Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Apa yang harus dilakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an ?"
Jawaban.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan al-Qur'an ke dalam hati nabi
Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia
dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan manuju cahaya
Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surat Ibrahim/14 : 1
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ
الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ
الْحَمِيدِ
"Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya
kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang
benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji".
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sebagai orang yang berhak mejelaskan, menerangkan, dan
menafsirkan isi Al-Qur'an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam surat an-Nahl/16 : 44
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
"Keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu al-Qur'an, agar kami menerangkan kepada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan".
Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi al-Qur'an, dan sunnah
ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah,
tetapi semuanya dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana
ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an surat
an-Najm/53: 3-4
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)".
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ رَجُلٌ
شَبْعَانُ عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا
وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَ وَجَدْتُمْ فِيْهِ مِنْ
حَرَامٍ فحَرِّمُوهُ وَإِنِّ مَاحَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا حَرَّمَ اللَّهُ
"Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur'an dan sesuatu yang hampir
sama dengan al-Qur'an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya
yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata,
"Berpeganglah kalian kepada al-Qur'an. Apapun yang dikatakan halal
didalam al-Qur'an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan
haram dalam al-Qur'an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang
diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya" [1]
Untuk itu cara menafsirkan al-Qur'an adalah:
1. Cara Pertama, adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa :
Ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
2. Cara Kedua, adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini
pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.
Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan
bertanya tentang al-Qur'an serta cara memahaminya dan juga cara
menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah
berkata : "Dia adalah penerjemah al-Qur'an". Oleh karena itu tafsir yang
berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada,
dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat
yang lain.
3. Cara Ketiga, yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, maka
kita cari tafsiran dari para tabi'in yang merupakan murid-murid para
sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhuma, seperti : Sa'ad bin Juba'ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.
Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an
yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya
ditafsirkan dengan ra'yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan
madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat
mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur'an ditafsirkan hanya untuk
memperkuat dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan
dengan tafsiran para ulama ahli tafsir.
Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan
madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu
tafsir al-Qur'an surat al-Muzammil/73 : 20.
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
"Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur'an"
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang
wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah ayat-ayat
al-Qur'an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh
hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca al-Qur'an. (tidak
harus Al-Fatihah -pent-).
Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لاَصَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَا تِحَةِ الْكِتَابِ
"Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka al-Kitab (surat Al-Fatihah)" [2]
Dan di hadits lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ هِيَ خِدَاجٌ هِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ
"Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat al-Fatihah maka shalatnya
kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna" [3]
Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits
shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan al-Qur'an
kecuali dengan hadits yang mutawatir. dengan kata lain mereka
mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan yang
mutawatir pula". Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena
sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra'yu dan
madzhab.
Padahal semua ulama tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu)
atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya sependapat bahwa maksud
فَاقْرَءُوا (bacalah) dalam ayat di atas adalah فَصَلُّوْ (shalatlah).
Jadi ayat tersebut maksudnya adalah : "Maka shalatlah qiyamul lail
(shalat malam) dengan bilangan raka'at yang kalian sanggupi".
Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut.
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ
وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَاللَّهُ
يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ عَلِمَ أَنْ
سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَىٰ ۙ وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ
يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا
تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ
خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang
dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan
(demikian pula) segolongan dari orang-orang yang besama kamu. Dan Allah
menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu
orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
al-Qur'an dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat
untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang".
Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca
di dalam shalat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat
malam dengan jumlah raka'at kurang dari yang dilakukan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu sebelas raka'at. Inilah maksud
sebenarnya dari ayat tersebut.
Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub
(gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya
bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah
"keseluruhan"[4]
Sebagaimana kita tahu bahwa membaca al-Qur'an adalah bagian dari shalat.
Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud
adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca al-Qur'an itu
merupakan bagian penting dari shalat.
Contohnya adalah dalam surat al-Isra'/17 : 78
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ
"Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap
malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar"
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut وَقُرْآنَ الْفَجْرِ .
Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah
salah satu uslub dalam bahasa Arab.
Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama
salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagian penganut
madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca
Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan
bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan al-Qur'an. Kedua
pendapat tersebut tertolak karena dua hal.
1. Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil/73: 20) datang dari para ulama
tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa al-Qur'an.
2. Tidak mungkin perkataan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertentangan dengan al-Qur'an. Justru perkataan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam itu menafsirkan dan mejelaskan isi al-Qur'an.
Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa
yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali
tidak. baik shalat fardhu atau shalat sunat.
Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan
bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal
ini sudah jelas bagi kita.
Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika
kita menerima hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang
sanad-sanandnya shahih.
Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits
shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana
mereka berkata : "Kami tidak menolak hadits-hadits ahad selama
hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan
tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil
berdasarkan hadits-hadits ahad saja".
Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu
untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada
aqidah tauhid [5], padahal Mu'adz Radhiyallahu anhu ketika itu diutus
hanya seorang diri. [6]
[Disalin kitab Kaifa Yajibu 'Alaina Annufasirral Qur'anal Karim, edisi
Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Penulis Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, Penerjemah
Abu Abdul Aziz, Cetakan April 2002/Shafar 1423H]
_______
Footnote
[1]. Takhrijul Misykat No. 163
[2]. Shahihul Jaami' No. 7389
[3]. Shifatu Shalatain Nabiy hal. 97
[4]. Misalnya : Menyebut 'bacaan Al-Qur'an' tetapi yang dimaksud adalah
shalat karena bacaan al-Qur'an itu bagian dari shalat. Menyebut kata
nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut
'darah' atau 'memukul' padahal yang dimaksud adalah membunuh (-pent-)
[5]. Shahih Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19
[6]. Berarti yang disampaikan oleh Mu'adz Radhiyallahu anhu adalah
hadits ahad, padahal yang disampaikan adalah menyangkut masalah aqidah
-pent.
0 komentar:
Post a Comment