Lawwaami’ul Anwaaril
Bahiyyah, (I/339-343).
[2]. HR. Muslim, (no. 2999), dari hadits Shuhaib.
[3]. Tasliyah Ahlil Mashaa-ib, hal. 25.
[4]. Al-Faraj Ba’da asy-Syiddah, Ibnu Abi Dunya, hal. 22.
[5]. Diiwaan al-Mutanabbi, (III/86).
[6]. HR. Muslim, (no. 2572).
[7]. Bardul Akbaad, hal. 46.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/215-216).
[9]. HR. At-Tirmidzi, (no. 2396) dan Ibnu Majah, (no. 4031), dari hadits
Anas z, dihasankan oleh at-Tirmidzi juga al-Albani dalam Shahiih
at-Tirmidzi, (II/286).
[10]. Lihat perincian pembicaraan tentang hikmah-hikmah musibah dalam
Shaidul Khaathir, Ibnul Jauzi, hal. 91-95, 213-215, dan 327-328,
al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, dan 200-202, dan
Bardul Akbaad, hal. 37-39.
[11]. Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah, (III/39), dan lihat dari buku yang
sama, (I/46), Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/81), dan Ighaatsatul Lahfaan,
Ibnul Qayyim, (II/187-195).
[12]. Al-Ikhtilaaf fil Lafzh, hal. 35, dan lihat, al-Inaabah ‘an Syari’atul Firqaah an-Naajiyah, Ibnu Baththah, (I/390).
0 komentar:
Post a Comment