Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd
Melakukan sebab-sebab itu tidak menafikan iman kepada qadar, bahkan
melakukannya merupakan kesempurnaan iman kepada qadha' dan qadar.
“Karena itu, hamba berkewajiban -disamping beriman kepada qadar- untuk
bersungguh-sungguh dalam pekerjaan, menempuh faktor-faktor kesuksesan,
dan bersandar kepada Allah Subhanahuwa Ta’ala agar memudahkan baginya
sebab-sebab kebahagiaan, serta menolongnya atas hal itu.” [1]
Nash-nash al-Qur-an dan as-Sunnah berisikan perintah untuk melakukan
upaya-upaya yang disyari’atkan dalam berbagai urusan kehidupan:
memerintahkan bekerja, berusaha mencari rizki, me-nyiapkan peralatan
untuk menghadapi musuh, berbekal untuk perjalanan, dan lain sebagainya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ
"Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi…" [Al-Jumu’ah/62 : 10]
Juga firman Allah yang lain:
فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
"…Maka berjalanlah di segala penjurunya…" [Al-Mulk/67: 15]
Juga firman-Nya:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, dan musuhmu…"
[Al-Anfaal/8: 60]
Dia memerintahkan orang-orang yang pergi haji untuk berbekal, dengan firman-Nya:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
"…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa … ." [Al-Baqarah/2 : 197]
Dia juga memerintahkan untuk berdo’a dan meminta pertolongan, dengan firman-Nya:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
"Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu… ." [Al-Mu'-min/40 : 60]
Juga Firman-Nya yang lain:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ
"Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu… ." [Al-Baqarah/2 : 45]
Dia memerintahkan pula untuk melakukan upaya-upaya yang disyari’atkan
yang menghantarkan kepada keridhaan dan juga Surga-Nya, seperti shalat,
zakat, puasa dan haji, (dan sebagainya).
Bagitu pula kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya, bahkan kehidupan kaum muslimin secara keseluruhan dan
orang-orang yang menempuh jalan mereka, semuanya menjadi saksi bahwa
mereka melakukan berbagai usaha (mengambil sebab-akibat), giat, dan
bersungguh-sungguh. [2]
Syaikh Ibnu Sa’di mengatakan, “Banyak manusia menyangka bahwa menetapkan
sebab-akibat akan menafikan iman kepada qadha' dan qadar. Ini adalah
kesalahan yang fatal sekali. (Pendapat) ini sama halnya dengan
membatalkan takdir dan juga membatalkan hikmah.
Seakan-akan orang yang berkeyakinan seperti ini mengatakan dan meyakini,
‘Bahwa iman kepada qadar ialah meyakini kebera-daan sesuatu dengan
tanpa adanya sebab-sebabnya yang bersifat syar’i maupun qadari
(sunnatullah). Pernyataan ini sama halnya dengan menafikan keberadaan
sesuatu itu sendiri. Sebab -sebagaimana telah kami singgung- bahwa Allah
telah mengaitkan dan mensis-temkan alam semesta ini satu dengan yang
lainnya, dan mengadakan sebagiannya dengan sebab perantara yang lainnya.
Apakah Anda mengatakan, wahai orang yang berkeyakinan dengan kebodohan,
‘Bahwa yang benar adalah pengadaan bangunan dengan tanpa pi-lar?
Pengadaan biji-bijian, buah-buahan, dan berbagai tanaman dengan tanpa
ditanam dan diairi? Dihasilkannya anak-anak dan keturunan dengan tanpa
pernikahan? Masuknya seseorang ke Surga dengan tanpa iman dan amal
shalih? Serta masuknya seseorang ke Neraka dengan tanpa kekafiran dan
kemaksiatan?’
Dengan sangkaan seperti ini otomatis takdir dibatalkan dan hikmah pun
dibatalkan pula bersamanya. Tidak tahukah Anda, bahwa Allah dengan
hikmah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, telah menjadikan sebab-akibat?
Dan telah menjadikan berbagai jalan dan sarana untuk mencapai tujuan?
Dia telah menetapkan hal ini dalam fitrah dan akal, sebagaimana
menetapkannya dalam syari’at dan menjalankannya dalam kenyataan. Dia
telah membe-rikan segala sesuatu yang diciptakan-Nya, apa yang pantas
untuk-nya, kemudian menunjukkan seluruh makhluk kepada apa yang telah
diciptakan untuknya, berupa berbagai usaha, gerak, dan pe-rangai yang
bermacam-macam. Dia membangun perkara-perkara dunia dan akhirat di atas
sistem yang indah dan mengagumkan itu yang bersaksi -pertama-tama-
kepada Allah, terhadap kekuasaan dan hikmah yang sempurna, serta -yang
kedua- menjadikan para hamba sebagai saksi bahwa dengan pengaturan,
kemudahan, dan pengarahan ini, Allah mengarahkan orang-orang yang
bekerja ke-pada pekerjaan mereka, dan menggiatkan mereka pada berbagai
kesibukan mereka.
Seorang pencari akhirat, jika ia mengetahui bahwa akhirat tidak akan
diperoleh kecuali dengan beriman dan beramal shalih serta meninggalkan
kebalikannya, maka dia akan bersemangat dan ber-sungguh-sungguh dalam
merealisasikan keimanan dan bersungguh-sungguh dalam setiap amal shalih
yang menghantarkannya kepada akhirat, serta meninggalkan kebalikan dari
hal itu berupa kekafiran dan kemaksiatan, dan bersegera untuk bertaubat
nashuh (sungguh-sungguh) dari segala kesalahan yang dilakukannya.
Seorang petani, jika ia mengetahui bahwa tanaman tidak akan diperoleh
kecuali dengan menanam, mengairi, dan merawatnya dengan baik, maka ia
akan giat dan bersungguh-sungguh dalam segala cara yang dapat
mengembangkan dan menyempurnakan tanamannya serta mengusir hama darinya.
Seorang pemilik industri, jika ia mengetahui bahwa barang-barang
industri dengan berbagai jenis dan manfaatnya tidak akan terwujud
kecuali dengan belajar industri, mendalaminya, dan ke-mudian
mengusahakannya, maka dia pun akan bersungguh-sungguh dalam hal itu.
Dan barangsiapa yang ingin mendapatkan anak, atau mengem-bangkan
ternaknya, maka hendaklah berusaha dan bekerja untuk itu. Begitulah
seterusnya dalam segala urusan.” [3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika hamba
meninggalkan apa yang diperintahkan kepadanya dengan bersandarkan pada
kitab (catatan takdirnya), bahwa hal itu sudah merupakan suratan takdir
yang menghantarkannya sebagai orang yang celaka, maka ucapannya itu
tidak ubahnya seperti orang yang mengatakan, ‘Aku tidak akan makan dan
minum, sebab jika Allah menentukan rasa kenyang dan hilang dahaga, maka
hal itu pasti diperoleh, dan jika Dia tidak menghendakinya, maka tidak
akan diperoleh.’ Atau seperti orang yang mengatakan, ‘Aku tidak akan
bersenggama dengan istriku, karena jika Allah menentukan kepadaku
seorang anak, maka hal itu akan terwujud.’
Demikian pula orang yang melakukan kesalahan dengan tidak berdo’a, atau
tidak meminta pertolongan dan tawakkal, karena menyangka bahwa semua itu
tidak sesuai dengan qadar. Mereka semua adalah bodoh dan sesat. Bukti
mengenai hal ini ialah apa yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullah
dalam Shahiih-nya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ
أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا
وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ
تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
“Bersungguh-sungguhlah terhadap apa-apa yang bermanfaat bagimu serta
mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah bersikap lemah. Jika
sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, ‘Seandainya aku melakukan hal
itu, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi katakanlah, ‘Ini adalah
ketentuan Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.’ Sebab,
kata-kata “áóÜæú” (seandainya) akan membuka perbuatan syaitan.” [4]
Beliau memerintahkannya agar berusaha memperoleh apa yang bermanfaat
baginya dan memohon pertolongan kepada Allah, serta melarangnya dari
kelemahan, yaitu bersandar pada takdir. Kemudian beliau memerintahkan
kepadanya, jika sesuatu menimpanya, agar tidak berputus asa terhadap apa
yang luput darinya, tetapi memandang kepada takdir dan menyerahkan
urusannya kepada Allah, sebab, pada posisi seperti ini dia tidak
memiliki kemampuan lainnya selain itu. Sebagaimana perkataan sebagian
cendekiawan, ‘Perkara itu ada dua: perkara yang bisa disiasati dan
perkara yang tidak bisa disiasati. Dalam perkara yang bisa disiasati
tidak boleh lemah ter-hadapnya, dan dalam perkara yang tidak bisa
disiasati tidak boleh bersedih karenanya.’” [5]
Di antara yang harus dikatakan kepada orang-orang yang me-ninggalkan
amal karena berdalih dengan takdir adalah: Sesungguh-nya yang
mengatakan:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan seluruh makhluk 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi” [6]
Dan yang mengatakan:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ، مَا ِمنْ نَفْسٍ مَنْفُوْسَةٍ، إِلاَّ وَقَدْ كَتَبَ اللهُ مَكَانَهَا مِنَ الْجَنَّةِ أَوِ النَّارِ
“Tidak ada seorang pun dari kalian, tidak ada satu jiwa pun yang
bernafas, melainkan Allah telah menentukan tempatnya di Surga atau di
Neraka.” [7]
Adalah yang juga mengatakan:
اِعْمَلُوا! فَكُلُّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ.
“Beramallah! Sebab semuanya dimudahkan kepada apa yang ditakdirkan untuknya… .”
(Allah berfirman):
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
"…Apakah kamu beriman kepada sebagian dari al-Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebagian yang lain? ... ." [Al-Baqarah/2 : 85]” [8]
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia
Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd,
Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Syarh Kitaab at-Tauhiid min Shahiih al-Bukhari, Syaikh ‘Abdullah al-Ghunaiman, (II/629).
[2]. Lihat al-Qadhaa' wal Qadar, karya al-Asyqar, hal. 83-84
[3]. Ar-Riyaadh an-Naadhirah, (no. 125-126). Lihat pula, Syifaa-ul
‘Aliil, hal. 50-53, Syaikh ‘Abdurrahman ibn Sa’di wa Juhuuduhu fii
Tawdhiihil ‘Aqiidah, Dr. ‘Abdurrazzaq al-‘Abbad, hal. 86-89, Taisiir
al-Lathiif al-Mannaan fii Khu-laashah Tafsiiril Qur-aan, Ibnu Sa’di,
hal. 12, al-Qadhaa' wal Qadar, Abul Wafa' Muhammad Darwisy, hal. 53-61,
dan al-Ajwibah al-Mufiidah li Muhimmaatil ‘Aqiidah, Syaikh ‘Abdurrahman
ad-Dausiri, hal. 118-124.
[4]. HR. Muslim, (no. 2664).
[5]. Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/284-285). Lihat juga, as-Sunanul Ilaahiyyah, ‘Abdul-karim Zaidan, hal. 21-33.
[6]. HR. Muslim, (VIII/51).
[7]. HR. Muslim, (VIII/47).
[8]. HR. Muslim, (VIII/47, no. 2647).
0 komentar:
Post a Comment